Berbeda dengan kanker pada orang dewasa yang bisa dicegah dengan deteksi dini, – misalnya mamografi untuk kanker payudara atau pap smear untuk kanker serviks – kanker pada anak sebaliknya. Kanker pada anak, karena jenisnya berbeda, sulit untuk dilakukan screening atau pemeriksaan.
Selain itu, penyebab kanker pada anak belum diketahui dan tidak bisa dicegah, papar Dr. Endang Windiastuti SpA(K), anggota Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN).
“Jadi kalau (kanker) pada anak itu selnya berbeda. Kadang-kadang dibawa dari lahir. Waktu lahir belum ada apa-apa, tetapi karena ada pemicunya – bisa infeksi virus atau kimia – baru bisa terjadi,” kata Dr. Endang, yang juga Dokter Spesialis Anak dari Divisi Hematologi Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Akibatnya, sulit mendeteksi kanker pada anak pada stadium awal di mana tingkat kesembuhan lebih besar. Sering kali, pasien kanker anak baru terdiagnosis saat penyakit sudah masuk stadium lanjut, yang tingkat kesembuhannya lebih kecil.
Oleh karena itu, ketersediaan infrastruktur medis untuk penanganan kanker anak makin mendesak. Namun, tidak hanya jumlah tenaga medis yang minim. Jumlah rumah sakit rujukan kanker anak juga terbatas.
Berdasarkan data KPKN, tercatat hanya 14 rumah sakit yang menjadi rujukan perawatan kanker anak. Merujuk data Kementerian Kesehatan, total jumlah rumah sakit khusus dan umum sekarang ini mencapai 2.813. Jadi, bisa diartikan bahwa 14 rumah sakit yang menjadi rujukan perawatan kanker anak kurang 1 persen dari seluruh jumlah rumah sakit di Tanah Air.
Kartika Purwanto, Wakil Ketua III dan Bidang Humas Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), mengatakan selain kurangnya pengetahuan orang tua mengenai gejala dini kanker anak, keterbatasan jumlah dokter dan rumah sakit menjadi salah satu faktor keterlambatan penanganan pasien kanker anak. Ditambah lagi sistem rujukan berjenjang yang memperpanjang proses penanganan.
“Dari puskesmas ke RSUD (Rumah sakit Umum Daerah), ke rumah sakit provinsi, dan lain-lain. Di Jakarta juga tidak bisa langsung ke RS (Kanker) Dharmais. Harus lewat puskemas,” papar Kartika, yang juga ibu dari seorang penyintas leukemia.
Infrastruktur Medis Terbatas
Fasilitas perawatan dan peralatan medis penunjang pemeriksaan kanker anak, seperti radioterapi, laboratorium, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI), juga belum memadai. Tidak semua rumah sakit di daerah memiliki fasilitas-fasilitas tersebut. Kalau pun ada, para pasien harus bersabar menunggu giliran mendapatkan perawatan.
Padahal, fasilitas-fasilitas tersebut penting. Tidak hanya untuk memastikan agar pasien baru cepat tertangani, tetapi juga untuk memantau pasien-pasien yang sudah menjalani perawatan agar tidak kambuh (relapse).
Lila Imeldasari, desainer fesyen yang bermukim di Yogyakarta, menceritakan proses pengobatan putranya, Aksan Rana Bumi, yang menderita tumor otak jenis Medulloblastoma.
Aksan didiagnosis menderita tumor otak pada akhir 2016. Awal 2017, Aksan menjalani operasi di Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta untuk memasang selang VP shunt agar tidak terjadi penumpukan cairan di otak akibat terhambat oleh tumor. Usai menjalani operasi itu, dokter bedah saraf menyarankan agar Aksan – saat itu berusia hampir 6 tahun – untuk menjalani radioterapi sebelum menjalani operasi pengangkatan tumor. Tujuan radioterapi untuk mengecilkan tumor berukuran 4 cm yang bersarang di dalam otak kecilnya.
“Namun karena rumah sakit penuh, dokter merujuk Aksan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Saat itu antrean untuk radioterapi bisa berbulan-bulan,” tutur perempuan berusia 48 tahun yang juga fashion creator Lemari Lila.
Di RSCM, prosedur medis Aksan berganti. Dia harus menjalani operasi dulu untuk memastikan apakah ada sel kanker atau tidak. Bila ada, Aksan baru menjalani radioterapi.
Namun, Aksan harus sabar menunggu giliran operasi. Antrean jadwal operasi cukup panjang karena jumlah kamar Pediatric Intensive Care Unit (PICU) di RSCM yang terbatas.
Lila menuturkan setelah beberapa kali tertunda, Aksan akhirnya menjalani operasi pengangkatan tumor pada 12 Juni 2017 atau sekitar enam bulan sejak dia didiagnosis tumor otak pada akhir 2016.
“Kami merasakan dokter-dokter bekerja semampu mereka, tetapi mungkin di beberapa tempat belum didukung peralatan. Seperti Aksan, hambatan jadwal operasi karena menunggu giliran kamar PICU yang terbatas saat itu,” ujar Lila, yang kerap membagikan informasi kondisi Aksan melalui akun media sosialnya.
Operasi Aksan sendiri berjalan baik. Tumor berhasil diangkat. Aksan kini berangsur pulih meski masih menjalani berbagai terapi.
Ketersediaan obat-obatan kemoterapi bukan tanpa kendala. Terutama di luar Jawa. Nuu menuturkan stok obat kemoterapi oral di Aceh kerap habis. Padahal obat kemoterapi minum lebih nyaman bagi pasien kanker anak, dibandingkan kemoterapi lewat infus.
"Kami sampai harus mencari ke Malaysia,” kata Nuu.
Di Aceh, lanjut Nuu, juga tidak tersedia laboratorium yang bisa memeriksa jenis leukemia. Untuk memeriksa jenis Leukemia, sampel darah penderita harus dikirim ke RS Kanker Dharmais di Jakarta. Biaya pemeriksaan sebesar Rp 1,14 juta dan butuh waktu dua minggu untuk mengetahui hasilnya.
Padahal, tambah Nuu, pengecekan darah rutin penting untuk memantau adanya metastasis atau penyebaran sel kanker. Terutama setelah pasien menjalani kemoterapi.
Kebutuhan Infrastruktur Medis Mendesak
Dr. Endang mengakui masalah jumlah keterbatasan tenaga medis dan fasilitas medis penanganan kanker anak menjadi tantangan besar. Namun, imbuhnya, pemerintah membuat beberapa terobosan. Misalnya, setiap rumah sakit sudah dibentuk tim terpadu penanganan kanker anak. Tim terpadu terdiri dari berbagai spesialis, seperti radioterapi, bedah saraf, bedah tulang dan lainnya.
Beberapa organisasi nirlaba dengan bantuan para donatur juga berusaha membantu perawatan para pasien kanker anak. Antara lain dengan menyediakan rumah singgah untuk tempat tinggal sementara para pasien kurang mampu dari luar kota selama menjalani kemoterapi. Seperti yang dilakukan YOAI dan Rumah Kita di Banda Aceh.
Pada 27 Februari 2019, YOAI meresmikan ruang rawat inap untuk pasien kanker remaja yang pertama di Indonesia. Ruang rawat yang dilengkapi perpustakaan, ruang nonton film dan ruang komputer itu berada di RS Kanker Dharmais. Pada 2005, YOAI juga membuatkan ruang rawat inap untuk pasien kanker anak di rumah sakit yang sama. Selain hibah ruang rawat inap, YOAI juga menyumbangkan beberapa peralatan penunjang perawatan leukemia.
Namun tentunya bantuan mereka terbatas.
Sebagai orang tua penyintas kanker, Lila berharap ada lebih banyak riset lanjutan mengenai kanker anak. Baik pemicu, pengobatan atau tindakan medis, dan rehabilitasi medik pasca pengobatan.
“Pengobatan pascaoperasi juga menjadi sangat penting. Karena di sini lah cerita sesungguhnya berjalan,” kata Lila, sembari menambahkan BPJS Kesehatan perlu meningkatkan paket-paket layanan pascaoperasi.
“Sampai anak tersebut mencapai kesembuhan terbaik,” tambahnya.
Lila juga berharap ada pendampingan psikologis untuk orang tua pasien. Karena proses penyembuhan kanker anak juga berat bagi orang tua.
“Salah satu kunci kesembuhan adalah orang tua. Maka orang tua harus dipenuhi dengan pengetahuan tentang kanker yang diderita anak dan diringankan beban psikologisnya,” ujar Lila.
Pemenuhan kebutuhan infrastruktur medis di Indonesia mendesak untuk dipenuhi. Kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan akses pengobatan kanker anak perlu diselesaikan agar kasus yang dialami oleh Fujiama tidak kerap terulang. [gregorius giovanni/esterina rassi/dw]