Lembaga berita negara Iran, Islamic Republic News Agency (IRNA), pada 23 Juni mengutip perkataan Laksamana Muda Ali Reza Tangsiri, Komandan Angkatan Laut Garda Revolusi Islam (IRGC). Ia menegaskan bahwa kapal-kapal yang ingin melintasi Selat Hormuz harus berkomunikasi dengan pasukan Angkatan Laut Iran dengan menggunakan bahasa Persia.
Tangsiri menyatakan:
“Setiap kapal yang ingin melintasi Selat Hormuz harus memberikan informasi kepada kami terkait (data) kewarganegaraan, jenis muatannya, dan apa tujuannya di Farsi (Persia -red), dan jika hal ini diabaikan, kami pasti akan menindaknya.”
Pernyataan itu menyesatkan.
Selat Hormuz adalah salah satu jalur perairan paling strategis di dunia. Selat tersebut merupakan lintasan yang terletak di antara Teluk Persia dan Teluk Oman. Lebar titik tersempitnya hanya mencapai 21 mil.
Hukum maritim internasional mengatur soal perlintasan kapal melalui Selat Hormuz. Namun, Iran dan Oman dapat menerapkan regulasi mereka sendiri. Keduanya memang memiliki kewenangan atas wilayah pesisir selat yang tumpang tindih itu. Namun, regulasi lokal negara bagian pantai tersebut hanya bersifat imbauan, bukan sebuah keharusan untuk dilakukan.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Hukum Laut merupakan hukum maritim utama yang mengatur jalur perlintasan internasional melalui Selat Hormuz. Konvensi tersebut mengatur masalah jaminan dan kewajiban yang meliputi:
-
Hak Lintas Transit: semua kapal dan pesawat udara, termasuk kapal militer, memiliki hak lintas transit melalui selat yang digunakan untuk kegiatan navigasi internasional, seperti halnya Selat Hormuz. Dengan demikian, hak tersebut membuat kapal-kapal dapat melewati selat itu dengan cepat dan tanpa campur tangan yang tidak dapat dibenarkan.
-
Hak Lintas Damai: Hak lintas damai tersebut berlaku untuk kapal-kapal yang melewati perairan laut wilayah negara pantai, termasuk di Selat Hormuz. Hal itu mengacu pada perlintasan yang berkelanjutan dan cepat melalui perairan wilayah laut, dengan menghormati kedaulatan negara pantai dan mematuhi aturan dan regulasi tertentu.
-
Keselamatan dan Keamanan: setiap kapal harus mengikuti regulasi maritim internasional, seperti mematuhi protokol keamanan yang relevan dan mematuhi langkah-langkah keselamatan dan keamanan untuk memastikan perlindungan kehidupan manusia, lingkungan, dan properti.
-
Peringatan dan Informasi Navigasi: memperhatikan peringatan navigasi dan informasi lain yang diberlakukan oleh otoritas terkait. Hal tersebut meliputi pembaruan tentang potensi bahaya, masalah keamanan maritim, atau apapun pembatasan yang bersifat sementara yang dapat memengaruhi keamanan perjalanan.
-
Konsultasi dan Kerja Sama: Negara pantai dapat menetapkan peraturan atau persyaratan khusus untuk kapal yang melintasi Selat Hormuz. Operator dan pemilik kapal yang melewati selat itu diimbau untuk mematuhi prosedur atau pedoman khusus yang ditetapkan oleh negara-negara tersebut.
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), suatu negara berhak atas "wilayah ekonomi eksklusif" (ZEE) di luar laut teritorialnya, yang membentang hingga maksimum mencapai 12 mil laut dari garis pantainya.
Meskipun ada mekanisme beragam untuk menyelesaikan klaim otoritas maritim yang tumpang tindih, baik Iran maupun Oman, menuntut batas 12 mil secara penuh. Artinya, sebuah kesepakatan formal harus dibuat untuk memberikan otoritas hukum di luar penentuan letak geografis.
UNCLOS, di mana Iran menjadi salah satu anggotanya pada 1982, memberikan pedoman khusus untuk yurisdiksi dan hak antara negara dan kapal-kapal individu. Pedoman tersebut memberikan izin negara pantai untuk menerapkan persyaratan navigasi hanya di perairan teritorialnya, terutama dalam kasus di mana muatan kapal ditengarai berisiko. Panduan ini juga memungkinkan dicabutnya jaminan transit jika kehadiran kapal asing dianggap “mengganggu perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai”.
UNCLOS tidak memberikan kewenangan kepada Iran untuk menuntut kapal mana pun yang ingin transit di Selat Hormuz untuk memberikan informasi terkait kebangsaan, jenis muatan, dan tujuan transit dalam bahasa Persia.
Konsep jalur transit menjunjung tinggi masalah efisiensi dan kontinuitas yang menguntungkan perdagangan secara universal. Hal ini sangat penting jika dikaitkan dengan Selat Hormuz, mengingat, seperti yang dicatat oleh International Crisis Group, "tiga puluh persen minyak mentah yang diperdagangkan melalui jalur laut di dunia melewati Selat Hormuz setiap hari. Insiden yang merugikan atau tidak sengaja terjadi di laut dapat memicu konfrontasi militer secara langsung, dan mengancam pengiriman melalui jalur energi yang penting tersebut."
Amerika Serikat (AS) bukan lah bagian dari UNCLOS, tetapi Washington mengamati kebebasan navigasi sebagai praktik umum yang diterapkan di dunia. Pada 1987, setelah Iran mengeluhkan dugaan pelanggaran atas klaim perairan teritorial Iran terkait transit melalui Selat Hormuz, AS menjawab bahwa “rezim … lintas transit, sebagaimana tercermin dalam Konvensi, jelas didasarkan pada praktik kebiasaan yang sudah berlangsung lama, dan mencerminkan keseimbangan hak dan kepentingan di antara semua negara, terlepas dari apakah mereka telah menandatangani atau meratifikasi Konvensi…”
Pada 8 Juni, menyusul pertemuan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan menteri luar negeri dari negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Arab Saudi, pemerintah AS dan negara-negara tersebut merilis pernyataan bersama. GCC sendiri terdiri dari sejumlah negara, mencakup Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Isi pernyataan bersama tersebut antara lain menyebutkan:
“Dewan GCC dan Amerika Serikat menegaskan kembali komitmen mereka terhadap kebebasan navigasi dan keamanan maritim di kawasan dan tekad mereka untuk melawan tindakan agresif dan ilegal di laut atau di tempat lain yang dapat mengancam jalur pelayaran, perdagangan internasional, dan instalasi minyak di negara-negara bagian GCC.”