Setelah sempat terkatung-katung, puluhan mantan napi korupsi akhirnya dipastikan boleh bersaing dalam pemilu April mendatang. Meskipun sejarah hidup mereka sempat diwarnai cacad, mereka berpeluang untuk menang.
Mahkamah Agung memutuskan tahun lalu, peraturan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum yang melarang mantan napi korupsi untuk bersaing merebut jabatan publik bertentangan dengam UU tahun 2017 mengenai pemilu.
Pada pemilu mendatang, di antara 7.968 orang yang bersaing memperebutkan kursi di DPR dan DPRD , 38 di antara mereka pernah dinyatakan bersalah terlibat korupsi. Mereka mendapat dukungan 13 – dari 16 – partai politik yang berpartisipasi pada pemilu 2019. Dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang didirikan kandidat presiden Prabowo Subianto, mendukung enam di antara para mantan napi yang mencalonkan diri itu, atau yang terbanyak dibanding partai-partai lain.
Keputusan MA, meskipun sudah final, tetap mengundang kontroversi. Mereka yang mengecam keputusan itu mengatakan, mengizinkan mantan napi korupsi bisa merusak integritas DPR dan DPRD, dan menghalangi usaha-usaha memberantas korupsi.
“Sementara anggota badan-badan pemerintah, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Audit, diharuskan tidak memiliki catatan sejarah yang memalukan, peraturan itu tidak berlaku bagi anggota DPR dan DPRD,” kata Ade Irawan, Wakil kordinator Indonesian Corruption Watch.
Mantan Napi Berpeluang Menang
Lebih jauh Ade mengatakan mantan napi korupsi berpeluang menang. Alasannya sederhana. Di Barat, vonis bersalah terkait korupsi bisa menciutkan nyali para politisi untuk menjadi sorotan publik, apalagi mencalonkan diri dalam pemilu. Namun stigma seperti itu tidak berlaku di Indonesia, di mana suap dan korupsi dianggap perilaku normal. Sebuah survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) belum lama ini paling tidak menunjukkan gambaran memprihatinkan ini.
Sementara kebanyakan responden mengaku pro-demokrasi, sepertiga dari mereka mengatakan, mereka tidak memperdulikan, dan pada beberapa kasus bahkan mendukung, korupsi -- suatu sikap yang bertentangan dengan sistem politik yang mereka dukung.
Menurut survei itu pula, 27 persen responden -- umumnya mereka yang tinggal di pedesaan dan tidak mengenyam pendidikan tinggi -- memaklumi korupsi, kolusi dan nepotisme, khususnya bila itu dapat membantu mempercepat proses administrasi manakala harus berurusan dengan badan-badan penegakan hukum. Sikap permisif seperti ini, menurut sejumlah pengamat, dapat membantu mantan napi terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD.
“Tidak semua pemilih mengetahui dengan baik latar belakang kandidat, termasuk apakah mereka termasuk politisi kotor atau bersih. Toleransi para pemilih terhadap para koruptor juga tinggi,” kata Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior LSI. “Jadi ya, mantan napi korupsi berpeluang untuk menang.”
Pada pilkada Juni lalu, contohnya, hanya 19 hari setelah KPK menyebutnya sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang melibatkan sejumlah proyek prasarana publik, Syahri Mulyo, seorang kandidat, terpilih sebagai bupati di Jawa Timur dengan kemenangan meyakinkan. Ia meraih 59,8 persen suara. Memang sih kemenangan itu kemudian dibatalkan, karena ia kemudian ditahan sambil menunggu persidangan. Namun, itu menunjukkan betapa rendahnya pengetahun pemilih mengenai wakil-wakil mereka.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sependapat dengan Burhanuddin. Ia menyatakan kecewa dengan keputusan MA yang membolehkan mantan napi korupsi mencalonkan diri. “Ini bukan perkara adil atau tidak adil menyangkut hak politik seseorang. Persoalannya adalah mereka sudah menodai kepercayaan rakyat dan kini mereka menuntut untuk diberi kepercayaan mewakili rakyat,” katanya.
Titi setuju dengan usulan sejumlah pihak agar para mantan napi korupsi yang mencalonkan diri mengumumkan bahwa mereka pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik. “Saya juga mengusulkan agar di setiap TPS di mana ada mantan napi korupsi yang bersaing memperebutkan kursi ditempatkan pengumuman publik yang menyebut nama-nama calon yang pernah terlibat korupsi, apa bentuk korupsinya dan kapan mereka menyelesaikan masa hukumannya,” tambah Titi.
Budaya Patronase Suburkan Korupsi
Kecenderungan bersikap lunak terjadap korupsi di Indonesia kemungkinan juga bersumber dari budaya patronase di kalangan masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Tidak seperti di Barat, di mana azas meritrokrasi berlaku, banyak pemilih Indonesia sering mengagungkan tokoh publik, seperti pejabat atau pemuka agama. Walhasil, politisi dengan mudah meraih kembali kekuasaan bahan setelah dinyatakan terlibat terhadap kasus korupsi. “Karena budaya patronase, orang-orang cenderung menghormati para pejabat atau pemimpin agama meskipun intelejensi dan keahliannya diragukan,” ujar Titi.
Ade dari Indonesian Corruption Watch (ICW) ragu, usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran pemilih mengenai latar belakang kriminal kandidat akan mempengaruhi toleransi masyarakat terhadap korupsi, karena korupsi sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Survei ICW tahun lalu menunjukkan, lebih dari 33 persen responden mengaku pernah memberi uang atau hadiah kepada polisi untuk memudahkan urusan mereka.
ICW mengatakan, tahun lalu, negara merugi 30 triliun rupiah akibat korupsi namun hanya 5 persen dari dana itu kembali ke pemerintah. ICW juga mencatat secara keseluruhan ada 2.457 pegawai pemerintah yang pernah terlibat korupsi, namun mereka masih dipekerjakan dan bahkan ada yang sudah dipromosikan. “Ini menggambarkan lemahnya penindakan atau penghukuman di lembaga-lembaga pemerintahan,” kata Ade.
Para analis mengatakan, para mantan napi korupsi diperkirakan juga akan menunjukkan kepribadian yang merakyat untuk menarik perhatian para pemilih, dan taktik ini bisa berhasil di kalangan mereka yang berpendidikan rendah di daerah-daerah pedesaan.
Para pemilih ini biasanya tidak keberatan dengan politik uang. Mereka tak sungkan memberikan suara mereka setelah menerima sedikit uang tanda welas asih dari orang-orang yang mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Ini merupakan peluang menguntungkan bagi para mantan napi korupsi karena mereka memang memiliki uang hasil korupsi di kantung mereka.
“Para mantan napi korupsi yang mencalonkan diri umumnya lebih dikenal masyarakat dibanding mereka yang jujur. Mereka juga cenderung lebih membaur dengan masyarakat,” kata Burhanuddin . “Ini akan membantu mereka menggalang dukungan dari orang-orang yang permisif terhadap korupsi. Singkatnya, peluang mantan koruptor untuk menang tidak jelek sama sekali.” [ab]