Tautan-tautan Akses

Festival Saprahan, Upaya Melestarikan Budaya Melayu


Kemeriahan "Festival Saprahan” untuk merayakan hari jadi kota Pontianak, 23 Oktober 2018. (Foto: Radio Bomantara FM Singkawang dan GencilNews Pontianak)
Kemeriahan "Festival Saprahan” untuk merayakan hari jadi kota Pontianak, 23 Oktober 2018. (Foto: Radio Bomantara FM Singkawang dan GencilNews Pontianak)

Tradisi makan nasi beramai-ramai di atas daun pisang atau wadah lain di lantai atau di atas meja, sempat menjadi trend di kota-kota besar di Indonesia, dan bahkan hingga ke luar negeri. Di beberapa daerah tradisi ini memiliki nama khusus seperti megibung di Bali, bancakan di Sunda dan saprahan di Kalimantan. Khusus di Kalimantan, baru-baru ini dilangsungkan “Festival Saprahan” untuk merayakan hari jadi kota Pontianak.

Saprahan, yang merupakan adat istiadat Melayu, diambil dari kata dalam bahasa Arab yang menurut kepercayaan masyarakat setempat berarti sopan santun dalam beradab, atau kebersamaan yang tinggi. Tradisi ini mengandung semangat “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”

‘’Saprah’’ sendiri artinya ‘’berhampar,’’ yaitu budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di lantai secara berkelompok, dalam satu barisan. Biasanya satu kelompok terdiri dari enam orang yang duduk saling berhadapan sebagai suatu kebersamaan.

Menurut laporan afiliasi VOA di Kalimantan Barat, pada prinsipnya tradisi saprahan adalah tradisi adat rumpun Kerajaan Melayu yang masih kerap diterapkan, antara lain di Pontianak, Sambas, Singkawang, Sintang, Ngabang dan Mempawah. Tidak ada aturan tertulis untuk tata cara makan, menghidang dan menu hidangan yang sedianya disajikan, tetapi tetap ada etika dan kekhasan yang dijaga.

Saprahan Masuk ‘’Warisan Budaya Tak Benda’’

Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, ketika membuka festival itu, menyampaikan harapan agar warga dapat melestarikan budaya saprahan dan “mengembangkan budaya ini dengan inovasi yang semakin memperkaya, bukan mengurangi, nilai kebudayaan itu.”

Sutarmidji juga menyampaikan kegembiraannya karena mendapatkan sertifikat “Warisan Budaya Tak Benda” dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk warisan budaya sayo’ keladi, pacri nanas, tenun corak insan Pontianak, arakan pengantin dan saprahan melayu. Sayo’ keladi adalah sayur talas khas Pontianak, sementara pacri nanas atau kerap disebut pecili/pajri nanas adalah masakan khas Melayu yang terbuat dari potongan nanas yang diberi bumbu gurih.

“Festival Saprahan” untuk merayakan hari jadi kota Pontianak, 23 Ojktober 2018. (Foto: Radio Bomantara FM Singkawang dan GencilNews Pontianak)
“Festival Saprahan” untuk merayakan hari jadi kota Pontianak, 23 Ojktober 2018. (Foto: Radio Bomantara FM Singkawang dan GencilNews Pontianak)

‘’Ini semua harus kita lindungi supaya tidak diklaim orang lain. Saprahan dan arakan pengantin harus dilestarikan dan mempertahankan pakem atau alur pelaksanaan,’’ tegas Sutarmidji. Mantan walikota Pontianak ini lebih jauh menyerukan dilakukannya inovasi untuk melestarikan warisan budaya itu, misalnya dalam hal “pengemasan’’ makanan khas kuliner Pontianak. Demikian pula untuk tradisi saprahan.

Saprahan Sarat Tradisi Budaya dan Agama Islam

Khusus terkait saprahan, tradisi makan bersama yang sudah turun temurun itu diketahui masih terus dilakukan masyarakat, terutama dalam acara-acara khusus seperti menyambut bulan suci Ramadhan atau perkawinan. Saprahan memang memiliki perspektif keagamaan yang kuat karena identik dengan enam rukun Iman dan lima rukun Islam yang diterjemahkan dengan menyantap hidangan secara berkelompok, yang masing-masing terdiri dari enam orang dengan lima piring hidangan lauk pauk.

Yang menjadikan tradisi saprahan ini istimewa adalah tidak ada perbedaan menu hidangan yang disajikan, baik untuk rakyat biasa maupun pemimpin. Ini melambangkan kuatnya kesederhanaan yang diikat rasa kekeluargaan dan kebersamaan tanpa pandang bulu.

Ketua Majelis Dewan Pemangku Adat Kalimantan Barat Syarif Selamat Yusuf Al-Gadri mengatakan budaya saprahan sudah ada sejak abad ke-18, dan tetap dipertahankan meski terjadi percampuran budaya antara Melayu-Pontianak dengan masyarakat yang tinggal di pesisir Kalimantan, seperti Bangka, Bangka-Belitung dan Banjar.

‘’Dari situ terjadi percampuran seni dan budaya karena para pendatang di kota Pontianak, makanya banyak kita lihat budaya Melayu di kota ini hampir sama dengan budaya Melayu di sejumlah daerah lain,’’ ujarnya. Ditambahkannya, ‘’budaya saprahan ini bahkan masuk ke Istana Kadriah, yang menunjukkan adanya perkawinan diantara kerabat keraton dan pendatang di pesisir Kalimantan. Kita dipersatukan Islam sehingga ketika terjadi percampuran, tidak terlalu menjadi masalah. Kita bisa menerima karena agama yang menjadi pelekatnya,’’ jelasnya.

Tradisi Saprahan Diharapkan Dapat Terus Dilestarikan

Lebih jauh Al-Gadri mengatakan sudah saatnya memperkenalkan tradisi seperti ini kepada generasi muda agar dapat terus dilestarikan kepada generasi berikutnya. ‘’Jika bukan kita, siapa lagi ? Makanya kita harus dukung penuh berbagai kreatifitas seni dan budaya Melayu ini,’’ ujarnya menutup perbincangan. [em]

*Laporan ini merupakan hasil kerjasama dengan Radio Bomantara FM Singkawang dan GencilNews Pontianak.

Recommended

XS
SM
MD
LG