Tautan-tautan Akses

Mencari Titik Temu Agama dan Budaya


Sedekah laut di Bantul sebagai wujud syukur nelayan. (Foto courtesy: Pemkab Bantul)
Sedekah laut di Bantul sebagai wujud syukur nelayan. (Foto courtesy: Pemkab Bantul)

Dalam beberapa waktu terakhir di Indonesia, muncul pertentangan antara pelaku budaya dan penganut agama. Ada yang menilai ini bentuk transnasionalisasi. Indonesia punya tantangan untuk mempertemukan keduanya.

Bagi masyarakat pesisir, sedekah laut adalah tradisi yang dijalankan generasi demi generasi. Ini adalah kegiatan masyarakat di sepanjang pantai selatan dan utara Jawa hingga Bali, setahun sekali sebagai ungkapan rasa syukur. Seperti yang dijalankan komunitas nelayan Pantai Baru di Bantul, Yogyakarta.

Namun, tahun ini rangkaian acara tak paripurna seperti biasa. Jumat 12 Oktober 2018 lalu, sekitar tengah malam setelah nelayan menggelar acara tahlilan, sekelompok orang merusak kelengkapan acara sedekah laut. Acara yang semestinya digelar pada Sabtu, 13 Oktober terpaksa dibatalkan untuk menghindari konflik.

Bupati Bantul, Suharsono menyayangkan tindakan main hakim sendiri ini. Namun dia memastikan, tahun depan acara serupa tetap akan digelar. “Pokoknya secara prinsip ini akan saya lawan. Saya lawan artinya, bolak-balik saya sampaikan, jangan dihubungkan antara budaya dan agama, jangan dicampurkadukkan. Ini budaya yang harus kita lestarikan, ini juga perintah Sultan. Nanti (acara) yang di Pleret juga dilarang, padahal itu sejarah Mataram. Ini semua adalah budaya yang perlu kita lestarikan,” kata Suharsono.

Prosesi sedekah laut di Pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta 26 Oktober 2018. (Foto: VOA/Nurhadi)
Prosesi sedekah laut di Pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta 26 Oktober 2018. (Foto: VOA/Nurhadi)

Tradisi Laut = Menyembah Mahkluk Laut?

Suharsono menduga ada salah paham soal ini. Tradisi ini diselenggarakan bukan berarti masyarakat menyembah makhluk tertentu di laut.

Dalam pelaksanaan sedekah laut, pengaruh ajaran Islam sangat kuat terasa. Seluruh rangkaian acara diawali dengan doa bersama. Yogyakarta dahulu adalah kerajaan Mataram Hindu, yang kemudian beralih menjadi Mataram Islam. Prosesi adat masih mewarnai kehidupan masyarakat. Selain sedekah laut, ada pula Labuhan Merapi. Tradisi sebagai ungkapan rasa syukur semacam ini, juga diterpakan dalam proses lain, seperti kelahiran, pernikahan dan kematian dalam bentuk yang berbeda.

Hari Jumat (2/11), Kementerian Agama mengumpulkan sejumlah akademisi dan budayawan di Bantul. Masalah-masalah terkait pertemuan budaya dan agama dibicarakan dalam perbincangan santai. Hadir dalam pertemuan ini, sastrawan Radhar Panca Dahana, budayawan Sujiwo Tejo dan Ridwan Saidi, penulis Agus Noor, tokoh agama KH Abdul Muhaimin dan Bikku Pannyavaro, serta akademisi Amin Abdullah dan John Titaley.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin bertemu sejumlah budayawan, agamawan dan akademisi di Bantul, 2-3 November 2018. (Foto:VOA/Nurhadi)
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin bertemu sejumlah budayawan, agamawan dan akademisi di Bantul, 2-3 November 2018. (Foto:VOA/Nurhadi)

Negara Sedianya Mainkan Peran Lebih Signifikan Satukan Agama dan Kebudayaan

Radhar Panca Dahana melihat Kementerian Agama seharusnya menciptakan inisiatif kehidupan berbangsa dan bernegara yang menyatukan agama dan kebudayaan. “Sebab keduanya merupakan acuan dasar dari etika bangsa Indonesia. Saat ini bangsa kita kehilangan etika. Hilangnya etika ini menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bersifat kolektif dan membentuk individualisme,” kata Radhar Panca Dahana.

Cendekiawan muslim dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Amin Abdullah mengatakan, kehidupan beragama dan berbudaya mengalami proses disrupsi dan mengarah pada perpecahaan. Jika tidak diselesaikan, dalam 20-30 tahun kedepan agama dan budaya akan terpisah dan saling bermusuhan.

Ada dua faktor penyebab menurut Amin Abdullah. Proses reformasi melahirkan otonomi. Daerah-daerah otonom itu kemudian melahirkan aturan-aturan yang eksklusif, seperti Perda Syariah. Faktor kedua menurutnya adalah hilangnya unsur lokal dalam beragama, karena paham transnasionalisme yang dibawa oleh sebagian pemimpin agama. Padahal negara-negara asal paham itu, kini berada dalam konflik berkepanjangan.

“Ada juga yang meneruskan pesan-pesan transnasionalisme dari sana itu, dibawa kesini. Terjadi pergulatan yang luar biasa, dan sekarang kita sedang sadar dan dimana-mana baru berbicara tentang Pancasila lagi,” kata Amin Abdullah.

Prosesi sedekah laut di Pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, 26 Oktober 2018. (Foto: VOA/Nurhadi)
Prosesi sedekah laut di Pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, 26 Oktober 2018. (Foto: VOA/Nurhadi)

Agama dan Budaya adalah Dua Sisi Mata Uang

Mengambil contoh yang terjadi di Bantul, Amin menilai agama telah mengalami disrupsi dengan membabat pemahaman kebudayaan tertentu. Padahal menurutnya, agama dan budaya adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Ada dugaan, meski masih harus diuji kebenarannya, bahwa ada yang salah dalam pola pengajaran agama di Indonesia. Amin mengutip laporan yang menyatakan bahwa radikalisme dan sikap intoleran kini tumbuh subur di kampus-kampus. Kemungkinan ini adalah buah dari pengajaran agama yang keliru di lembaga pendidikan, sejak masa kecil.

Pemerintah Rumuskan Sikap

Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin meminta seluruh pihak merenungkan apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Dalam persoalan terkait agama dan budaya, kata Lukman, Indonesia sangat khas. “Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan berbagai ragam budaya, tetapi juga sekaligus masyarakatnya sangat agamis. Jadi antara nilai agama dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks Indonesia,” kata Lukman.

Surat Majelis Mujahidin DIY kepada Bupati Bantul berisi penolakan sedekah laut. (Foto: dok)
Surat Majelis Mujahidin DIY kepada Bupati Bantul berisi penolakan sedekah laut. (Foto: dok)

Jika pertentangan antara agama dan budaya dibiarkan, lanjut Menag, nilai ke-Indonesia yang disusun dari nilai agama dan budaya akan hilang. Dia meminta Indonesia belajar dari banyak negara dengan masalah yang sama dan akhirnya terjerat konflik.

Benturan agama dan budaya, kata Lukman, belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya. Pertemuan budayawan, agamawan dan akademisi ini diharapkan bisa mengurai apa yang sebenarnya terjadi dan memberikan rekomendasi penyelesaian.

“Sementara belakangan ini kita mendapati kecenderungan adanya benturan yang sebenarnya tidak pernah kita alami sebelumnya. Bahwa budaya yang hakekatnya sangat mengandung nilai-nilai spiritualitas, dan agama yang hakekatnya sangat membutuhkan budaya karena tempat aktualisasi nilai agama itu kan tradisi di masyarakat, ini tiba-tiba berhadap-hadapan dan satu dengan lain ingin menegasikan. Hal ini harus kita sikapi,” kata Lukman Hakin Saefuddin.

Penegakan Hukum Juga Faktor Penting

Dari sisi penegakan hukum, kasus perusakan perlengkapan sedekah laut di Bantul sendiri belum menunjukkan kemajuan berarti. Meski sudah dua pekan lewat, polisi sejauh ini mengaku masih melakukan pendalaman. Ditemui dalam kesempatan terpisah, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) DIY, Brigjen Ahmad Dhofiri mengatakan, polisi masih mencari pelaku utama perusakan itu.

“Kita masih mencari, karena kemarin yang sudah diamankan sembilan orang itu belum pelakunya. Tetapi tetap kita sedang melakukan penyelidikan lebih mendalam lagi, dibalik itu siapa kira-kira orang yang betul-betul melakukan perusakan itu. Karena waktu itu tengah malam, saksinya juga sedikit. Tetapi yang kita amankan memang sudah kita lepaskan, karena meskipun merupakan bagian dari kelompok yang datang, tetapi tidak langsung mengarah kepada siapa yang melakukan perusakan secara langsung,” kata Ahmad Dhofiri. [ns/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG