Studi-studi baru pada monyet menunjukkan bahwa satu suntikan vaksin Ebola eksperimental dapat memicu perlindungan cepat, namun efeknya berkurang kecuali para satwa itu mendapat suntikan pendorong yang dibuat dengan cara yang berbeda.
Beberapa orang sehat bersedia dijadikan responden untuk studi keselamatan manusia pertama yang dilakukan Lembaga Kesehatan Nasional (NIH) di AS untuk vaksin ini, dengan harapan dapat digunakan dalam wabah Ebola yang sedang terjadi sekarang ini di Afrika Barat.
NIH pada Minggu (7/9) menerbitkan beberapa hasil riset kunci pada hewan di belakang injeksi-injeksi tersebut. Salah satu alasan vaksin itu dianggap menjanjikan adalah bahwa setiap dosis melindungi keempat monyet yang divaksinasi ketika mereka dipaparkan pada virus Ebola tingkat tinggi hanya lima minggu kemudian, menurut para peneliti di jurnal Nature Medicine.
Hal itu sesuai dengan vaksin-vaksin lain yang secara rutin digunakan saat ini, dan untungnya tidak memerlukan dosis-dosis ganda untuk memicu perlindungan sebanyak itu, menurut Dr. Anthony Fauci, direktur Lembaga Penyakit Alergi dan Menular pada NIH.
Tantangan yang lebih besar adalah bahwa perlindungan tersebut memudar seiring waktu.
Para peneliti memaparkan monyet-monyet itu pada Ebola 10 bulan setelah vaksinasi, dan kali ini hanya setengahnya yang terlindungi. Vaksin itu dibuat dari virus flu simpanse.
Para peneliti kemudian memberikan dosis lain sebagai pendorong dua bulan kemudian. Namun hal itu kurang cukup bekerja.
Mereka mencoba pendekatan baru yang disebut "prime-boost." Dosis pertama adalah tetap vaksin Ebola berbasis virus simpanse, namun pendorongnya dua bulan kemudian dibuat dari virus poxy yang digunakan untuk membuat vaksin melawan cacar.
Kali ini, semua monyet masih terlindungi 10 bulan setelah suntikan awal.
Dengan memburuknya krisis Ebola secara pesat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan Jumat akan mencoba mempercepat penggunaan produk-produk eksperimental, termasuk dua kandidat-kandidat vaksin.
WHO mengatakan pada November, diperkirakan hasil-hasil awal dari studi lima tahap akan muncul untuk melihat apakah vaksin aman dan memicu reaksi kekebalan tubuh pada manusia. (AP)