Tautan-tautan Akses

Politisasi Agama Kental Warnai Pemilu 2019


Acara Munajat "212" di Monas Jakarta pada hari 21 Februari 2019 lalu (Foto: ilustrasi). Politisasi agama dinilai telah ikut mewarnai Pemilu 2019 yang baru saja usai.
Acara Munajat "212" di Monas Jakarta pada hari 21 Februari 2019 lalu (Foto: ilustrasi). Politisasi agama dinilai telah ikut mewarnai Pemilu 2019 yang baru saja usai.

Pemilu serentak yang dilaksanakan pada 17 April kemarin telah usai. Namun permasalahan utama yang terjadi dalam pemilu ini yaitu politisasi agama masih sangat kental dirasakan hingga saat ini. Akankah hal ini berlanjut ke pemilu berikutnya?

Pemilu serentak yang dilangsungkan di seluruh Indonesia dinilai berhasil. Selain meningkatkan partisipasi pemilih hingga 80%, hampir semua badan pemantau pemilu internasional yang diundang mengakui keberhasilan KPU dan seluruh instrumen melangsungkan pemilu yang jujur, adil dan transparan.

Tetapi tidak dapat dipungkiri betapa politisasi agama telah ikut mewarnai pemilu. Dosen Progam Studi Agama dan Lintas Budaya sekaligus Peneliti Universitas Gajah Mada (UGM) Achmad Munjid mengatakan tidak hanya agama saja yang dijadikan alat untuk mendulang suara rakyat, namun politik identitas seperti ras, etnis dan kelompok sosial lainnya diekploitasi besar-besaran dalam pesta demokrasi ini.

Menurutnya, politisasi agama yang mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menimbulkan bekas yang sulit hilang sehingga digunakan lagi dalam pileg dan pilpres kali ini, dan tidak menutup kemungkinan akan berlanjut ke pemilu-pemilu selanjutnya. Padahal, kata Achmad, politik dan agama tidak akan bisa berjalan seiringan dan malah akan menghasilkan demokrasi yang tidak sehat.

“Kalian tahu bahwa ketika politik dan agama bercampur akan seperti minyak dan api, mereka membuat kobaran api, daripada cahaya. Itu alasan kita mempunyai persoalan itu. Jadi sangat jelas sekali, politik identitas merupakan permasalahan yang sangat kuat di pemilu sekarang dan pemilu sebelumnya. Politik identitas artinya eksploitasi ekslusif identitas seperti agama, etnis, ras, kelompok sosial lainnya untuk untuk memobilisasi politik,” ungkap Achmad dalam diskusi Politics and Religion in Indonesia, di Auditorium CSIS, Jakarta, Kamis (2/5).

Para narasumber dalam diskusi Politics and Religion in Indonesia di Auditorium CSIS, Jakarta, Kamis (2/5). (Foto: VOA/Ghita)
Para narasumber dalam diskusi Politics and Religion in Indonesia di Auditorium CSIS, Jakarta, Kamis (2/5). (Foto: VOA/Ghita)

Pembungkaman di Era Orde Baru Telah Ikut Dorong Politisasi Agama

Ditambahkannya, menguatnya politik identitas dan politisasi agama ini adalah dampak pembungkaman kebebasan berekspresi di ruang publik pada era Orde Baru. Ketika Islam ini diberi ruang untuk berekspresi, hal itu disalahgunakan oleh para politisi untuk mendapatkan suara.

“Itu adalah konsekuensi dimana pada masa lalu, Islam tidak mendapat ruang, tapi kemudian pada 1990, islam menjadi anak emas. Setelah reformasi, kelompok Islam mempunyai kesempatan untuk mengekspresikan kekuatan politik mereka, dengan mengartikulasikan agama di ruang publik,” jelas Achmad.

Perludem Usul Hapus Presidential Threshold

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan ada suatu cara untuk bisa mengurangi atau bahkan meredam politik identitas dan politisasi agama dalam pemilu-pemilu selanjutnya, yaitu dengan menghilangkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Kebijakan ini, ujar Titi, membuat masyarakat tidak memiliki banyak calon pemimpin.

“Kalau kita ingin kualitas demokrasi yang lebih baik di 2019 ambang batas pencalonan Presiden mustinya ditiadakan atau harus ada formula, yang lebih ramah, lebih fleksibel bagi keragaman pilihan. Sebenarnya UUD kita punya mekanisme untuk punya threshold alamiahnya yaitu 50 persen plus 1 ini, dan itu lebih adaptif kepada partai politik, bayangkan partai berada di tengah-tengah dilema berkampanye untuk pileg, berkampanye untuk capres yang bukan kadernya, makanya kan kita lihat polarisasinya luar biasa, jadi di satu sisi ambang batas pencalonan presiden itu melemahkan kaderisasi dan rekrutment politik di internal partai. Jadi identitas terbangun bukan sebagai ideologi, tapi sebagai komoditas elektoral, marketing elektoral, sebagai alat jual electoral,” ungkap Titi.

Ditambahkannya, dengan dihilangkannya presidential threshold, masyarakat akan dihadapkan pada beragamnya pilihan calon pemimpin yang berlomba-lomba mengeluarkan ide dan gagasan mereka untuk kemajuan Indonesia, di masa depan, dan bukan sekedar untuk menjual sebuah agama yang dijadikan kedok semata untuk mendulang suara rakyat.

“Jadi kader muda yang prospektif, di partai harus diwadahi, difasilitasi, oleh pengaturan yang bisa memberi ruang untuk mereka di kontestasi di 2024 nanti, Pak Jokowi tidak ada lagi, otomatis nanti akan ada aktor baru, lalu misalnya Sandi figure yang menjanjikan, ada Ganjar Pranowo, sudah dua periode Jateng, ada juga Ridwan Kamil, ada Anies, ada Khofifah, mereka itu figur yang menurut saya menjanjikan untuk masa depan politik Indonesia, dan itu akan membuat masa depan pemilu itu lebih kompetitif, lebih sehat dan narasi subtansi akan lebih muncul, ketimbang politisasi agama, jadi keragaman pilihan dengan hadirnya tokoh-tokoh yang menjanjikan dari sisi pemilihan politik itu akan melahirkan narasi politik dan iklim politik yang lebih sehat dan lebih susbtantif, orang akan mulai bergeser untuk bicara tawaran program,” paparnya.

Politisasi Agama Kental Warnai Pemilu 2019
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:43 0:00

Meski begitu, Titi mengakui dihapusnya presidential threshold tidak serta merta menghapus politisasi agama. Tetapi dengan semakin beragamnya pilihan calon pemimpin, politisasi agama akan lebih mudah dikendalikan dan diredam. (gi/em)

XS
SM
MD
LG