Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperkirakan setidaknya ada 1,5 juta guru dari 3,2 juta guru di Indonesia berstatus honorer. Jumlah itu masih ditambah staf bagian administrasi yang juga memiliki tenaga honorer tidak sedikit. Selain Kemendikbud, sejumlah kementerian lain juga memiliki tenaga honorer yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selama ini, tenaga honorer tidak memiliki jenjang karier yang jelas. Karena itulah, pemerintah membuka skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Proses rekrutmen dimulai bulan Februari lalu. Sayangnya, hingga saat ini belum jelas, siapa yang nantinya akan menanggung gaji PPPK. Sejumlah pemerintah daerah secara terbuka menyatakan belum menganggarkan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam kunjungannya awal pekan lalu di Yogyakarta mengatakan, khusus di kementeriannya, dia upayakan gaji PPPK ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Daerah tidak punya anggaran di APBD. Padahal saya sudah sampaikan, akan kita upayakan dari APBN. Saya sedang memohon kepada Ibu Menteri Keuangan, supaya pengangkatan guru honorer itu, kalau sudah menjadi pegawai PPPK, anggaran gajinya diambilkan dari APBN. Mudah-mudahan tahun ini bisa direalisasi. Sekarang sudah pemberkasan, baik yang PNS maupun yang PPPK, dan kita usahakan setelah itu ada tes rekrutmen lagi,” ujar Muhajir.
Tentu saja tidak ada pos khusus di APBN yang dialokasikan untuk gaji PPPK. Karena itulah, ditanya lebih lanjut mengenai sumber dana gaji tersebut, dia mengatakan akan diambil dari jatah 20 persen APBN untuk sektor pendidikan.
Badan Kepegawaian Negara hingga 25 Maret 2019 masih melakukan verifikasi dan validasi terhadap pemerintah daerah terkait penyediaan anggaran untuk gaji PPPK. Dalam keterangan resminya, BKN berharap Pemda mampu mengusulkan jumlah yang proporsional sesuai prioritas mereka. Hal ini terkait kewajiban Pemda sendiri yang harus menggaji PPPK jika sudah terpilih nanti.
Sementara di sisi lain, pemerintah daerah juga menunggu pengumuman dari pusat terkait tindak lanjut skema tersebut. Kabupaten Kulonprogo, di DI Yogyakarta, misalnya, sudah selesai melakukan seleksi untuk posisi yang mereka tawarkan. Dari 100 lowongan tersedia, hanya 87 pelamar yang masuk. Dari jumlah tersebut, 85 dinyatakan lolos.
“Ada 85 peserta yang lolos seleksi, tapi kami belum umumkan, kami menunggu kebijakan dari pemerintah pusat," kata Raden Trusta Hendraswara, staf pemerintah kabupaten Kulonprogo kepada media.
Tidak Semua Sambut Positif
Koordinator Wilayah Forum Honorer Kategori II Indonesia (FHK2I) Yogyakarta, Eka Mujiyanta kepada VOA mengatakan, anggota forum bersikap berbeda terhadap skema itu. Meski tetap menghargai solusi yang diambil pemerintah, sebagian guru di daerah tetap tidak mau mendaftar.
“Harapan dari semua tenaga honorer itu kan rasa keadilan, rasa kemanusiaan. Perjuangan kami-kami ini sudah puluhan tahun. Jadi yang diminta ke pemerintah itu, terutama ke pemerintah pusat, terutama adalah regulasi. Pengangkatan. Tentunya menjadi CPNS,” tutur Eka.
“Kalau ke PPPK itu kayaknya meski sudah proses, apakah di daerah ada kelanjutan, karena untuk penggajian dibebankan ke daerah. Ini yang menjadi pertanyaan,” lanjutnya.
Regulasi yang diharapkan forum honorer adalah perubahan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Dengan perubahan itu, terbuka kesempatan bagi tenaga honorer untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Skema PPPK yang ditawarkan pemerintah menurut Eka tidak menyelesaikan masalah, karena status mereka masih pegawai kontrak. Jika digaji oleh daerah, forum honorer khawatir posisi mereka tergantung pada kondisi keuangan daerah. Artinya, sewaktu-waktu kontrak dapat diputus, jika daerah tak mampu lagi memberikan gaji.
Eka berharap pemerintah mempertimbangkan pengabdian mereka selama ini. Banyak tenaga honorer yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun tanpa kejelasan status.
“Rata-rata tenaga honorer yang sudah masuk Kategori 2 itu, kemungkinan sudah di ambang limit, karena masa kerja ada yang sudah 30 tahun. Kemungkinan untuk usia sudah kepala 5. Teman satu kantor saya saja, usianya sudah 56 tahun,” tambah Eka.
Kepedulian Pemerintah Daerah
Harapan forum honorer itu nampaknya masih jauh panggang dari api. Pemerintah maupun DPR belum menyentuh sedikitpun kemungkinan tersebut. Meskipun ribuan tenaga honorer pernah melakukan demonstrasi di Jakarta November 2018 lalu, belum ada sedikitpun tindak lanjut pemerintah.
Tenaga honorer diangkat menjadi CPNS saat ini memang tidak dimungkinkan oleh undang-undang. Sejak UU ASN diberlakukan pada 2014, perekrutan harus dilakukan melalui seleksi. Sebelum UU itu berlaku, masih terbuka kesempatan tenaga honorer langsung diangkat menjadi ASN hanya melalui seleksi administratif. Dalam periode 2009-2013 misalnya, pemerintah tercatat mengangkat 1,1 juta tenaga honorer menjadi pegawai negeri.
Sejumlah pemerintah daerah berusaha peduli dengan mengalokasikan anggaran lebih untuk tenaga honorer. Pemerintah Kota Yogyakarta, pada 2019 ini menganggarkan Rp 8 miliar untuk honor guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap. Dengan anggaran itu, diharapkan mereka memiliki honor minimal sama dengan Upah Minimum Kota (UMK).
Kabupaten Bantul pun melakukan hal yang sama. Honor guru tidak tetap sebelumnya hanya Rp 650 ribu dan dibayarkan setiap tiga bulan. Mulai 2019, dianggarkan masing-masing akan menerima Rp 1,5 juta, hanya sedikit di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang sebesar Rp 1,6 juta. Sementara itu, Kabupaten Gunungkidul sedang melakukan pendataan guru tidak tetap di daerah itu. Nantinya, pemerintah daerah akan membuatkan Surat Keputusan (SK) Bupati sebagai legalitas. Selain memperoleh SK, masing-masing guru tidak tetap juga akan menerima tunjangan Rp 600 ribu perbulan. [ns/uh]