Pemerintah Thailand telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi seorang warga asing yang dicari terkait pemboman yang menewaskan sedikitnya 22 orang hari Senin (17/8) di sebuah kuil populer di Bangkok.
Kepala Kepolisian Thailand, Somyot Poompanmoung mengatakan Rabu (19/8) bahwa pembom itu kemungkinan bertindak sebagai bagian dari sebuah jaringan, tetapi pihak berwenang belum mengetahui motif maupun status kewarganegaraannya.
"Dia tidak melakukannya sendiri, pasti. Ini (hasil kerja) sebuah jaringan," kata Somyot hari Rabu, dua hari setelah ledakan di kuil Erawan yang mengguncang ibukota Bangkok.
Pihak berwenang merilis sketsa seorang pemuda dengan rambut hitam berantakan, berjanggut, dan berkacamata bulat dengan frame plastik.
Pihak berwenang juga menawarkan hadiah senilai $28.000 (atau sekitar Rp 390 juta) untuk informasi yang bisa membantu penangkapan tersangka.
Rekaman kamera keamanan menampilkan sosok ramping, pria muda dengan rambut hitam berantakan, berkemeja kuning meninggalkan ransel di bawah bangku dan dengan tenang berjalan menjauh dari tempat kejadian sesaat sebelum ledakan.
"Saya ingin memberitahu pelaku pemboman ini... jika ia ingin 'aman', maka ia harus menyerahkan diri dan pejabat akan berupaya untuk melindunginya," kata Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha kepada wartawan, Rabu (19/8).
Kuil Erawan Dibuka Kembali
Para bhiksu memimpin doa dan warga meninggalkan bunga dan upeti lainnya di lapangan terbuka pada kuil suci ummat Hindu tersebut, yang secara resmi dibuka kembali untuk publik hari Rabu (19/8).
Warga setempat Kawait Nunthakunatip, yang mendatangi lokasi hari Senin 20 menit sebelum ledakan fatal tersebut, mengatakan dia senang melihat kuil itu begitu cepat dibuka kembali.
"Saya pikir itu ide yang baik, karena orang ingin memberikan penghormatan ke kuil," katanya. "Ini sebuah kuil yang sangat populer di Thailand, di Bangkok. Wisatawan banyak yang datang ke sini. "
Mereka yang tewas dalam ledakan mencakup setidaknya enam warga Thailand, lima warga Malaysia, tiga warga China, satu warga Singapura, satu warga Filipina dan dua warga Hong Kong, merupakan sebuah bukti betapa populernya kuil Erawan ini di kalangan wisatawan Asia.
"Rasanya sangat aneh mengetahui bahwa begitu banyak orang telah menjadi korban tewas di sini dan begitu banyak yang terluka dan masih dalam perawatan, mencoba berjuang untuk hidup," kata turis Denmark Maja Brash.
Kuil ini terletak di salah satu persimpangan tersibuk di ibukota, di seberang jalan dari markas polisi di Bangkok.
Dua jalur kereta melewati rute jalan layang di atas kuil, sementara para wisatawan mengambil foto dan warga beragama Hindu membuat persembahan sepanjang hari di lokasi ini.
'Insiden terburuk' di Thailand
Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, yang menurut Perdana Menteri Prayuth merupakan "insiden terburuk yang pernah terjadi di Thailand."
"Upaya ini mungkin bermotif politik, menargetkan perekonomian, pariwisata untuk alasan apa pun," katanya Selasa dalam pidato televisi. "Pemerintah akan berupaya untuk menemukan para pelaku dan mengadili jaringan yang terlibat sesegera mungkin."
Kota berpenduduk lebih dari 6 juta ini kembali diguncang ledakan, Selasa (18/8) di dekat stasiun transit di tepi sungai Bangkok.
Polisi mengatakan ada perangkat kecil yang dilempar dari atas jembatan.
Rekaman CCTV menunjukkan barang tersebut jatuh ke dalam sungai sebelum diledakkan, membuat gelombang besar pada air sungai tersebut tetapi tidak menimbulkan korban.
Dampak
Dampak ekonomi sudah dirasakan. Mata uang baht Thailand merosot ke posisi terendah terhadap dolar AS dalam enam tahun. Penyedia layanan tur membenarkan adanya pembatalan langsung oleh para pelanggan yang takut untuk melakukan perjalanan ke negara kerajaan itu.
Sementara pihak berwenang Thailand mengatakan mereka belum mendapatkan konfirmasi mengenai siapa yang berada di belakang serangan itu, mereka tidak menutup kemungkinan adanya kaitan dengan politik dalam negeri yang bergolak di negara itu.
Lokasi kuil dekat daerah yang telah diduduki selama bertahun-tahun oleh faksi-faksi politik yang berbeda yang menentang pemerintah yang berkuasa.
Pada tahun 2010, oposisi pemerintah menduduki daerah tersebut beberapa minggu hingga tentara menggunakan kekerasan untuk mengusir mereka, yang mengakibatkan jatuhnya korban tewas dan pembakaran di pusat perbelanjaan di dekatnya.
Kawasan itu lagi diduduki oleh kelompok demonstran anti-pemerintah lainnya pada tahun 2014, yang menyebabkan jatuhnya pemerintah yang dipimpin oleh Yingluck Shinawatra dan kemudian disusul terjadinya kudeta militer.
Tahun lalu, pemerintah militer Thailand telah melarang protes dan menangguhkan proses demokrasi, sementara bersikeras bahwa negara ini belum siap untuk kembali menggelar pemilu.
Dilaporkan oleh reporter VOA: William Gallo.