Para peneliti di Universitas Exeter di Inggris mengatakan, bertambahnya populasi secara cepat dan naiknya permintaan akan daging adalah perpaduan buruk ketika terjadi peningkatan suhu bumi. Mereka mengatakan mengubah gaya hidup, mendaur ulang sisa-sisa bahan pertanian, dan tidak membuang makanan bisa membantu mencegah apa yang mereka sebut bencana ekologi.
Profesor Tim Lenton, salah seorang penyusun laporan penelitian itu, mengatakan, “Dengan pertambahan penduduk yang akan mencapai sekitar 9,5 miliar pada pertengahan abad ini dan kecenderungan rata-rata orang makan lebih banyak daging, maka bahaya yang akan kita hadapi adalah kehabisan tanah untuk memproduksi pangan. Ini khususnya berdampak pada ekosistem alam.”
Lenton mengatakan kesulitannya adalah memperbaiki efisiensi penggunaan tanah secara berkesinambungan.
“Jika kita tidak melakukan perbaikan-perbaikan tekonologi dalam beternak dan memproduksi pangan secara efisien, khususnya produksi daging, kemudian kita hitung jumlah lahan yang kita butuhkan untuk memenuhi permintaan pangan pada tahun 2050, maka kebutuhan lahan pertanian jumlahnya hampir dua kali lipat dari yang kita gunakan untuk beternak saat ini,” papar Lenton lagi.
Naiknya permintaan daging bukan hanya datang dari negara-negara Barat saja, tetapi juga negara-negara yang perekononomiannya berkembang pesat seperti Tiongkok dan India.
“Kecenderungan yang mengarah ke negara-negara Barat mungkin bisa dipahami oleh mereka yang menyukai daging dalam pola makan mereka. Pola makan seperti itu memberi tekanan lebih besar pada Bumi dan tanah pertanian. Tetapi, sisi baik pola makan itu adalah naiknya permintaan daging dari negara-negara yang perekonomiannya berkembang pesat sejauh ini dipenuhi terutama oleh jenis-jenis daging yang diproduksi secara efisien, yaitu daging babi dan ayam, bukan sapi,” tambahnya.
Namun, jenis-jenis produksi daging yang efisien berarti produksi massal di peternakan-peternakan, di mana hewan dipelihara dalam kandang-kandang yang sangat sempit. Pihak-pihak yang mengecam menyebut cara ini kejam dan ini menjadi salah satu alasan untuk mendukung pola hidup vegetarian.
Lenton menegaskan, “Apabila terbatasnya lahan mendorong kita melakukan cara-cara produksi daging yang lebih intensif, ini pasti akan mengangkat masalah perlakuan buruk terhadap hewan ternak.”
Penelitian itu menyebut daging sapi sebagai sumber protein hewani yang hampir tidak diproduksi dengan energi yang efisien. Namun, Lenton mengatakan, memroduksi daging secara lebih efisien merupakan salah satu cara untuk mengatasi emisi gas-gas rumah kaca. Cara lainnya adalah kurangi makan daging.
Penelitian di Universitas Exeter itu juga menganjurkan mendaur ulang sisa-sisa tanaman bisa membantu menyeimbangkan lagi siklus karbon dunia. Itu termasuk menyimpan gas karbon dalam tanah dan tidak membuangnya ke udara.
Profesor Tim Lenton, salah seorang penyusun laporan penelitian itu, mengatakan, “Dengan pertambahan penduduk yang akan mencapai sekitar 9,5 miliar pada pertengahan abad ini dan kecenderungan rata-rata orang makan lebih banyak daging, maka bahaya yang akan kita hadapi adalah kehabisan tanah untuk memproduksi pangan. Ini khususnya berdampak pada ekosistem alam.”
Lenton mengatakan kesulitannya adalah memperbaiki efisiensi penggunaan tanah secara berkesinambungan.
“Jika kita tidak melakukan perbaikan-perbaikan tekonologi dalam beternak dan memproduksi pangan secara efisien, khususnya produksi daging, kemudian kita hitung jumlah lahan yang kita butuhkan untuk memenuhi permintaan pangan pada tahun 2050, maka kebutuhan lahan pertanian jumlahnya hampir dua kali lipat dari yang kita gunakan untuk beternak saat ini,” papar Lenton lagi.
Naiknya permintaan daging bukan hanya datang dari negara-negara Barat saja, tetapi juga negara-negara yang perekononomiannya berkembang pesat seperti Tiongkok dan India.
“Kecenderungan yang mengarah ke negara-negara Barat mungkin bisa dipahami oleh mereka yang menyukai daging dalam pola makan mereka. Pola makan seperti itu memberi tekanan lebih besar pada Bumi dan tanah pertanian. Tetapi, sisi baik pola makan itu adalah naiknya permintaan daging dari negara-negara yang perekonomiannya berkembang pesat sejauh ini dipenuhi terutama oleh jenis-jenis daging yang diproduksi secara efisien, yaitu daging babi dan ayam, bukan sapi,” tambahnya.
Namun, jenis-jenis produksi daging yang efisien berarti produksi massal di peternakan-peternakan, di mana hewan dipelihara dalam kandang-kandang yang sangat sempit. Pihak-pihak yang mengecam menyebut cara ini kejam dan ini menjadi salah satu alasan untuk mendukung pola hidup vegetarian.
Lenton menegaskan, “Apabila terbatasnya lahan mendorong kita melakukan cara-cara produksi daging yang lebih intensif, ini pasti akan mengangkat masalah perlakuan buruk terhadap hewan ternak.”
Penelitian itu menyebut daging sapi sebagai sumber protein hewani yang hampir tidak diproduksi dengan energi yang efisien. Namun, Lenton mengatakan, memroduksi daging secara lebih efisien merupakan salah satu cara untuk mengatasi emisi gas-gas rumah kaca. Cara lainnya adalah kurangi makan daging.
Penelitian di Universitas Exeter itu juga menganjurkan mendaur ulang sisa-sisa tanaman bisa membantu menyeimbangkan lagi siklus karbon dunia. Itu termasuk menyimpan gas karbon dalam tanah dan tidak membuangnya ke udara.