Sammy Hedohari, warga Kupang, NTT sedang berjuang membawa pulang jenazah saudarinya, Deliaty Hedohari. Deliaty, warga Kupang kelahiran 8 Juni 1967 meninggal karena sakit di Malaysia. Jenazahnya kini berada di kamar mayat Hospital UTM Technology, Sungai Bulo, Johor. “Jenazahnya masih di ruang jenazah, saya sendiri baru mau bertemu dengan agen pengiriman jenazah karena kedutaan tidak bisa membantu biayanya, hanya diberi surat pengantar saja. Saya sedang menunggu agen itu di Taman Aman Puri,” kata Sammy ketika dihubungi VOA melalui aplikasi pesan.
Deliaty menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT ke-103 yang meninggal dunia di luar negeri sepanjang 2018 ini. Hari Sabtu (28/12), datang kabar meninggalnya Bernadus Lewar, PMI asal Maumere, Sikka. Bernadus yang bekerja di Kinabalu, akan menjadi jenazah ke-104 yang pulang ke daerah asalnya dalam peti mati.
Lembaga swadaya masyarakat Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia mencatat, dari 104 PMI yang meninggal, 101 di antaranya bekerja di Malaysia. Tiga yang lain bekerja di Singapura dan Afrika Selatan.
Angka itu meningkat jauh dari catatan tahun lalu, di mana 63 PMI dinyatakan meninggal ketika bekerja di luar negeri. Bahkan, selama lima tahun sejak 2013-2017, catatan total PMI meninggal adalah 181 orang. Karena itu, 104 jenazah yang pulang ke NTT hanya dalam setahun ini merupakan angka yang sangat mengejutkan.
Upaya Pencegahan Belum Berjalan
Direktur Padma Indonesia, Gabriel Goa mengatakan, banyak upaya sudah dirancang tetapi belum jalan. Di tingkat awal proses pemberangkatan, seperti pembukaan Balai Latihan Kerja (BLK) dan Layanan Satu Atap untuk urusan administrasi, masih merupakan wacana saja. Tidak mengherankan, jika pekerja migran yang berangkat ke luar negeri mayoritas tidak dibekali ketrampilan dan pengetahuan yang cukup. Ini merupakan faktor timbulnya korban meninggal terus menerus.
Malaysia, kata Gabriel, sebagai negara tujuan mayoritas pekerja migran asal NTT, juga tidak bereaksi cukup terhadap kondisi ini. Jaminan hak-hak pekerja yang diamanatkan oleh konvensi ILO dan HAM PBB tidak diikuti Malaysia, karena negara itu tidak meratifikasi kesepakatan tersebut.
“Malaysia butuh pendekatan khusus, karena menjadi penerima pengiriman PMI terbesar dari Indonesia. Perlu implementasi UU Perlindungan PMI yang baru. Kalau tidak, kita akan menjadi budak di negeri jiran. Hak-hak mereka atas kesehatan dan jaminan sosial, kalau non prosedural kan tidak ada sama sekali. Malaysia menjadi daya tarik, karena di jalur timur, di perkebunan kelapa sawit ini sangat menjanjikan bagi para PMI,” kata Gabriel Goa.
Salah satu yang menjadi tujuan kerja PMI asal NTT di Malaysia adalah perkebunan kelapa sawit di wilayah Serawak dan Sabah. Meskipun mayoritas datang kesana dengan dokumen resmi, namun tanpa keterampilan yang dibutuhkan, resiko untuk menjadi korban perdagangan orang tetap ada.
Selama ini, mayoritas jenazah PMI pulang ke NTT dengan biaya keluarga dan bantuan LSM seperti Padma Indonesia. “Kalau negara tidak mau mengurus, kita urunan dengan keluarga yang di kampung maupun sesama pekerja disana untuk membantu memulangkan. Untuk kasus yang disorot pers atau publik, biasanya pemerintah ambil alih. Tetapi kalau tidak disorot, biasanya dibiarkan seperti yang dialami keluarga Sammy tadi,” kata Gabriel.
Pihak KJRI di Johor yang dihubungi VOA menyatakan, akan membantu administrasi persuratan untuk kelancaran rilis jenazah. “ Kami juga sudah kontak dengan keluarga mereka dan pengurusan jenazah sudah dilakukan dengan baik. Dalam hal ini kedutaan hanya membantu proses surat menyurat untuk jenazah, baik dikebumikan di Malaysia ataupun dikirim ke Indonesia. Biaya memang keluarga yang menanggung,” kata Faizal, staf KJRI yang menyampaikan jawaban dari pimpinannya.
PMI dan Perubahan Sosial di NTT
Bekerja di luar daerah sudah menjadi tradisi di NTT. Menurut Ardi Milik, aktivis di Forum Solidaritas Kemanusiaan NTT, perubahan sosial di masyarakat kini juga menjadi faktor pemicu. Kemiskinan adalah alasan yang mendasari warga NTT dan Tahun 80-an dan 90-an, merupakan puncak arus migrasi ke luar daerah.
“Ada jarak budaya dan teknologi. Ukuran sekarang, untuk ganteng dan cantik harus pakai pakaian bagus dan pegang HP android, dan itu hanya bisa dapatkan ketika keluar. Prestise sosial jadi satu ukuran, sementara kapasitas kita tidak memadai untuk mencapai prestise itu. Tinggal di kampung memang tidak akan mati karena kelaparan, tetapi itu terjadi karena kebutuhan gaya hidup yang makin tinggi,” kata Ardy.
Petani sudah dianggap bukan sebuah pekerjaan, tambah Ardy. Di sisi yang lain, banyak perantau sukses mampu membangun rumah, membeli mobil, dan mengumpulkan modal usaha di kampung. Dorongan untuk pergi, terutama ke luar negeri menjadi lebih besar.
Sayangnya, dalam proses bermigrasi itu tidak disertai dengan prosedur rekrutmen, pelatihan, pelayanan dan penempatan yang sesuai dengan undang-undang. Ardy menambahkan, rata-rata orang NTT di pedalaman hanya memegang uang tunai Rp 300 ribu setiap bulan. Hanya untuk mengurus KTP saja, ongkos yang dikeluarkan bisa lebih besar dari angka itu. Karena itulah, operator jasa tenaga kerja melakukan eksploitasi kepada calon pekerja migran dalam mengurus surat-surat, dengan memanfaatkan kondisi itu. Data ini diperoleh melalui penelitian di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Karena itulah, dalam kasus-kasus terkait PMI, pemerintah tidak bisa melihat faktor resmi atau tidak resmi saja. Masalahnya terlalu kompleks, sehingga seharusnya setiap korban dilihat dari sisi kemanusiaan.
“Tindak pidana perdagangan orang, dan korban yang begitu banyak, tidak hanya dilihat status legal atau tidaknya korban. Dalam persoalan ini, kami sepakat bahwa kami membicarakan manusia, kami tidak membicarakan manusia secara administratif. Kalau bicara soal penyebab, korban lebih banyak karena tingkat ketrampian dan pendidikan yang rendah. NTT sendiri sepanjang empat tahun terakhir, adalah provinsi dengan tingkat pendidikan terendah ketiga terbawah dari 34 provinsi di Indonesia,” kata Ardy Milik.
Indonesia sendiri tidak tegas dalam kasus-kasus perdagangan manusia, apalagi terhadap pelaku dari luar negeri. Ardy memberi contoh, kasus penyekapan 28 tenaga kerja asal NTT yang dijadikan budak di rumah walet di Medan selama 11 bulan pada 2014. Meski kasus ini telah dilaporkan langsung ke Presiden Jokowi, pelaku perbudakan tidak tersentuh hukum sampai saat ini. [ns/em]