Keputusan Israel untuk menutup Al Jazeera di negara tersebut membuat para pemirsa berisiko kehilangan berita dan bisa menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi masa depan kebebasan berekspresi, kata para analis.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu (5/5) mengatakan bahwa pemerintahnya dengan suara bulat telah memutuskan untuk menutup saluran berita milik Qatar tersebut karena masalah keamanan nasional. Saluran tersebut tidak mengudara di Israel, tidak lama setelah pengumuman tersebut, dan situs webnya juga telah diblokir.
“Pemerintah yang saya pimpin dengan suara bulat memutuskan: saluran penghasut Al Jazeera akan ditutup di Israel,” kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan hari Minggu di X. Kantor utama Al Jazeera di Yerusalem Barat dan kantornya di Yerusalem Timur ditutup dan peralatannya disita.
Menurut kantor berita Reuters, layanan satelit Israel, Yes, menampilkan sebuah pesan yang berbunyi: “Sesuai dengan keputusan pemerintah, siaran stasiun Al Jazeera telah dihentikan di Israel.”
Redaktur Pelaksana Al Jazeera Mohamed Moawad menggambarkan tindakan tersebut sebagai tindakan yang “menindas.”
“Ini adalah cara untuk mendelegitimasi liputan kami,” kata Moawad kepada VOA dari Doha. “Ini menindas. Ini benar-benar menghancurkan, karena ini berarti Israel, yang menyebut dirinya demokrasi, sekarang bergabung dengan klub rezim yang sangat otoriter.”
Perseteruan yang sudah berlangsung lama antara pemerintahan Netanyahu dan Al Jazeera sebelumnya diwarnai dengan ancaman penutupan secara sporadis selama bertahun-tahun. Namun perselisihan tersebut meningkat setelah serangan teror 7 Oktober oleh Hamas di Israel selatan yang menewaskan sekitar 1.200 orang.
Serangan Israel sebagai tanggapan atas serangan tersebut menurut kementerian kesehatan wilayah itu telah menyebabkan krisis kemanusiaan dan kematian lebih dari 34.000 orang di Gaza.
Pada awal April, parlemen Israel mengesahkan undang-undang yang mengizinkan pemerintah untuk menutup sementara kantor-kantor berita asing yang dianggap mengancam keamanan negara.
Pada November tahun lalu, Israel menggunakan langkah-langkah darurat untuk menutup kantor berita Lebanon Al Mayadeen dengan alasan keamanan nasional.
Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi sebelumnya menyebut Al Jazeera sebagai “corong propaganda” untuk Hamas dan menuduh kantor berita tersebut mengekspos tentara Israel terhadap potensi serangan.
Undang-undang baru ini memungkinkan pemerintah untuk menutup Al Jazeera selama 45 hari, namun periode tersebut dapat diperpanjang.
“Seluruh situasi hukum benar-benar tidak jelas,” kata Moawad.
Tindakan terhadap lembaga penyiaran internasional ini telah dikecam oleh PBB dan para pendukung media. Kekhawatiran utama di antara mereka adalah bahwa tindakan tersebut dapat menjadi dasar bagi pemerintah Israel untuk menutup kantor-kantor berita lainnya.
“Ini adalah hari yang kelam bagi media. Ini adalah hari yang kelam bagi demokrasi,” kata Asosiasi Pers Asing di Yerusalem dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu. Asosiasi tersebut meminta Israel untuk membalikkan “langkah berbahaya ini dan menjunjung tinggi komitmennya terhadap kebebasan pers - termasuk media yang liputannya mungkin tidak disukainya.”
Di beberapa bagian dunia, tidak banyak yang menonton siaran Al Jazeera. Namun di Timur Tengah, “merupakan nama yang sudah dikenal luas,” kata Nour Odeh, seorang analis politik Palestina dan mantan reporter Al Jazeera. “Mereka tidak tertandingi dalam hal cakupan dan kekuatan operasinya.”
Menurut Odeh, yang berbasis di Ramallah, orang-orang di Israel akan kehilangan liputan Al Jazeera, sementara para pemirsa di seluruh wilayah tidak akan lagi menerima liputan langsung dari Israel melalui Al Jazeera karena para jurnalis kantor berita tersebut tidak dapat lagi melaporkan dari Israel, termasuk Yerusalem Timur yang diduduki.
“Dalam masyarakat mana pun, ketika kita menormalkan gagasan bahwa kita bisa memilih milih media apa saja yang bisa diterima, maka tidak mungkin kita bisa mengeremnya," ujar Odeh, yang sempat menjadi juru bicara Otoritas Palestina pada tahun 2012.
Gideon Levy, seorang kolumnis di surat kabar Haaretz Israel, juga mengatakan bahwa penutupan ini akan mempersulit orang-orang di Israel untuk memahami apa yang terjadi di Gaza.
“TV Israel tidak menayangkan apa pun dari Gaza - tidak ada. Jadi, siapa pun yang benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di Gaza membutuhkan CNN, membutuhkan BBC, membutuhkan Sky News, dan membutuhkan Al Jazeera berbahasa Inggris,” kata Levy kepada VOA. “Dan mereka tidak ingin kita melihat gambar-gambar itu,” tambahnya, merujuk pada pemerintah Israel.
Penutupan ini berarti bahwa reporter Al Jazeera sekarang harus mencari cara untuk melaporkan tentang Israel dari luar negeri.
Saluran ini tetap dapat diakses melalui Facebook dan YouTube di Israel, menurut laporan media dan analis. Bagi Levy dari Haaretz, hal itu berarti dampaknya mungkin lebih bersifat simbolis daripada praktis. Dia mengatakan bahwa dia yakin penutupan tersebut dimaksudkan untuk menggalang dukungan di antara basis sayap kanan Israel.
“Fakta bahwa hal ini ditutup menunjukkan lebih banyak hal tentang Israel daripada tentang Al Jazeera,” kata Levy. “Pemerintah bukanlah kritikus TV.”
Penutupan Al Jazeera juga merupakan contoh dari masalah kebebasan pers lainnya yang telah mengilhami perang Israel-Hamas sejak perang dimulai: kurangnya akses media ke Gaza.
Sejak perang dimulai, para jurnalis hanya dapat memasuki Jalur Gaza dengan cara bergabung dengan Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Para wartawan dan kelompok-kelompok kebebasan pers mengkritik perjalanan tersebut karena terlalu membatasi, dan para jurnalis hanya dapat melihat apa yang diinginkan oleh militer Israel.
“Fakta bahwa mereka tidak mengizinkan jurnalis internasional masuk ke Gaza, dengan sendirinya, merupakan upaya yang berhasil untuk menyembunyikan apa yang terjadi di Gaza,” kata Moawad, yang sebelumnya bekerja di saluran televisi saudara VOA, Alhurra TV.
Menurut Clayton Weimers dari Reporters Without Borders, kekosongan yang tercipta akibat kurangnya akses bagi media independen di kedua belah pihak memungkinkan propaganda untuk berkembang.
“Kebebasan pers selalu menjadi hal yang sulit di wilayah Palestina, dan ada kecenderungan konten propaganda yang disebarkan,” kata Weimers.
“Satu masalah yang kami lihat adalah kurangnya media independen yang meliput perang ini, sehingga propaganda benar-benar berkembang di semua pihak.”
Ia mengatakan solusi sederhananya adalah “jika kita mengizinkan media internasional masuk untuk memverifikasi beberapa klaim ini, maka kita tidak akan membiarkan potensi propaganda berkembang.”
Penutupan Al Jazeera terjadi dalam konteks perang yang telah memakan banyak korban jurnalis. Menurut Komite untuk Melindungi Jurnalis, hingga 8 Mei, setidaknya 97 jurnalis telah terbunuh sejak perang dimulai, termasuk 92 orang Palestina, dua orang Israel dan tiga orang Lebanon, menurut Komite untuk Melindungi Jurnalis. [my/rs]
Michael Lipin berkontribusi dalam laporan ini.
Forum