Otorita Filipina, Jumat (1/2) memastikan bahwa pelaku pembom bunuh diri di Katedral Katholik Roma di Jolo, propinsi Sulu, Filipina Selatan, akhir pekan lalu adalah suami-istri asal Indonesia yang mendapat bantuan dari kelompok yang berafiliasi dengan ISIS.
Kantor berita Reuters mengutip Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano yang mengatakan ia yakin pasangan suami-istri asal Indonesia berada di balik serangan terhadap katedral itu, yang menewaskan sedikitnya 22 orang dan melukai lebih dari 100 lainnya, termasuk warga sipil dan tentara. Ano menyampaikan informasi itu hari Jumat berdasarkan informasi yang diperoleh dari sejumlah saksi mata dan sumber-sumber yang tidak dirincinya.
“Mereka warga Indonesia,” ujar mantan panglima militer itu kepada CNN Filipina. Ditambahkannya “saya yakin mereka adalah warga Indonesia.”
Sebelumnya ISIS mengklaim bertanggung jawab terhadap serangan bunuh diri itu.
Dihubungi VOA melalui telpon untuk memastikan hal tersebut, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris hanya menjawab singkat “saya belum tahu.” Ia menolak memberi keterangan lebih jauh.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia, Jumat malam (1/2) mengatakan belum dapat memastikan berita mengenai kemungkinan keterlibatan dua warga negara Indonesia dalam aksi teror bom di Jolo, Filipina Selatan. Dalam keterangan pers yang diterima VOA beberapa saat lalu, Kemlu juga menyatakan bahwa Menteri Luar Negeri tengah mencoba berkomunikasi dengan berbagai pihak di Filipina untuk memperoleh informasi.
Pernyataan Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano ini adalah perkembangan terbaru dalam penyelidikan serangan bom bunuh diri di Katedral Katholik Roma di Jolo, propinsi Sulu, Filipina Selatan, 27 Januari lalu.
Reuters mengutip seorang penyelidik yang diwawancarai di televisi mengatakan pernyataan yang disampaikan otorita Filipina kadangkala tidak konsisten dan bertentangan karena tempat kejadian perkara telah terkontaminasi. Meskipun tidak ada rincian “kontaminasi” yang dimaksud.
Pejabat-pejabat keamanan Filipina awalnya mengatakan kedua bom diledakkan dari jarak jauh. Tetapi Selasa lalu (29/1) pernyataan itu berubah setelah Presiden Rodrigo Duterte mengatakan kemungkinan serangan itu adalah bom bunuh diri. Pandangan Duterte itu didukung oleh Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana, yang pada hari Jumat ini mengatakan pemeriksaan tas di pintu masuk ke gereja menyulitkan untuk menyembunyikan bom, sehingga yang lebih mungkin adalah bom itu telah diikatkan ke tubuh.
“Menurut tim forensik, ada sejumlah potongan tubuh yang kemungkinan berasal dari dua orang, satu orang di dalam gereja dan lainnya di luar,” ujar Lorenzana kepada wartawan.
Sementara Menteri Dalam Negeri Eduardo Ano mengatakan pasangan Indonesia itu telah mendapat bantuan dari Abu Sayyaf, organisasi militan yang terkenal kerap melakukan penculikan di bagian selatan Filipina. Ano menambahkan mereka yang merencanakan serangan itu pastinya telah mendapat instruksi dari sebuah jaringan operasi yang berafiliasi dengan ISIS.
Aturan hukum darurat telah diberlakukan di Mindanao, Filipina Selatan, sejak sejumlah pemberontak dalam dan luar Filipina yang berpakaian serba hitam menyerang dan menguasai kota Marawi tahun 2017. Serangan udara dan pertempuran terbuka selama lima bulan untuk merebut kembali kota itu mengingatkan pada pertempuran di Suriah dan Irak. [em]