Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, Jumat (4/10) meminta sekolah tidak memberi sanksi drop out atau mengeluarkan pelajar yang terlibat dalam demonstrasi dari sekolah. Menurut Muhadjir, sekolah dan dinas pendidikan lebih mengutamakan pendekatan yang mendidik pada para pelajar yang terlibat demonstrasi. Muhadjir menegaskan para pelajar berusia belasan tahun yang terlibat dalam demonstrasi itu masih dilindungi oleh UU Perlindungan Anak.
"Tidak boleh itu ada siswa dikeluarkan dari sekolah. Tidak boleh. Lha anak-anak yang nggak sekolah aja disuruh masuk sekolah kok. Masak siswa yang sudah masuk sekolah diauruh keluar alias di-drop out. Jadi, pendekatannya harus pendidikan. Akan kita sisir nanti, yang belum benar akan kita luruskan. Rata-rata dinas di daerah tingkat propinsi atau kabupaten/kota sudah paham kok harus merespon seperti apa. Kalau ada yang salah, ya cuma satu atau dua saja. Intinya ya tidak boleh ada yang main sanksi untuk masalah unjuk rasa itu," jelas Mendikbud Muhadjir.
"Para siswa itu harus dididik, kalau trauma ya harus dipulihkan. Kalau tidak mengalami trauma ya harus disadarkan bahwa apa yang dia lakukan itu sangat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Jangan cuma dilihat aspek haknya, tapi juga UU perlindungan anak. Para siswa yang masih anak-anak itu harus dilindungi. Tugas kita melindungi. Kalau mereka terlibat atau berhadapan dengan ancaman atau hukuman, malah orang tua, sekolah, dan masyarakat sekitar yang kena UU Perlindungan Anak," imbuhnya.
Kepala Polda Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Rycko Amelza, Selasa (1/10) menyayangkan masih adanya para pelajar SMK di Jawa Tengah yang terlibat demonstrasi. Menurut Rycko, polisi sempat mengamankan belasan pelajar yang mencoba berniat anarkis ketika berdemonstrasi di salah satu daerah di Jawa tengah.
"Para pelajar selalu saya imbau jangan ikut demonstrasi. Hasil evaluasi kami, saat demonstrasi di Magelang pekan lalu, ada kelompok mencoba melakukan tindakan anarkis merusak rumah dinas Walikota. Setelah kita lakukan tindakan tegas penegakan hukum, dari 59 orang yang kita tangkap hampir separuhnya para pelajar, tidak ada mahasiswa. Ini sangat memprihatinkan. Ini menunjukkan bahwa adik-adik pelajar ini mudah terprovokasi, mudah dimanfaatkan kelompok tertentu untuk berbuat anarkis. Para pelajar itu kita tanya satupun tidak ada yang mengerti apa tuntutan dari aksi demo mereka, apa yang diperjuangkan. Mereka semakin mudah menjadi alat untuk melempari, memprovokasi. Bagusnya pelajar itu di kelas, sekolah yang pintar," komentarnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, polisi mengungkap keterlibatan para pelajar SMK dalam aksi demonstrasi di berbagai daerah. Di Solo, seorang pelajar SMK Negeri diperiksa karena diduga kuat menyerang dan melukai sejumlah polwan dengan menggunakan ketapel berpeluru kelereng. Pelajar tersebut sempat diperiksa polisi dan dikenai wajib lapor. Di Purworejo, dua pelajar SMK dikeluarkan dari sekolahnya karena terbukti terlibat aksi demonstrasi dan membawa senjata tajam. Namun, sekolah membantah telah mengeluarkan mereka dan menyatakan itu merupakan permintaan orang tua mereka. Disebutkan bahwa sebelumnya, juga dua pelajar tersebut memiliki rekam jejak sering tidak menaati tata tertib sekolah.
Sementara itu, juru bicara salah satu SMK negeri di Solo yang pelajarnya terlibat aksi anarkis demonstrasi di DPRD Solo, Sri Saptono, Selasa (2/10) mengatakan ada berbagai pertimbangan memberikan sanksi pada pelajarnya yang terlibat aksi anarkis demonstrasi.
"Kami dari sekolah sudah berulang kali mengingatkan pada para pelajar agar tidak ikut ajakan demo. Mereka yang mengajak demo itu kan istilahnya menjerumuskan, Sanksi sekolah kan sudah jelas karena kamu sudah mencemarkan nama baik. Tata tertib sekolah kan sudah kamu terima. Sanksi kalau mencemarkan nama baik sekolah kan jelas, paling berat ya dikeluarkan, drop out atau bahasa halusnya dikembalikan ke orang tua. Tapi pimpinan sekolah juga punya berbagai pertimbangan matang mengenai dampak sanksi itu karena masih usia anak dan butuh pendidikan," kata Sri Saptono. [ys/lt]