Seekor gajah Sumatera betina ditemukan mati di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, Senin (7/10). Gajah bernama Dita yang berusia 25 tahun itu ditemukan warga dalam kondisi membusuk.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Suharyono mengatakan tidak ditemukan luka bekas benda tajam atau kekerasan fisik di tubuh gajah malang tersebut. Pada saat ditemukan, bangkai gajah liar tersebut berada jauh dari permukiman warga.
Namun BBKSDA Riau belum bisa memastikan penyebab kematian mamalia besar yang tak memiliki tapak alias cacat pada bagian kaki kanan depan itu.
"Teman kami yang melakukan nekropsi belum memberi laporan terbaru. Langsung melakukan nekropsi tadi malam sehingga sampai pagi ini belum ada laporan terkait perkembangan hasil," kata Suharyono kepada VOA, Selasa pagi (8/10).
Menurut Suharyono, gajah betina itu sudah cacat sejak tahun 2014 karena terkena jerat. Tak memiliki tapak kaki otomatis sangat mempengaruhi kemampuan survival gajah malang tersebut di alam liar. Sejak saat itu Dita kerap mendapatkan perawatan medis dari BBKSDA Riau.
"Awal 2019 kami sudah melakukan pemantauan terhadap Dita meski bukan pengobatan tapi pengecekan secara umum aktivitasnya. Mungkin karena situasi alam yang membutuhkan survival lebih dari kondisi saat ini di situ mungkin Dita terganggu secara fisik karena dia sifatnya liar," jelas Suharyono.
Kematian Dita membuat jumlah gajah Sumatera di SM Balai Raja tinggal tujuh ekor. Bukan hanya itu, habitat gajah Sumatera di SM Balai Raja kian memprihatinkan. Kini, habitat gajah Sumatera di SM Balai Raja hanya tersisa kurang dari 200 hektare. Menurut BBKSDA Riau, kawasan SM Balai Raja banyak yang telah beralih fungsi secara ilegal menjadi perkebunan sawit hingga pemukiman warga.
"Bukti-bukti bahwa itu sudah lama di situ ada tanaman sawit yang berusia 15 tahun. Total luas keseluruhan SM Balai Raja itu kurang lebih 16.000 hektare. Itu sekarang yang tersisa ya sangat menyedihkan hanya kurang dari 200 hektare. Itu sudah dari dulu. Sudah terjadi migrasi gajah Balai Raja ke Giam Siak Kecil itu salah satunya karena faktor tersebut," ungkapnya.
Kata Suharyono, populasi gajah Sumatera di Riau sejak tahun 2016 sedikit mengalami peningkatan. Sedikitnya ada delapan kantung gajah Sumatera yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Riau.
"Dari tahun 2016 cenderung stuck atau bahkan berkembang. Tren baik mulai tahun 2016, metode dan monitoring terhadap keberadaan satwa di alam semakin hari kian sempurna cara pengamatannya melalui perkembangan teknologi," ucapnya.
Sementara itu, Manager Rimba Upper Kampar Tesso Nilo Landscape dari World Wild Life Fund for Nature (WWF) Indonesia, Nurchalis Fadli mengatakan ada dua kantong populasi gajah Sumatera yang besar di Riau, seperti di Giam Siak Kecil dan Tesso Nilo.
"Pada setiap kantong habitat kondisinya macam-macam, ada kawasan konservasi,hutan tanaman industri, perkebunan, dan lainnya. Diperkirakan gajah di Riau itu hidupnya 80 persen di luar kawasan konservasi. Kondisi ini tentu berbahaya bagi gajah karena konflik semakin sering terjadi," tutur Nurchalis dalam keterangan tertulisnya kepada VOA.
Menurut WWF Indonesia, pihaknya kerap menerima informasi dari masyarakat terkait konflik gajah dengan manusia di Riau terutama wilayah kantong populasi mamalia besar tersebut di Tesso Nilo dan Giam Siak Kecil.
"Tindakan mitigasi konflik gajah terasa berat karena habitat yang semakin berubah. Kesulitan dalam menggiring gajah kembali ke habitatnya yang rusak," ungkapnya.
Ancaman utama bagi gajah Sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang berkelanjutan. Lalu, masalah lainnya adalah perburuan dan perdagangan liar serta konversi hutan alam untuk perkebunan skala besar. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik antara manusia dengan satwa yang semakin hari kian memuncak. Menurut data dari WWF Indonesia, ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 akibat dari berbagai penangkapan mamalia besar yang sering dianggap ‘hama’ ini. [aa/lt]