Integritas dan independensi menjadi dua isu utama yang disuarakan puluhan mahasiswa, anggota masyarakat, dan perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait penjaringan calon pimpinan KPK. Dalam diskusi publik terkait hal ini di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (19/6), dibahas juga proses politik di DPR yang berpotensi menjegal calon-calon berkualitas.
Alvin Nicola, peneliti di Transparansi Internasional Indonesia mengaku, pengalaman empat tahun lalu menunjukkan, begitu nama-nama sudah sampai ke presiden, perhatian masyarakat menurun kadarnya.
“Pada seleksi sebelumnya, fokus kita banyak di Pansel. Kita mengamankan nama-nama baik di Pansel, tetapi setelah masuk ke DPR agak lepas. Ini strategi yang harus diperhatikan ke depan, baik oleh masyarakat sipil, media maupun akademisi. Perjuangan tidak selesai sampai setor nama ke Presiden, tetapi harus sampai tahap fit and proper test di DPR. Dan proses itu masih panjang,” kata Alvin.
Pemerintah sendiri sudah membentuk Pansel untuk memilih 5 komisioner periode 2019-2023. Proses pendaftaran telah dibuka mulai 17 Juni hingga 4 Juli nanti.
Untuk menemukan calon pimpinan yang memenuhi harapan masyarakat, Alvin meminta Pansel mau menerapkan strategi jemput bola. Tokoh-tokoh yang telah terbukti memiliki prestasi dalam upaya pemberantasan korupsi, diundang untuk mendaftar. Selain itu, menilik upaya kriminalisasi yang kian kuat, Alvin melontarkan perlunya mempertimbangkan basis massa calon pimpinan.
“Soal sumber daya manusia juga penting. KPK tidak bisa mengangkat jaksa independen, misalnya, ini juga menjadi problem yang serius. Dalam kerangka besar ini, revisi UU KPK menjadi penting. Karena ketika berbicara soal independensi, tidak hanya terkait KPK- nya saja, tetapi juga kemampuan mengangkat SDM yang independen dan mengelola administrasinya secara mandiri,” tambah Alvin.
Soal strategi jemput bola dengan mengundang tokoh-tokoh antikorupsi ini diamini oleh salah satu anggota Pansel, Al Araf. Meski begitu, tidak ada jaminan bahwa tokoh antikorupsi semacam ini akan otomatis lolos menjadi pimpinan KPK.
“Tim Pansel, baik sebagai individu maupun tim, memiliki nama-nama yang sekiranya baik untuk diminta agar masuk dalam proses tersebut. Meski itu bukan garansi dia akan lolos, karena harus tetap melalui proses seleksi,” kata Al Araf.
Al Araf juga berharap orang-orang yang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK, adalah mereka yang memiliki integritas, kapasitas, kompetensi, independensi dan memiliki kemampuan manajemen yang baik dalam organisasi. Diminta untuk menyebut nama-nama yang layak mendaftar, Al Araf menghindar dengan mengatakan bahwa mereka yang selama ini memiliki kompetensi kerja dalam pemberantasan korupsi dapat dilihat sendiri oleh masyarakat.
Sejauh ini, bahkan sebelum proses pendaftaran dibuka, Pansel telah menerima berbagai kritik pedas. Salah satunya terkait pernyataan terbuka Pansel yang meminta kepolisian mengirimkan calon dalam proses ini. Padahal selama ini, masyarakat sipil berharap lembaga KPK diisi oleh aktivis antikorupsi, dan bukan pejabat dari lembaga penegak hukum lain.
Menjawab kritik ini, Al Araf secara diplomatis mengatakan, siapapun yang memenuhi prasyarat yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK dan prasyarat lain yang ditetapkan Pansel, bisa mengikuti proses seleksi. Proses ini tidak melihat faktor latar belakang calon, asalkan memenuhi persyaratan. Seluruh calon akan mengikuti tahapan seleksi mulai dari administrasi, uji kompetensi, psikotest, profile assesment, wawancara dan penelusuran rekam jejak.
“Proses yang berjenjang dan bertahap ini, menurut saya, akan bisa meredam persoalan tadi. Dan siapapun dia, akan sangat bisa terukur melalui proses seleksi yang bertahap tersebut,” ujarnya.
Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mochamad Sodik menyinggung persoalan dari sisi spiritualitas. Masyarakat memang memiliki harapan sangat tinggi dalam mencari pimpinan KPK, seolah ingin menemukan figur-figur bersih seperti dalam kisah keagamaan. Namun harapan itu berbenturan dengan kenyataan, terutama kondisi politik yang kurang mendukung.
Menurut Sodik, persoalan intelektual dan integritas calon pimpinan KPK dapat dicarikan solusi, namun independensi lebih sulit diselesaikan. Intelektualitas dan integritas bersifat personal, sedangkan independensi terkait kelembagaan. Ada problem relasi kuasa dalam persoalan itu, kata Sodik. Pada sisi inilah, menilik jejak rekam seseorang menjadi sangat penting untuk melihat sejauh mana seorang tokoh bisa bersikap independen.
Soal kualitas pimpinan KPK, menurut Sodik, masyarakat wajar jika belum puas, tetapi harapan harus tetap dijaga.
“Kita boleh kecewa, tetapi jangan putus asa. Ada istilah, kalau tidak bisa diperoleh semua, jangan dibuang semua. Kita inginnya memberi nilai 10 atau 9 kepada KPK, tetapi ternyata dapatnya 5, yaa kita terima. Semoga tahun depan bisa naik. Karena ini memang sangat sulit. Problemnya setelah dari Pansel itu ke DPR, kita tahu sendiri, di DPR penuh kepentingan politik dan ekonomi,” papar Sodik.
Dalam tahap inilah, masyarakat disadarkan kembali bahwa jika ingin menciptakan lembaga yang baik, maka Indonesia harus memiliki DPR yang berkualitas. Dalam banyak proses seleksi lembaga nasional, DPR adalah palang pintu terakhir yang menentukan hasilnya. [ns/uh]