Tautan-tautan Akses

PBB Kembali Tekan Taliban Akhiri Pembatasan yang ‘Menyedihkan’ Terhadap Perempuan Afghanistan


Perempuan Afghanistan melakukan protes atas hak-hak mereka di salon kecantikan di daerah Shahr-e-Naw di Kabul, 19 Juli 2023. (AFP)
Perempuan Afghanistan melakukan protes atas hak-hak mereka di salon kecantikan di daerah Shahr-e-Naw di Kabul, 19 Juli 2023. (AFP)

PBB memperingatkan pihak berwenang Taliban di Afghanistan pada hari Jumat (8/3) bahwa larangan mereka terhadap pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan berisiko mendorong negara itu semakin jauh ke dalam kemiskinan dan isolasi internasional.

Kepala Misi Bantuan PBB di Afghanistan, atau UNAMA, kembali menyerukan rezim fundamentalis itu untuk mencabut pembatasan tersebut ketika dunia memperingati Hari Perempuan Internasional untuk menyoroti perlunya berinvestasi pada perempuan.

“Sungguh memilukan melihat hal sebaliknya yang terjadi di Afghanistan: pencabutan investasi yang disengaja dan menimbulkan bencana besar yang menyebabkan kerugian besar bagi perempuan dan anak perempuan, serta hanya menciptakan hambatan bagi perdamaian dan kesejahteraan yang berkelanjutan,” kata Roza Otunbayeva.

Sejak merebut kembali kekuasaan pada Agustus 2021, Taliban telah melarang anak perempuan untuk mengakses pendidikan sekolah menengah ke atas. Peraturan ini telah membatasi kebebasan perempuan untuk bergerak di luar rumah dan melarang sebagian besar perempuan bekerja di sektor publik dan swasta, termasuk bekerja untuk PBB dan kelompok-kelompok bantuan lainnya.

Program Pembangunan PBB, atau UNDP, melaporkan pada hari Kamis (7/3) bahwa hampir 70 persen warga Afghanistan tidak memiliki sumber daya dasar yang cukup, dan pembatasan terhadap perempuan terus menghambat hak-hak dasar dan kemajuan ekonomi. Dikatakan bahwa ekonomi Afghanistan telah mengalami kontraksi sebesar 27 persen, dan pengangguran meningkat dua kali lipat sejak Taliban mengambil alih kekuasaan.

“Tantangan terbesarnya adalah masih adanya keputusan yang melarang pendidikan anak perempuan. Tidak bisa meneruskan pendidikan setelah kelas enam merupakan batu sandungan besar,” kata Kanni Wignaraja, direktur UNDP untuk Asia dan Pasifik, kepada para wartawan di New York.

“Tahun lalu, tidak ada anak perempuan yang lulus kelas dua belas, jadi bagaimana mereka bisa naik dari kelas enam ke perguruan tinggi teknik atau universitas yang membutuhkan bidang kedokteran?,” kata Wignaraja, yang baru saja kembali dari kunjungan ke Afghanistan.

Larangan terhadap pekerja bantuan perempuan telah melemahkan kegiatan bantuan di negara di mana PBB memperkirakan lebih dari 12 juta perempuan akan membutuhkan bantuan kemanusiaan tahun ini.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat, UNAMA mengatakan pihaknya “juga khawatir bahwa tindakan keras yang baru-baru ini dilakukan oleh otoritas de facto karena dugaan ketidakpatuhan terhadap aturan berpakaian Islami akan mendorong perempuan ke dalam isolasi yang lebih besar karena takut ditangkap secara sewenang-wenang.”

PBB menyebut Taliban sebagai otoritas de facto karena belum ada pemerintah asing yang secara resmi mengakui pemerintahan mereka di Kabul.

Namun, eufemisme tersebut telah membuat marah kelompok hak asasi manusia dan banyak perempuan di Afghanistan, yang sangat menentang pemberian legitimasi kepada pemerintahan Taliban sampai pemerintah mencabut semua larangan terhadap perempuan. [lt/uh]

Forum

XS
SM
MD
LG