Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Namun, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang banyak menghadapi praktek kejahatan terhadap satwa-satwa liarnya. Fakta ini setidaknya terungkap dalam pelatihan peningkatan kapasitas penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana terkait satwa liar, yang diselenggarakan International Animal Rescue (IAR) Indonesia bersama Kejaksaan Agung Republik Indonesia, di Surabaya selama tiga hari ini.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Noor Rochmad mengungkapkan, peningkatan kapasitas jaksa penuntut umum terkait perkara tindak pidana perdagangan satwa liar sangat diperlukan, sebagai upaya bersama penegakan hukum di bidang perlindungan tanaman dan satwa liar di Indonesia.
“Bagaimana supaya jaksa itu lebih berkualitas, sehingga apa yang diperbuat ketika membuat tuntutan itu, tuntutan yang bukan hanya berdampak penjeraan pada pelakunya tetapi juga menjadi daya tangkal bagi yang lain supaya tidak berbuat yang sama. Sebenarnya tidak selalu ya (tuntutan rendah), hanya beberapa tempat yang seperti itu, karena ya mungkin teman-teman di daerah belum memahami bahwa betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga mereka tidak lihat lebih jauh ke depan. Harapannya itu ya satu visi, bagaimana supaya kita bersama-sama dalam rangka untuk memerangi kejahatan (perdagangan) satwa liar ini.”
International Animal Rescue (IAR) Indonesia mencatat lebih dari 80 persen satwa yang diperdagangkan secara daring atau melalui pasar burung, merupakan tangkapan dari alam liar. Hal ini dapat memicu fenomena hutan tanpa satwa, bila perburuan satwa liar terus berlangsung. Catatan lain juga menyebutkan bahwa kejahatan satwa liar secara global menempati posisi kedua setelah kejahatan narkotika. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan nilai kerugian negara akibat perdagangan satwa liar secara ilegal diperkirakan mencapai Rp. 13 Triliun per tahun.
Ketua Umum IAR Indonesia, Tantyo Bangun mengatakan, kerugian akibat kejahatan terkait satwa liar tidak hanya karena hilangnya satwa, melainkan juga pengeluaran untuk merehabilitasi satwa liar korban perdagangan ilegal.
“Sementara ini kan orang melihat kerugian (perdagangan) satwa liar itu pemahamannya satwa secara individu, tapi fungsinya di ekosistem, kalau dia hilang bagaimana ekosistem bisa runtuh, kemudian juga kerugian negara. Kalau seperti kami menangani kasus orangutan, orang hanya melihat individu ya, tapi biaya rehabilitasi orangutan itu setahun antara Rp. 60 juta sampai Rp. 100 juta per individu. Jadi kalau kita minimal merehabilitasi selama lima tahun, itu satunya sekitar Rp. 300 juta sampai 500 juta, itu kan negara rugi karena biaya segitu bisa dipakai untuk menyekolahkan anak berapa puluh anak, berapa ratus anak gitu. Jadi kerugian itulah dengan ditambah kerugian ekosistem, bisa kita bebankan untuk penuntutan,” jelas Tantyo Bangun.
Proses hukum terhadap pelaku kejahatan terkait satwa liar selama ini menggunakan Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Saya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang dianggap para aktivis lingkungan dan satwa tidak cukup efektif untuk mencegah atau mengatasi aktivitas perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal. Hal ini karena ancaman hukuman pidanan bagi pelaku dianggap sangat rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Namun, Tantyo Bangun tetap optimis penanganan kasus hukum terkait satwa liar dapat tetap dijerat dengan hukuman pidana di atas lima tahun. “Itu kan proses yang di legislatif, dan kita tidak bisa hanya menunggu, tapi pintunya banyak sekali. Jadi prinsipnya adalah multi-dooritu. Kalau sekarang dari kepabeanan bisa, dari karantina bisa, dari pencucian uang bisa, selain dari undang-undang lingkungan hidup sendiri, dan itu kumulatif kan, bisa jadi mungkin sudah bisa mendekati sepuluh tahun (ancaman hukuman),” jelasnya.
Menyikapi masih maraknya kasus perdagangan satwa liar ilegal, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indra Eksploitasia mengatakan, tantangan di bidang konservasi satwa saat ini ada pada penanganan konflik antara satwa dan manusia, serta pengawasan dan mekanisme perizinan terkait perlindungan satwa sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
"Ada dua tantangannya ini, di sisi insitu dan di sisi eksitu. Di insitu adalah bagaimana kita menangani konflik satwa dengan manusia, dan di eksitu adalah bagaimana bentuk pengawasan efektif, bagaimana semua mekanisme perizinan itu sesuai denganperaturan perundangan,” kata Indra Exploitasia.
Sementara itu, Hari Sutrisno, dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, berkurangnya satwa liar di Indonesia saat ini lebih disebabkan konversi lahan yang menjadi habitat satwa liar.
“Yang paling penting sekarang adalah ekosistem dijaga, habitat dijaga, karena sebenarnya kerusakan yang paling mengkhawatirkan di Indonesia ini adalah konversi lahan itu, itu yang lebih dominan sebenarnya, dari pada overeksploitasi. Tapi bukan berarti overeksploitasi itu diabaikanya, tapi lebih baik preventif dengan cara edukasi, dengan cara kampanye, memberi pemahaman kepada anak-anak yang masih level awal bahwa kalau salah satu komponen ekosistem itu hilang, itu kita akan mengalami kepunahan keseluruhannya, kerugian ekosistem itu lebih tidak akan pernah tergantikan,” jelas Hari Sutrisno.
Hari Sutrisno, yang juga pakar zoologimenambahkan, masih panjangnya daftar satwa dan tanaman yang dilindungi merupakan indikasi masih banyaknya kerusakan di alam, baik terhadap tanaman maupun satwa.
“Ketika kita sudah menentukan sebuah status perlindungan, itu yang paling penting memang memberikan sosialisasi kepada masyarakat, bahwa semakin panjang daftar yang kita lindungi, artinya sebenarnya kejadian realdi alam kita kan sudah mengalami kerusakan. Jadi ketika kita sudah, oh ini kok masuk perlindungan artinya apa, di alamnya sudah langka, kalau tidak langka berarti memang sangat endemik. Kemudian, kemungkinan sudah kecenderungan populasinya menurun,” imbuhnya. [pr/ab]