Melalui upaya eradikasi atau memberantas habis penyakit Schistosomiasis, Pemerintah Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah dalam lima tahun ke depan berupaya untuk mengurangi lokasi fokus keong Oncomelania hupensis lindoensis yang menjadi perantara infeksi Schistosomiasis terhadap manusia di dataran tinggi lembah Napu dan Bada. Belajar dari keberhasilan China, penanganan penyakit itu kini dilakukan secara terpadu oleh berbagai instansi terkait setelah selama ini penanganannya hanya menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan.
Diperkirakan akan dibutuhkan waktu setidaknya lima tahun untuk melakukan eradikasi atau memberantas habis penyakit Schistosomiasis di wilayah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Bupati Poso Darmin Sigilipu mengakui target itu akan menghadapi tantangan yang berat mengingat keberadaan keong Oncomelania hupensis lindoensis yang menjadi inang cacing Schistosoma penyebab penyakit itu menyebar di 213 lokasi fokus di 23 desa di dataran Tinggi Napu dan Bada.Selain di Poso, juga terdapat 14 lokasi fokus di lima desa di dataran tinggi Lindu di Kabupaten Sigi.
"Ternyata penyakit ini di negeri kita di Indonesia termasuk penyakit yang terabaikan, bayangkan, itu penjelasan dari Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa penyakit Schistosomiasis ini di Indonesia termasuk penyakit yang terabaikan. Di Indonesia hanya ada di satu provinsi, di provinsi yang lain tidak ada, yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya di dataran Tampolore, kemudian di Kabupaten Sigi juga ada di sana," kata Bupati Poso, Darmin Sigilipu.
Darmin Sigilipu menerangkan dari studi lapangan di China pada awal Agustus 2017 yang disponsori oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pihaknya mempelajari keberhasilan negara itu dalam melakukan eradikasi Schistosomiasis adalah dengan pelibatan semua instansi terkait di bawah satu departemen khusus, sehingga Pemerintah China berhasil menurunkan prevalensi penderita manusia mendekati nol persen. Sebelumnya, pada era tahun 1950-an Schistosomiasis terjadi di 12 Provinsi dengan penderita yang mencapai 30 juta orang.
“Kami menyarankan ke kementerian juga kalau bisa kita contoh itu dan anggarannya Pemerintah China untuk menangani masalah Schisto ini luar biasa. Kita ini kayaknya selama ini masih sektoral saja, hanya di selesaikan oleh Dinas Kesehatan tidak melibatkan dinas-dinas yang lain,” kata Bupati Poso, Darmin Sigilipu.
Meniru keberhasilan China itu, Pemerintah Kabupaten Poso menyusun kebijakan baru yang menitikberatkan kerjasama lintas sektoral yaitu Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian Peternakan serta Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda).
Herningsih Tampai Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Poso menerangkan penanganan Schistosomiasis tidak hanya terbatas pada pencegahan dan pengobatan korban manusia tapi juga dilakukan pada perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi tersier, pemanfaatan lahan tidur untuk perkebunan kopi, pengandangan ternak serta pemasangan lebih banyak lagi tanda peringatan di lokasi fokus untuk mencegah masyarakat memasuki lokasi tersebut tanpa menggunakan sepatu bot sebagai perlindungan diri.
“Kenapa kita perlu membangun jaringan irigasi karena kita tahu bersama bahwa Schisto habitatnya adalah daerah-daerah yang merupakan daerah genangan, karena itu kita perlu membangun jaringan irigasi tersier. Kemudian yang ke-dua kita perlu membuka dan mengaktifkan lahan-lahan tidur,” kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Poso, Herningsih Tampai.
Penanganan Schistosomiasis, penyakit yang di sebabkan cacing Schistosoma japonicum yang dapat menembus kulit dan masuk ke tubuh manusia itu akan menjadi pekerjaan yang berat bagi Pemerintah Kabupaten Poso.
Kunci dari keberhasilan eradikasi terletak pada pemberantasan keong perantara Oncomelania hupensis lindoensis di 213 lokasi fokus keong di lokasi pertanian, perkebunan dan lahan tidur, termasuk di wilayah kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
“Kita tahu bersama bahwa untuk daerah Napu ada 17 desa yang merupakan desa yang sudah terinfeksi Schisto, dan untuk Lore Barat itu ada 5 desa, sehingga total desa yang terinfeksi Schisto untuk Kabupaten Poso ada 23 desa,” lanjutnya.
Sejauh ini pemerintah setempat melalui Dinas Kesehatan setiap enam bulan melakukan pemeriksaan tinja penduduk untuk mendeteksi penderita Schistosomiasis. Pengobatan kepada penderita dilakukan dengan pemberian obat praziquantel yang diberikan secara gratis.
Kasus Schistosomiasi di Sulawesi Tengah di temukan pertama kali pada tahun 1937 namun upaya pengendaliannya baru mulai dilakukan pada tahun 1973.Tingkat prevalensi penderita saat itu di dataran tinggi Lindu mencapai 12-70 persen sedangkan di dataran tinggi Naputingkat prevalensi 72 persen.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2017, prevalensi Schistosomiasis pada manusia di dataran tinggi Napu, Lindu dan Bada di Sulawesi Tengah berada di bawah satu persen. Namun angka prevalensi pada hewan masih tinggi yaitu antara 22 dan 40 persen. Dengan demikian penularan Schistosomiasis melalui lingkungan seperti fokus keong perantara, hewan ternak serta tikus harus menjadi perhatian dalam upaya eradikasi penyakit itu di Sulawesi Tengah. [yl/lt]