Wacana pemisahan pendaki Gunung Rinjani bergulir saat jalur pendakian dibuka kembali pada 14 Juni 2019 setelah ditutup hampir satu tahun sejak Juli 2018 akibat gempa. Agama dan kearifan lokal menjadi dasar pertimbangan. Setelah menjadi pro kontra, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang mengelola kawasan ini memutuskan untuk membatalkannya.
Kepala TNGR Sudiyono, dalam keterangan tertulis memastikan, gagasan pemisahan tenda laki-laki dan perempuan di kawasan Gunung Rinjani tidak jadi dilaksanakan karena bukan menjadi prioritas TNGR.
"Kami sangat mendukung adanya program wisata halal dari Gubernur NTB dan saat ini kami sedang fokus perbaikan manajemen pendakian khususnya pada e-ticketing, pengelolaan sampah dan perbaikan sarana prasarana jalur pendakian," ujar Sudiyono.
Wisatawan manca negara mencapai 43 persen atau 35 ribu darisekitar 80 ribu pendaki yang naik ke puncak Gunung Rinjani pada 2017. Angka ini menjadikan Rinjani sebagai salah satu gunung paling populer di Indonesia.
Pelaku pariwisata NTB pun menyambut baik keputusan tersebut.
Ketua Asosiasi Agensi Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) NTB, Dewantoro Umbu Joka, mengaku tidak memahami dari mana datangnya ide semacam itu.
Sejak awal, aturan yang berlaku di Rinjani sama seperti di gunung-gunung lain di Indonesia. Karena itulah, justru Asita mendorong TNGM tidak menerapkan pemisahan pendaki.
“Konsep atau wacana itu, kita juga tidak tahu datang dari mana. Bagi pelaku wisata, itu justru tidak menguntungkan. Harus bisa dibedakan syariah dan halal," ujar Dewantoro.
"Halal ini sudah menjadi tren konsumsi publik di seluruh dunia. Halal ini bagian dari peluang bisnis yang bagus. Jangan lupa, traveler muslim jumlahnya sangat banyak. Wisata halal ini semacam stategi pemasaran saja,” tambahnya.
Aktivitas pendakian di lakukan di lahan luas dan terbuka, kata Dewantoro. Tidak perlu dikhawatirkan terjadinya hal-hal yang melanggar norma masyarakat setempat.
Di sisi yang lain, Dewantoro meyakinkan kepada seluruh pihak bahwa konsep wisata halal yang diterapkan di NTB sudah tepat. Pada Oktober 2015, Lombok memenangkan 2 penghargaan di World Halal Travel Summit di Abu Dhabi, Uni Emirate Arab. Hanya beberapa bulan kemudian, Asita NTB sudah membuat paket wisata halal. Kerja sama dengan operator wisata dari Malaysia pun digalakkan.
Data Kementerian Pariwisata mencatat, jumlah wisatawan ke Lombok naik dari 1 juta menjadi 1,5 juta setahun setelah konsep wisata halal diterapkan. Malaysia merupakan penyumbang wisatawan asing terbanyak, khususnya di Lombok. Malaysia memegang peranan penting karena posisinya sebagai hub perjalanan wisata dari sejumlah kawasan.
Menurut Dewantoro, masih ada kesalahpahaman bahwa wisata halal hanya dilakoni wisatawan asal Timur Tengah. Faktanya, paket wisata halal juga diambil oleh wisatawan dari negara lain, seperti Inggris, karena memang wisatawan muslim datang dari mana saja.
“Hari ini kita menerima delegasi dari Provinsi Bukhawa, Uzbekistan, yang ingin juga belajar penerapan konsep wisata halal di Lombok,” tambah Dewantoro.
Mastercard dan Crescent Rating telah melakukan riset dan menetapkan Global Muslim Travel Index (GMTI). Riset itu memproyeksikan pasar wisata halal nilainya akan mencapai $220 miliar pada 2020. Data GMTI 2019 menunjukkan hingga 2030, jumlah wisatawan muslim diproyeksikan menembus angka 230 juta di seluruh dunia.
Dalam keterangan resmi Kementerian Pariwisata, wisata halal ditetapkan menjadi salah satu prioritas dalam lima tahun terakhir. Indonesia sendiri sudah menetapkan 10 destinasi wisata halal untuk merebut pasar itu wisatawan Muslim, dan Lombok tampil dominan.
April lalu, Indonesia ditetapkan duduk di rangking pertama sebagai destinasi wisata halal dunia oleh Crescent Rating. Malaysia duduk di posisi kedua, disusul Turki, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia pada 2018 mencapai 18 persen. Jumlah wisatawan muslim mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas tercatat 2,8 juta. Devisa yang terkumpul mencapai lebih dari Rp 40 triliun. Indonesia menargetkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada 2019 dengan 5 juta di antara mereka wisatawan muslim.
Pengamat dan dosen di Program Studi Kepariwisataan, Sekolah Vokasi UGM, Ghifari Yuristiadi menilai, Indonesia memang belum memiliki kesepahaman mengenai apa dan bagaimana pariwisata halal itu.
“Kembali pada konsep yang mendasar, kita sendiri belum sepakat pariwisata halal itu seperti apa. Terminologi wisata halal ini awal mulanya muncul dari wisata syariah, menjadi wisata Islami dan kemudian wisata halal yang dianggap sebagai istilah yang paling moderat. Kita belum menemukan deskripsi yang betul-betul bisa disepakati bersama,” ujar Ghifari.
Menoleh ke belakang, tren pariwisata halal tidak bisa dilepaskan dari naiknya sistem ekonomi syariah Islam pada periode tahun 2000-an. Pariwisata halal adalah kegiatan turunan yang dikembangkan dari tren ini. Dikatakan Ghifari, definisi paling umum yang dipakai oleh Tim Percepatan Pariwisata Halal Kemenpar, menjabarkan konsep ini sebagai pariwisata yang lebih ramah kepada wisatawan muslim.
Dalam praktiknya, sebenarnya pariwisata halal cenderung memberi kemudahan khusus bagi wisatawan muslim. Misalnya, ketika mereka harus menjalankan ibadah, maka harus ada tempat yang representatif. Begitu pula dengan menu makanan yang harus dipastikan halal. Masalahnya kemudian, lanjut Ghifari, apakah aturan-aturan yang dibuat di bawah skema ini harus mengikat kepada semua wisatawan. Bukan tidak mungkin, ada banyak wisatawan non muslim yang juga berkunjung ke destinasi halal. Di tengah situasi yang cukup rumit, menurut Ghifari, isu agama bisa menjadi sangat sensitif.
Khusus NTB yang memegang predikat tujuan wisata halal nomor satu di Indonesia, penerapan citra wisata halal dalam konteks atraksi dan destinasi juga tidak mudah. Pemerintah setempat pernah menetapkan konsep moslem friendly tourism. Tetapi bagi sebagian masyarakat NTB yang identitas muslimnya kuat, batasan itu dianggap terlalu lunak. Ghifari memaklumi jika kemudian muncul wacana pemisahan tenda di Rinjani.
Konsep ini dalam praktiknya juga tidak bisa diterapkan secara kaku. Dalam kasus NTB, ada Gili Trawangan dan gili-gili sejenis di sekitarnya, yang tidak bisa dikenakan konsep pariwisata halal. Menurut Ghifari, Indonesia harus belajar dari Malaysia, yang menerapkan kawasan tertentu secara lebih terbuka, misalnya Genting Highland yang justru menjadi pusat perjudian.
“Tetapi, ada juga hikmah dari polemik ini. Kita jadi kembali sadar bahwa kita butuh mendefinisikan dan menyepakati bersama pariwisata halal itu sendiri. Pemerintah segera menyepakati dan diturunkan dalam kebijakan yang praktis,” tambah Ghifari. [ns/ab/ft]