Tautan-tautan Akses

Tim Hukum Menkopolhukam Jangan Ganggu Kebebasan Berpendapat


Menkopolhukam Wiranto memberikan keterangan di Jakarta. (Foto: Kemenkopolhukam/dok)
Menkopolhukam Wiranto memberikan keterangan di Jakarta. (Foto: Kemenkopolhukam/dok)

Keputusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto membentuk tim hukum pengawas ucapan tokoh, memperoleh sejumlah kritik. Pakar hukum menilai, tim semacam itu tidak perlu ada.

Situasi politik yang memanas dan wacana tindakan makar yang mengemuka, menjadi pendorong pemerintah bersikap reaktif. Salah satunya melalui pembentukan tim hukum yang bertugas memantau ucapan dan tindakan para tokoh.

Namun, reaksi pemerintah melalui pembentukan tim itu dinilai pakar hukum berlebihan. Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang kepada VOA menilai, hukum Indonesia telah memiliki mekanisme sendiri. Selain itu, pemantauan itu bisa berdampak pada kebebasan mengemukakan pendapat yang dijamin Undang-Undang Dasar.

“Saya merasa kekhawatiran pemerintah ada unsur kewajarannya, misalnya ada ancaman tertentu dari tokoh tertentu yang akan menggulingkan pemerintahan dan semacamnya. Tetapi kalaupun ada tindakan yang berkategori makar, kan proses hukumnya sudah jelas. Ada aparatnya. Kesan yang kita tangkap, pembentukan tim ini adalah untuk menghilangkan kebebasan orang menyatakan pendapat dan mengeluarkan pandangannya sebagaimana diatur dalam UUD,” ujar Feri.

Tim Hukum Menkopolhukam Jangan Ganggu Kebebasan Berpendapat
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:39 0:00

Dia menambahkan, jika hendak menegakkan kontitusi, pemerintah tidak memerlukan tim semacam itu. Telah ada lembaga negara yang memiliki kewenangan penegakan hukum. Tim pakar yang kemudian mengeluarkan pendapat, justru terkesan mendahului proses hukum. Pendapat pakar itu mengancam independensi aparat penegakan hukum.

Feri menyebut, ada tiga kesalahan fatal terkait pembentukan tim hukum oleh Menkopolhukam. Kesalahan pertama terkait kebebasan menyatakan pendapat. Hal Itu sudah diatur dalam pasal 28 E dan 28 F. “Kalau tim ini kemudian menjadi bagian untuk menentukan apakah sikap, perbuatan, atau pernyataan seseorang itu adalah tindakan pidana, tentu ini agak aneh karena tim ini bukan bagian yang menentukan seseorang melakukan pidana atau tidak,” kata Feri.

Feri Amsari. (Foto: Feri/dok)
Feri Amsari. (Foto: Feri/dok)

Kesalahan kedua, lanjut Feri, adalah karena menurut UU Kementerian Negara, tugas Kementerian Koordinator tidak menyentuh executive order. Jika sebuah Kemenko turut menentukan pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang, maka itu tidak sesuai dengan nomenklatur kinerjanya. Sesuatu yang kinerjanya tidak sesuai nomenklatur, tambah Feri, sesuai hukum administrasi, maka dianggap tindakan yang batal demi hukum.

Di samping itu, ada kesalahan ketiga terkait posisi lembaga yang memiliki kewenangan untuk mempermasalahkan perbuatan atau tindakan yang berkonotasi pidana. Ada kepolisian, kejaksaan, dan jika menyangkut media sosial, ada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Seharusnya, menurut Feri, pemerintah mengoptimalkan kinerja lembaga yang sudah ada tersebut.

Keterangan pakar, dalam sistem hukum di Indonesia, biasanya didengarkan di tengah proses persidangan. Melalui tim ini, pemerintah lanjut Feri, justru menempatkan pendapat pakar itu di depan seluruh proses hukum yang ada.

Sementara, dalam keterangan resmi di Jakarta pada Kamis (9/5) lalu, Menkopolhukam Wiranto mengatakan, tim ini ditugaskan memberi masukan pada pemerintah, terkait berbagai kasus pelanggaran ‎hukum. Para pakar dikumpulkan untuk membantu menelaah, menilai, sekaligus mengevaluasi apakah aksi yang meresahkan masyarakat para tokoh, dapat dikategorikan melanggar hukum, terkait pasal apa dan tindak lanjut yang dibutuhkan.

Menkopolhukam Wiranto memberikan keterangan di Jakarta. (Foto courtesy: Kemenkopolhukam)
Menkopolhukam Wiranto memberikan keterangan di Jakarta. (Foto courtesy: Kemenkopolhukam)

Wiranto menambahkan, tim ini juga akan menilai ucapan-ucapan di masyarakat yang dinilai meresahkan usai Pemilu 2019. Ada 22 pakar yang terlibat dalam tim tersebut. Sejumlah nama yang beredar antara lain praktisi hukum Muladi, staf Menkopolhukam Romli Atmasasmita, Mahfud MD, hingga akademisi seperti Indriyanto Seno Adji dan I Gede Panca Astawa.

Sehari setelah itu, Komnas HAM bereaksi keras. Dalam keterangannya, Komnas HAM meminta Tim Hukum tersebut dibubarkan. Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam menilai, tim ini akan membawa persoalan hukum ke ranah politik. Menurutnya, tugas yang akan dijalankan tim hukum, dapat dijalankan oleh penyelidik. Kajian yang dilakukan tim hukum, yang bisa menyimpulkan seseorang melanggar hukum, adalah intervensi penegakan hukum itu sendiri.

"Menkopolhukam menarik persoalan hukum menjadi persoalan politik yang mestinya dihindari. Karena itu cerminan dari karakter Orde Baru," ujar Choirul Anam kepada para jurnalis.

Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri berpendapat tim hukum ini bukan lembaga yang bisa mengambil tindakan, tetapi hanya memberikan masukan. Dalam keterangan pada Senin (13/5) di kantornya, Jusuf Kallas mengatakan, Menkopolhukam tidak akan mengambil keputusan. Tindakan hukum tetap hanya dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.

Jamaludin Ghafur, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, merunut sejarah konsep trias politika. Pemikir Perancis, Montesquieu membagi lembaga negara menjadi tiga, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembagian itu merupakan repon atas otoritarianisme penyelenggaraan negara pada waktu itu. Konsep itu melarang lembaga memegang peran di luar yang sudah ditetapkan. Ada pembentuk peraturan, yang menjalankan peraturan dan penegakan hukum. “Memang apa yang dilakukan Kemenkopolhukam ini, walaupun niatnya mungkin baik, tetapi dalam tataran mekanisme bernegara, itu kurang tepat,” ujar Ghafur.

Dia menambahkan, kekhawatiran sebagian pihak bahwa kehadiran tim ini akan mengancam kebebasan berpendapat dan sistem demokrasi secara umum, adalah sesuatu yang masuk akal. Di samping itu, untuk menghadapi isu yang menurut negara tidak baik, cara-cara prosedural menurut hukum tetap harus dikedepankan.

Jamaludin Ghafur. (Foto:VOA/Nurhadi)
Jamaludin Ghafur. (Foto:VOA/Nurhadi)

Namun, lanjut Ghafur, pada sisi yang lain, dia meyakini bahwa langkah ini sekedar respon tandingan pemerintah. Respon itu ditujukan kepada pihak-pihak yang selama ini bersuara keras dan menggunakan cara-cara yang meresahkan, seperti pemakaian istilah people power. Kelompok ini disebut ingin menggiring emosi masyarakat yang suhunya masih agak tinggi, untuk melakukan gerakan di luar jalur yang sudah disediakan mekanisme huum.

Respon Menkopolhukam menurut Ghafur adalah upaya untuk menunjukan kepada pihak-pihak di luar, bahwa pemerintah juga bisa melakukan cara-cara di luar mekanisme hukum yang normal.

“Kalau saya analogikan ke Pilpres, dua pihak ini sama-sama mengklaim kemenangan. Sebenarnya ingin menciptakan kondisi psikologi dari masing-masing pendukungnya. Tetapi ini tetap harus diantisipasi, jangan sampai kemudian kita membiarkan Menkopolhukam masuk terlalu dalam ke dalam persoalan hukum, sehingga tatanan hukum yang sudah dihasilkan oleh reformasi di rusak oleh itu,” papar Ghafur. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG