Sebuah kotak berwarna hitam dengan stiker peringatan radiasi warna kuning tergeletak di meja salah satu ruangan Pusat Studi Ilmu Teknik, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di dalamnya, tersimpan sebuah baterai berbentuk pipa yang juga berwarna hitam.
Yudi Utomo Imardjoko, ketua tim riset, menerangkan program pengembangan baterai itu kepada tamu mereka,Dahlan Iskan, mantan menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Awalnya beliau ingin agar di teknik nuklir ada sesuatu bisa dikreasikan, yang tidak hanya teoritis. Ini salah satu bukti, bahwa kami sudah melakukan sesuatu yang sifatnya ada hasil. Walaupun itu masih kecil, hanya tinggal men-scale up saja,” kata Yudi.
Baterai berbentuk pipa itu adalah hasil penelitian dari tim teknik nuklir UGM. Bahan baku utamanya adalah plutonium (PU) 238, yang merupakan limbah pengolahan torium. Pengembangan baterai nuklir di Indonesia, semacam yang dilakukan Yudi, terhambat karena minimnya pasokan PU 238.
“Kendala yang cukup signifikan adalah mendatangkan plutonium 238. Itu harus dari luar negeri. Karena PU 238 ini sebetulnya adalah limbahnya torium, jadi kita tidak bisa mendapatkan PU 238 sebelum punya torium. Sebelum torium-nya dipakai, kemudian jadi limbah, baru dimanfaatkan. Sehingga kita harus beli dari luar negeri,” tambah Yudi.
Torium sendiri merupakan unsur radioaktif yang terdapat dalam mineral tambang seperti pasir zirkon dan timah.
Harapkan Dukungan Kebijakan
Untuk bisa memiliki cukup pasokan torium, Indonesia harus mendeklarasikan dirigo nuclear, kata Yudi. Torium bisa digunakan dalam pembangkit listrik, seperti juga uranim. Karena itulah, Yudi menunggu pemerintah memberikan pernyataan dukungan untuk pemanfaatan nuklir.
Badan Litbang Kemenhan juga turut mendukung biaya penelitian baterai nuklir ini dalam dua tahun terakhir. Menurut Yudi, lembaga itu telah menyaksikan hasil kerja mereka.
Dahlan Iskan sendiri hadir karena dia punya keterkaitan kecil dengan pengembangan industri nuklir di Indonesia.
“Sebetulnya kita bisa tidak perlu impor lagi, kalau kita sudah punya reaktor torium. Nah, reaktor torium itu desainnya sudah jadi. Dibuat oleh 10 ahli nuklir paling top di Indonesia. Mereka sudah membuat desain reaktor torium, kebetulan saya yang membidani. Tinggal bagaimana cara mewujudkannya,” ujar Dahlan.
Dekan Fakultas Teknik UGM, Nizam mengapresiasi pengembangan baterai nuklir ini. Dia berharap pemerintah menunjukkan dukungan dengan ketegasan program Indonesia go nuclear.
“Harapan kita, pemerintah bisa mewujudkan Indonesia go nuclear, artinya kita memanfaatkan energi nuklir terutama yang berbasiskan torium ini. Salah satu yang potensial adalah basis torium. Torium tidak perlu pengayaan seperti uranium, hanya butuh pemurnian. Teknologi kita sudah menguasai, tidak perlu lagi terlalu bergantung pada impor,” tegas Nizam.
Baterai yang dikembangkan di UGM ini memiliki daya yang rendah. Namun, daya tahannya bisa mencapai pemakaian selama 40 tahun. Salah satu fungsinya, bisa digunakan untuk memberi daya pemantau perbatasan Indonesia di kawasan terpencil.
“Di perbatasan dipasang alat untuk memantau jika ada yang melintas batas. Nah, baterai ini dapat dipakai untuk menyuplai daya alat itu. Ke depan, jika terus dikembangkan, tentu saja fungsinya akan lebih banyak lagi,” ujar Elly, salah satu anggota tim peneliti.
Batan Juga Kembangkan Baterai Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) juga melakukan riset untuk pengembangan baterai nuklir.Dalam rilis resminya, Batan menyebut penggunaan torium sebagai bahan pembuat baterai menarik perhatian banyak pihak. Di luar negeri, lembaga seperti lembaga antariksa Amerika Serikat, NASA, juga menggunakan bahan nuklir sebagai baterai karena tahan lama dan tahan cuaca.
Batan sendiri adalah lembaga resmi negara yang salah satu tugasnya adalah menyimpan limbah radioaktif. Daripada terus tersimpan di gudang, Batan memutuskan mencoba memanfaatkan sebagian limbah itu untuk pengembangan baterai. Lembaga ini mencatat, jumlah limbah radioaktif di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Ini merupakan dampak semakin tingginya penggunaan bahan radioaktif di masyarakat, baik untuk keperluan penelitian, kesehatan, maupun industri.
Batan menerangkan, daya listrik yang dihasilkan baterai nuklir tergantung pada daya radiasinya. Semakin besar daya radiasi, makin besar pula daya listrik yg dihasilkan. Sebagai contoh, plutonium-238 mempunyai daya radiasi sebesar 560 watt setiap kilogram. PU 238 dapat dijadikan bahan baterai nuklir jenis RTG, yang menghasilkan listrik sebesar 25-40 watt. Daya radiasi plutonium ini akan berkurang menjadi separuhnya setelah 88 tahun sesuai dengan waktu paruhnya.
Selain daya radiasi, pemilihan bahan untuk pembuatan baterai nuklir juga perlu mempertimbangkan bahaya radiasi sehingga biasanya dipilih zat radioaktif yang radiasinya mudah ditahan oleh penahan radiasi yang ringan.
Indonesia Menunggu Momentum
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro berbicara soal nuklir ini di Jakarta, 13 November 2019 lalu. Dalam keterangan yang disampaikan Biro Kerja Sama dan Komunikasi Publik kementerian itu, Bambang menegaskan Indonesia cepat atau lambat pasti akan memanfaatkan tenaga nuklir. Alasan Bambang, Indonesia sedang mengembangkan banyak industri yang memerlukan konsumsi listrik tinggi.
“Smelter butuh listrik skala besar dan harganya tidak mungkin mahal. Di sinilah energi nuklir bisa masuk, menjawab kebutuhan listriknya dan biaya ekonomisnya,” papar Bambang.
Bambang mengaku, masih ada yang belum percaya Indonesia menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai. Padahal, Bambang mencontohkan, Indonesia selama ini sudah memiliki tiga reaktor nuklir untuk penelitian dan pengembangan. Reaktor itu masih aktif dan tidak pernah mengalami kecelakaan karena prosedur keamanan yang sangat ketat. Tidak hanya dikontrol oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), reaktor ini juga diawasi langsung oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan Badan I nternasional Energi Atom (IAEA). Ketiga reaktor tersebut berada di Serpong, Bandung, dan Yogyakarta.
Karena itulah, Bambang meminta BATAN dan BAPETEN untuk lebih gencar melakukan sosialisasi. “BATAN dan BAPETEN perlu mensosialisasikan terus kepada masyarakat awam dan masyarakat yang kontra atau anti tenaga nuklir. Kadang-kadang kontra itu terjadi karena disinformasi, karena informasi yang kurang lengkap atau informasi yang diterima salah,” tambah Bambang. [ns/em]