Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan kawasan yang direncanakan menjadi ibu kota baru di Kalimantan Timur merupakan kawasan yang tidak bebas dari bencana. Hasil kajian sejumlah LSM lingkungan selama tiga bulan menyebutkan lokasi calon ibu kota baru rawan terjadi kebakaran hutan, gempa bumi, dan tsunami. Adapun LSM yang melakukan kajian antara lain yakni Jatam, Walhi, Trend Asia dan Forest Watch Indonesia.
Kendati demikian, menurut Zenzi, belum ada kajian detail tentang mitigasi bencana di lokasi calon ibu kota.
"Kaltim ini tidak lepas juga dari risiko bencana. Baik itu gempa, tsunami, maupun kebakaran hutan. Sepanjang 2018 kami mencatat ada 3.028 hotspot di Kalimantan Timur. Artinya alasan memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kaltim untuk mengurangi beban Jakarta dan menghindarkan istana dari bencana itu tidak bisa diterima," jelas Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi di Jakarta, Senin (18/12).
Hasil kajian juga menyebutkan ada 94 lubang bekas tambang batu bara yang tersebar di kawasan calon ibu kota negara. Koordinator Nasional Jatam, Merah Johansyah mengatakan, lembaganya mencatat ada 36 korban jiwa akibat lubang bekas tambang di Kalimantan Timur dalam sepuluh tahun terakhir.
"Jadi ada 94 lubang pertambangan batu bara yang menganga berada di 180 ribu hektar, terutama terpusat di Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara," tutur Merah Johansyah.
Merah menambahkan kawasan calon ibu kota negara dan kawasan perluasannya bukanlah ruang kosong. Menurutnya kawasan tersebut sudah dipenuhi dengan izin dan konsesi pertambangan, kehutanan, perkebunan dan PLTU serta bisnis lainnya yang mencapai 162 konsesi.
Koalisi LSM lingkungan ini khawatir pembangunan ibu kota ini akan membuat masalah tukar guling baru dengan perusahaan-perusahaan pemegang izin dan konsesi.Urusan tukar guling ini akan menimbulkan persoalan baru, karena pada umumnya di dalam lahan penggantinya terdapat lahan milik masyarakat .
Dalam soal energi, aktivis lingkungan juga khawatir pemerintah akan menggunakan energi batu bara untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi penduduk ibu kota baru yang diperkirakan mencapai 1,5 juta orang. Saat ini sudah terdapat dua PLTU batu bara yang beroperasi di dekat Balikpapan dan Samarinda. Ini belum termasuk rencana pembangunan tujuh PLTU di wilayah Kalimantan lainnya, termasuk Kalimantan Timur.
Merah Johansyah berpandangan rencana pemindahan ibu kota ini hanya memindahkan masalah dari Jakarta dan menambah beban bagi Kalimantan Timur. Karena itu, ia mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pemindahan ibu kota dan memulihkan kerusakan lingkungan di Jakarta dan Kalimantan Timur.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/ Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), Rudy Soeprihadi Prawiradinata membantah rencana pemindahan ibu kota ini dilakukan tanpa kajian. Menurutnya, pemerintah telah melakukan kajian secara bertahap terkait rencana ini sejak 2017. Kata Rudy, rencana tersebut juga telah disosialisasikan ke publik, termasuk masyarakat sekitar.
"Jadi mengenai masalah tambang, itu sudah kita analisis betul. Memang ada beberapa daerah bekas tambang dan lain-lain, tapi itu tidak akan dibangun karena secara konstruksi tidak bagus," jelas Rudy Soeprihadi saat dihubungi VOA, Rabu (18/12).
Rudy Soeprihadi menambahkan pemerintah juga akan memulihkan wilayah-wilayah yang rusak di Kalimantan. Semisal Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kalimantan Timur yang sudah mulai rusak saat ini.
Pemerintah berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke wilayah antara Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Pemindahan ibu kota ini diperkirakan akan menelan anggaran hingga Rp 466 triliun. Anggaran tersebut berasal dari 19 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan sisanya dari swasta dan Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). [sm/uh]