Curhat Intan Kemalasari Soal Menjadi Beauty Influencer dan Nyelekitnya Warganet

Intan Kemalasari

Fenomena vlogger dan influencer turut meramaikan gempuran arus informasi di era digital. Bermodalkan kamera ponsel dan akses internet, dengan konten menarik, siapapun kini bisa menjadi influencer di bidangnya dengan potensi untuk mendulang pundi-pundi rupiah tambahan.

Seperti Intan kemalasari, seorang jurnalis gaya hidup yang di sela waktunya aktif mengunggah beragam konten, termasuk soal kecantikan. Intan awalnya tidak berniat untuk menjadi seorang beauty influencer, istilah yang diberikan untuk para influencer yang rajin mereview produk kecantikan di sosial medianya. Review kosmetik serta pakaian ukuran besar Intan lakukan karena sekedar hobi.

“Awalnya aku memang rajin posting OOTD (Outfit of The Day). Aku ingin motivasi orang-orang bertubuh besar kayak aku posting OOTD. Karena biasanya orang-orang bertubuh besar kayak aku itu minder. Aku mau ajak teman-teman aku ‘ayo gapapa upload foto selfie atau OOTD’ karena menurut aku itu bisa bantu kita jadi lebih percaya diri,” kata Intan.

Akunnya yang kini diikuti oleh lebih dari 50 ribu pengikut, sering ia gunakan untuk memotivasi orang-orang bertubuh besar yang cenderung minder. Intan sendiri sangat aktif mengkampanyekan tagar #GueGendutGuePD di akun instagramnya, untuk memotivasi pengikutnya yang bertubuh besar.

“Awalnya sih hashtag itu aku bikin iseng aja, untuk lebih gampang mengelompokkan foto-foto OOTD. Nah hashtag ini aku bikin biar bisa dipakai sama orang-orang lainnya. Tujuannya ya supaya mereka berani posting foto OOTD. Semacam biar termotivasi gitu.”

Caci maki netizen

Caci maki, kritik hingga komen bernada negatif sudah hampir pasti mampir di @Kemalasari, akun instagram milik Intan. “Awalnya masih sering dapat komentar negatif kayak ‘aduh gendut, sok cantik, ngga sehat deh badan lo',” cerita Intan kepada VOA. Namun Intan mengaku tidak lagi ambil pusing mengenai komentar-komentar tersebut.

Yang banyak orang tidak ketahui adalah upaya yang Intan sudah tempuh untuk menurunkan berat badannya.

“Aku suka jalan kaki, jalan santai, zumba, dari kuliah sudah yoga juga. Kalau makanan, aku ngurangin yang berlemak, seperti santen itu sudah ngga sama sekali. Mie instan sudah hampir ngga pernah. Sebisa mungkin tiap hari pasti makan sayur, berasnya juga beras merah. Aku bukan penganut diet ketat yang menyiksa. Aku cuma lebih menerapkan mindful eating.”

Intan mengaku memilih untuk tidak banyak bicara soal usahanya tersebut di media sosial, meski cibiran serta komentar negatif kerap menghampiri akunnya. Awalnya ia mengaku sedih dan kesal dengan cibiran warganet yang terus berdatangan.

“Mereka nge-judge seolah-olah mereka tahu aku seperti apa. Padahal belum pernah ketemu dan ngga tahu siapa aku,” tambah Intan. Intan pun memutuskan tidak ambil pusing dan fokus untuk memotivasi pengikutnya untuk percaya diri.

Perundungan dan diskriminasi terkait berat badan juga bisa berdampak buruk terhadap kesehatan mental, dan justru bisa meningkatkan risiko obesitas hingga 2,5 kali lipat. Demikian studi yang dilakukan oleh Florida State University pada tahun 2010.

Intan kampanyekan #GueGendutGuePD

Kegemukan sejak kecil

Kepada VOA Intan bercerita bahwa kegemukan yang dialaminya sudah sejak kecil. Kontras dengan asumsi negatif warganet yang ditujukan kepadanya, Intan sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan berat badannya sejak ia kecil.

“Dari kecil bahkan aku sudah dibawa ke dokter gizi terus turun berat badan. Akhirnya sama dokternya ditambahin dosis obatnya jadi dosis dewasa. Aku nggakuat, pusing kliyengan, akhirnya sempet jatuh di kamar mandi. Sejak saat itu aku menghindari obat-obatan. Pernah juga akupuntur, minum herbal, terus ke dokter gizi lagi untuk jalanin diet kalori. Nah, yang ini walau susah payah dijalanin Alhamdulillah sempat turun 14kg. Tapi ya masih ada aja netizen-netizen itu yang komentar negatif,” cerita Intan.

Kegemukan dan obesitas akibat faktor genetik memang ditemukan dalam dunia medis. Penelitian yang dilakukan oleh Université Lavare Prancis menyebutkan resiko obesitas dua hingga delapan kali lebih tinggi terhadap orang yang dilahirkan dengan keluarga yang memiliki riwayat obesitas.

Dokter spesialis gizi, Diana F. Suganda, tidak menampik adanya kegemukan akibat faktor genetik. Namun ia menambahkan, bukan berarti hal tersebut menjadi vonis kegemukan seumur hidup. Diana menekankan pentingnya peran dan dukungan lingkungan terdekat, termasuk keluarga, untuk membantu penurunan berat badan.

Ia juga menambahkan, pengurangan kalori untuk mengatur berat badan semakin menantang sekarang dikarenakan ragam jenis makanan dan penyajian porsi makanan yang semakin besar di hampir semua restoran. Kondisi tersebut mempersulit pengaturan pola makan orang yang tengah menjalani diet ketat yang sehat.

“Obesitas sekarang makin banyak (kasusnya), karena sekarang porsi (di restoran) itu semakin besar. Ditambah lagi kayak boba drink, cheese drink, kopi-kopi kekinian, kapucino dan lainnya itu dikonsumsi dan rasanya seperti belum makan. Padahal kalorinya tinggi! Itu orang ngga sadar. Alasannya ‘aku belum makan nasi’, jadi dianggap belum makan,” kata Diana.

Intan berprofesi sebagai jurnali gaya hidup

Komentar bentuk tubuh refleksi budaya komunal Indonesia

Tidak jarang kotak pesan media sosial Intan dipenuhi orang tak dikenal yang memberinya nasihat untuk menguruskan badan. Kepada VOA, Intan mengaku kesal atas pesan-pesan tersebut.

“Terima kasih atas masukannya, terima kasih atas sarannya. tapi kembali lagi, yang tau diri saya, ya saya sendiri. Kalian hanya lihat saya 'sepintas', bahkan bertemu pun tidak pernah. tapi mengapa banyak orang-orang yang nge-judge segampang itu? Ibarat kata, kalian hanya melihat saya di permukaannya saja, kalian juga tidak tahu seperti apa saya sehari-hari dan apa cerita saya di balik itu,” tukas Intan.

Meski Intan memandang hal ini sebagai sebuah wujud intervensi yang tak perlu, namun ternyata pengamat memandang ini sebagai sebuah bentuk fenomena benturan budaya.

Peneliti sosial vokasi Universitas Indonesia, Devi Rachmawati, menjelaskan pada VOA, hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia pada dasarnya memiliki budaya komunal. Lontaran pertanyaan serta pernyataan personal yang kerap dipandang masuk dalam ranah privat, menurutnya sebenarnya berasal dari itikad yang baik.

“Kita memang masyarakat komunal. Sekarang suka ada pertanyaan ‘kapan kawin?’, lalu pertanyaan soal agama dan sebagainya. (Secara tradisi) Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sesuatu yang tabu. Bagi masyarakat komunal kita memiliki tanggung jawab sosial yang kuat. Bukan sekedar kepo (rasa ingin tahu) atau memojokkan orang lain,” jelas Devi.

Menurut Devi, saat ini tengah terjadi kesenjangan kebudayaan antar generasi akibat perkembangan teknologi dan globalisasi. Budaya barat yang cenderung individualistis, diakui Devi, menyebar dan mempengaruhi generasi milenial.

“Teknologi tanpa kita sadari membuat wajah manusia nyaris sama. Memang akan terjadi homogenitas kebudayaan. Yang kita baca, konsumsi, bahkan alat yang kita pegang semuanya sama, sehingga mau tidak mau membuat lalu lintas budaya semakin cepat,”

Namun Devi percaya kearifan budaya komunal dan gotong royong masyarakat Indonesia masih akan bertahan. “Tetapi mereka (generasi muda Indonesia) tidak bisa menyerap budaya baru tersebut secara utuh, karena secara fisik mereka masih ada di Indonesia. Jumlah mereka juga hanya sekitaran sepertiga populasi sehingga masih banyak berinteraksi dengan generasi baby boomer dan generasi X,” tambah Devi. (rw/ah)