Sekitar pukul 05.40 WIT hari Selasa (7/24), anggota KSB menembaki Pos TNI di Distrik Mugi Kabupaten Nduga, Papua. Diperkirakan jumlah mereka antara 15-20 orang, dan teridentifikasi anggota Egianus Kogoya. Pasukan TNI yang telah bersiaga, membalas tembakan itu dan membuat penyerang melarikan diri. Sekitar 10 personel TNI kemudian melakukan pengejaran.
Dari penelusuran jejak kaki, pasukan menemukan sebuah Honai yang berjarak sekitar tiga kilometer dari pos TNI. Ketika dilakukan penyergapan, sekitar lima orang lari dari dalam Honai ke arah semak belukar dan jurang. Pasukan TNI menemukan barang bukti dari dalam Honai berupa satu pucuk pistol standar militer kaliber 9 mm, tiga buah HT, sebuah GPS, tiga buah magasin, serta ratusan amunisi kaliber 5,56 mm dan 7,62 mm. Ceceran darah juga ditemukan mengarah ke jurang, tetapi tidak diketahui apakah ada anggota KSB yang tewas.
Kejadian ini hanya berselang tiga hari dari serangan KSB terhadap pasukan TNI yang berjaga dalam proyek jembatan Yuguru-Kenyaam, yang membuat satu personel gugur. Kapendam XVII/Cendrawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi pun mempertanyakan, alasan sejumlah pejabat sipil Papua yang meminta penarikan pasukan TNI.
“Saya kembalikan pertanyaan kepada bupati dan pihak manapun, bahwa terjadinya konflik itu bukan karena kehadiran aparat TNI/Polri di Kabupaten Nduga, tetapi karena ada sekelompok orang yang mempersenjatai diri secara ilegal, melakukan tindakan kekerasan, pembantaian, penyerangan, pembunuhan, pemerkosaan, penyanderaan dan melakukan perlawanan terhadap negara yang sah. Justru hadirnya TNI dalam rangka menjamin kedaulatan negara terwujud di seluruh wilayah NKRI, termasuk di Nduga,” kata Aidi.
Pekan lalu di Jakarta, Bupati Nduga Yairus Gwijangge menyampaikan permintaan agar Presiden Jokowi menarik pasukan nonorganik TNI dari Nduga. Dia beralasan, penarikan itu penting agar pemerintah daerah punya kesempatan mengatasi konflik. Jokowi juga diminta mengedepankan pendekatan dialogis, bukan militer, agar pembangunan di daerah itu dapat dilanjutkan.
Sejauh ini, TNI menolak permintaan penarikan pasukan yang sudah disampaikan beberapa kali. Aidi menambahkan, konflik di Nduga sudah terjadi sejak lama. Gangguan dari kelompok separatis berlangsung terus, bukan hanya kepada pekerja PT Istaka Karya akhir tahun lalu saja, tetapi sudah sejak jauh sebelum itu. Dia juga mencatat, selama itu tidak ada penyelesaian oleh pemerintah.
“Dengan statement Pak Bupati tadi, saya ingin mengembalikan pertanyaan. Apakah jika aparat TNI/Polri ditarik, bupati mampu menjamin bahwa pelaku tindak kekeraan di bawah pimpinan Egianus Kogoya seluruhnya dapat diseret, diserahkan ke negara beserta senjatanya dalam rangka proses hukum? Kedua, kalau TNI/POLRI ditarik, apakah bupati mampu menjamin pembangunan strategis nasional di Nduga dapat berjalan lancar tanpa gangguan pihak manapun?” tambah Aidi.
Tidak Ada Jaminan di Papua
Tidak ada yang bisa memberi kepastian seperti yang ditanyakan Aidi tadi, menyangkut situasi Papua jika pasukan TNI ditarik. Namun, menurut Pendeta Matheus Adadikam, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua, situasinya mungkin akan jauh berbeda.
Penarikan pasukan nonorganik dari Papua, kata Matheus, bukan aspirasi sebagian orang saja, juga bukan suara dirinya secara pribadi. Pekan lalu, sejumlah LSM di Papua mengadakan diskusi, dan penarikan pasukan itu menjadi salah satu kesimpulan yang direkomendasikan.
“Rata-rata dari diskusi yang kami kembangkan, menurut kami, bukan hanya saya pribadi, mungkin dengan ditariknya pasukan nonorganik, dan hanya ada tentara organik disitu, mungkin akan jauh berbeda. Persoalan yang kita hadapi, Nduga ini punya trauma yang cukup panjang tentang kehadiran pasukan disana,” kata Matheus kepada VOA.
VOA kemudian bertanya kepada Matheus, bagaimana jika kelompok Egianus Kogoyo justru meningkatkan serangan setelah penarikan pasukan TNI. Menurutnya, memang tidak ada yang bisa memastikan bahwa begitu penarikan pasukan dilakukan, maka Papua akan langsung aman. Tetapi, kata Matheus, jalan keluar itu adalah pandangan umum masyarakat Papua, termasuk mereka yang ada di LSM.
Matheus juga meminta, aspirasi bupati Nduga yang meminta penarikan pasukan nonorganik dari Papua, tidak diartikan sebagai dukungan kepada kelompok bersenjata.
“Saya kira tidak bisa cepat memvonis ke arah itu, karena saya kira sebagai seorang aparatur negara yang ada di posisi itu, pasti dalam posisi yang sulit. Dan saya kira kalau sampai pada kesimpulan itu, mungkin terlalu jauh kita. Karena apa yang dia hadapi sebagai pimpinan daerah, langsung apa yang terjadi di depan matanya, itu pasti yang mendorong sehingga pernyataannya bisa demikian,” tegas Matheus.
Matheus percaya, imbauan agar kelompok bersenjata menurunkan ketegangan akan didengar. Apalagi, imbauan itu disampaikan oleh sejumlah aktivis LSM, tokoh masyarakat dan juga gereja.
“Imbauan itu sudah dan terus kita lakukan, karena kita yang paling ada di depan, kalau saya pakai bahasa yang lebih cocok, yang punya umat langsung itu adalah gereja. Sehingga lewat gereja, kami juga memberi masukan dan mendorong supaya tetap pro aktif untuk itu, dan semoga mereka mendengar,” tambah Pendeta Matheus Adadikam. [ns/uh]