Sebuah video muncul awal Agustus 2018. Di dalamnya, Rizieq Shihab memaparkan apa itu NKRI Bersyariah dalam 17 poin utama. Menurut Rizieq, NKRI Bersyariah antara lain adalah negara yang berketuhanan, melindungi umat Islam dan umat beragama lain, menjamin produk halal, menolak neoliberalisme, dan menolak produk atau aktivitas yang dilarang agama.
Namun, konsep itu menggema dalam skala yang lebih luas saat ini. Nadirsyah Hosen, intelektual muslim yang juga pengajar hukum di Universitas Monash, Australia, mengutip sejumlah tindak lanjut yang kebablasan terkait konsep syariah itu. “Di perbankan, banyak staf manajerial menengah kosong, pejabat sebelumnya mengundurkan diri karena menganggap bisnis bank itu riba. Memungut pajak juga dianggap haram. Kalau diteruskan, kantor pajak bisa kosong. Padahal yang benar, yang haram itu pungutan liar,” kata Nadirsyah.
Nadirsyah Hosen berbicara dalam forum memperingati Dies Natalis Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada ke-73, Selasa (19/02) di Yogyakarta. Dia berbicara mengenai ide tentang NKRI Bersyariah, kaitannya dengan demokrasi, hukum, syariah dan negara.
Meski terdengar memprihatinkan, dalam wawancara terpisah, Nadirsyah mengaku tidak mengkhawatirkan apa yang terjadi. Indonesia memiliki batas yang jelas, yang ditakutkan, kata Nadirsyah, adalah ketika terjadi pemaksaan.
“Yang saya khawatir ini ada satu pihak yang semangat sekali mengusung itu, dan ada pihak yang khawatir sekali dengan itu, dan keduanya ini dibenturkan. Ini kita harus hati-hati. Kita maunya yang substantif. Repotnya itu kalau mau memonopoli kebenaran, mau memonopoli penafsiran terhadap syariah. Menghakimi atau memaksa orang, itu yang jadi masalah,” kata Nadirsyah Hosen.
Politisasi Syariah
Dinamika politik Indonesia memiliki contoh soal ini. Nadirsyah menyebut nama politisi, Hamdan Zoelva dan Partai Bulan Bintang dan Lukman Hakim Syaefuddin dari Partai Persatuan Pembangunan. Keduanya, kata Nadirsyah, pernah getol memperjuangkan wacana itu. Namun, ketika menjadi pejabat negara, tidak ada upaya memaksakan konsep NKRI Bersyariah.
Nadirsyah menyebut, syariah juga sudah memperoleh tempat yang cukup di Indonesia. Aceh diistimewakan terkait syariah, perbankan syariah dijalankan, ada jaminan halal, haji diurus dengan baik, zakat juga diurus lembaga resmi.
“Jadi persoalannya, adalah persoalan politik. Menjual emosi umat, dibuat narasi seolah-olah pemerintah sekarang ini melakukan kriminalisasi terhadap ulama, menghalang-halangi penerapan syariah. Jadi saya tidak khawatir, karena menurut saya ini hanya pertarungan politik sesaat. Isu syariah ini dijadikan alat politik untuk menggaet suara,” tambahnya.
Pemanfaatan wacana syariah untuk kepentingan politik terlihat dalam banyak Perda. Dia memberi contoh, banyak Perda syariah hanya berisi asesoris seperti aturan berpakaian di hari Jumat, penggunaan huruf Arab, hingga himbauan sholat berjamaah. Penelitian membuktikan, ujar Nadisyah, usulan Perda semacam terkait upaya menggaet suara muslim. “Karena itu mereka yang memperjuangkan Indonesia Bersyariah selalu bicara terminologi umum soal syariah, tetapi begitu bicara detil, mereka gagap,” kata Nadirsyah.
Ketua Umum PPP, Romahurmuziy awal Januari lalu juga sempat menyinggung soal NKRI Bersyariah ini. “Tujuan PPP dalam bahasa yang singkat adalah NKRI bersyariah. Dalam bahasa yang sangat singkat itu bukan berarti kita ingin merubah republik ini menjadi khilafah, tapi memastikan syariat-syariat yang diperlukan oleh umat Islam dituangkan menjadi Undang-undang dan Perda,” kata Romahurmuziy.
Romahurmuziy menyampaikan itu pada hari ulang tahun PPP Ke-46 di Jakarta, 6 Januari lalu. Dia menyebut, syariat Islam yang dituangkan dalam konstitusi itu antara lain undang-undang terkait minuman keras, RUU pesantren dan pendidikan agama.
Tokoh Nahdlatul Ulama, KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah, menyebut dengan tegas, tidak ada istilah NKRI Bersyariah seperti wacana Rizieq Shihab. "Yang memakai nama syariah ada, misalnya UU Perbankan Syariah. Saya tanya, kapan kita melarang syariah Islam? Tidak ada. Kecuali hukum pidana Islam. Itu saja yang dilarang," kata Pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang itu seperti dikutip berbagai media.
Belajar dari Aceh
Nangro Aceh Darussalam adalah provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam. Hingga saat ini, hukum-hukum Islam yang diterapkan masih terbatas, karena sebagian besar masih menggunakan hukum yang berlaku nasional.
Kepada VOA, Dedy Sumardi mengatakan, daerah-daerah harus selektif dan hati-hati jika ingin menyusun peraturan berdasar syariah. Dedy, dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, mengatakan, “Sebelum merumuskan Perda syariah, terlebih dahulu lakuan riset mendalam atau naskah akademik berkaitan dengan persoalan yang belum diatur oleh hukum nasional, atau sudah diatur hukum nasional tetapi bertentangan dengan prinsip syariah. Kalau sudah diatur hukum nasional, saya rasa selama tidak bertentangan dengan syariah, aturan itu harus dipertahankan.”
Dalam pelaksanaannya, kata Dedy, Aceh menerapkan hukum syariah, hukum nasional sekaligus aturan adat secara bersamaan. Hal-hal terkait keagamaan, seperti konsumsi minuman memabukkan atau tindak asusila, diatur dalam qonun jinayat. Bagi warga nonmuslim, hukum syariah ini menjadi pilihan ketika dia melakukan pelanggaran.
“Untuk non muslim atau minoritas, belajar dari kasus Aceh, ada prinsip atau asas penundukkan diri. Warga non muslim yang melakukan pelanggaran qonun syariah, diberi kebebasan memilih. Boleh meminta dihukum memakai qonun syariah atau tidak. Ada kasus, warga non muslim meminta kepada mahkamah syariah untuk dihukum dengan hukum qonun syariah. Mereka minta hukuman cambuk, terkait kasus mabuk dan perjudian, tidak dihukum dengan KUHP,” ujar Dedy.
Hukum syariah di Aceh tidak memaksa warna non muslim berpakaian menurut cara Islam. Namun menurut Dedy ada aturan adat yang harus diikuti dalam berpakaian maupun tata krama kemasyarakatan secara umum. [ns/ab]