Polemik rencana penghentian audisi beasiswa Persatuan Bulu Tangkis (PB) Djarum setelah protes dan larangan penggunaan logo atau nama yang diasumsikan sebagai produk rokok oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), memunculkan keprihatinan sejumlah pihak terhadap kelangsungan masa depan pembinaan atlet Indonesia. Selain itu muncul sorotan mengenai penanganan kasus kekerasan seksual anak yang kurang mendapat perhatian.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (ALIT) Yuliati Umrah mengatakan tidak dapat melihat ada atau tidaknya unsur eksploitasi anak, seperti yang dituduhkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap Persatuan Bulu Tangkis (PB) Djarum. Yuliati mengungkapkan, tuduhan eksploitasi harus dikeluarkan oleh aparat penegak hukum dengan pembuktian yang jelas, terlebih definisi kata eksploitasi pada Undang-undang Perlindungan Anak tidak secara tegas dan rinci menyebutkan kriterianya.
“Saya tidak bisa melihat ini ada atau tidak ada, yang bisa melihat ini adalah aparat penegak hukum, adalah institusi penegak hukum yang bisa menetapkan ini ada unsur eksploitasi atau tidak, dan itu tidak mudah. Kalau kemudian tiba-tiba KPAI menuduh ada eksploitasi, bagaimana dengan pihak penegak hukum sendiri melihat konteks ini. Nah, kelemahannya kalau lihat dari Undang-undang Perlindungan Anak, definisi eksploitasi sendiri tidak tegas dinyatakan di situ, sehingga ini bukan kasus pertama tuduhan eksploitasi ada atau tidak, bahkan eksploitasi seksual sekalipun ini tidak pernah mendapat perhatian khusus, karena secara definisi ini tidak detil, tidak tegas,” kata Yulianti Umrah.
Persoalan eksploitasi terhadap anak kata Yuliati, sebenarnya banyak terjadi pada kasus seksual, yang menempatkan anak sebagai korban kekerasan seksual. Pada tahun 2019 ini, menurut catatan ALIT, kasus kekerasan dan eksploitasi seksual yang terjadi pada anak mencapai hampir 300 kasus. Bahkan di Jawa Timur sendiri, sejak Januari hingga Agustus lalu terdapat lebih dari 130 kasus.
Putusan hakim dalam kasus-kasus itu dinilai tidak maksimal. Hakim juga tidak memberi rehabilitasi pada korban, yang sebenarnya merupakan hak mereka. Itulah sebabnya menurut Yuliati, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) seharusnya menjadi fokus perhatian dan segera disahkan di DPR RI.
“Data tertinggi kasus kekerasan dan eksploitasi itu pada kasus seksual, itu tertinggi dan urgent, dan terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia, KPAI diam dalam hal ini. Sekarang, puncaknya pada bagaimana RUU PK-S itu, siapa parpol-parpol yang tidak menghendaki RUU ini? Kita sudah tahu. Ada PKS, ada PPP, ada PAN. Lalu siapa yang duduk di KPAI? Kita bisa melihat orang-orang yang duduk dalam kepengurusan KPAI ini kan ditetapkan fit and proper test oleh DPR, dan mereka orangnya siapa? Ini kita lihat kepentingan politik. Saya kira ini KPAI cuma bikin gaduh untuk pengalihan perhatian publik, supaya tidak bicara lagi soal RUU PK-S,” jelasnya.
Pelatih dan Ortu Tak Lihat Ada Eksploitasi Anak pada Program yang Didukung Sponsor
Terkait tuduhan eksploitasi anak pada klub cabang olah raga, Ketua Pelatih Troy Atletik Surabaya, Slamet Santoso mengatakan, eksploitasi terjadi bila ada pemaksaan yang dilakukan pada anak selaku atlet, khususnya pada penerapan program latihan yang tidak sesuai dengan usia dan tumbuh kembangnya. Slamet Santoso mengatakan, ada tidaknya eksploitasi dapat dilihat dari perkembangan prestasi anak pada cabang olah raga yang diikuti, selain adanya keberatan dari anak yang menjadi atlet atas program yang diterimanya.
“Perkembangannya itu kayak piramida gitu, ya semakin dewasa semakin puncak prestasinya, bukan semakin menurun. Nah, bedanya kalau terjadi eksploitasi, ya sejak kecil dia akan sering-sering juara, tapi ketika sudah dewasa langsung turun, jleg, anjlok,” jelas Slamet Santoso
Helmi Kristiawan Wijaya, orang tua yang anaknya mengikuti klub bulu tangkis mengatakan selama menemani anaknya berlatih di klub, tidak pernah merasa ada eksploitasi dari klub terhadap anaknya. Helmi mengaku kecewa bila upaya memajukan prestasi olah raga dan pendidikan anak-anak, diusik oleh tuduhan eksploitasi oleh KPAI. Ia berharap, masih ada pihak-pihak yang mau mendanai pengembangan dan kemajuan olah raga tanah air, tanpa mencari-cari sisi buruk dari pemberi donor.
“Saya sebenarnya juga sangat kecewa dengan tudingan-tudingan yang KPAI lontarkan, yang katanya mengeksploitasi anak. Dari sudut pandang saya, apa yang dilakukan Djarum Fundation itu bukan eksploitasi anak, itu suatu bentuk pembinaan dari awal. Apalagi jika altet yang dibina oleh Djarum Foundation itu berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu, itu kan sangat berharga buat anak dan orang tuanya,” kata Helmi Kristiawan Wijaya. [pr/em]