Pemerintah merencanakan, Omnibus Law akan terdiri atas dua Undang-Undang (UU) besar, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Dalam penjelasannya, Jokowi menyebut omnibus law akan menyederhanakan regulasi, terutama terkait investasi.
Pakar hukum sekaligus aktivis antikorupsi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenal Arifin Mochtar mempertanyakan sempitnya wacana omnibus law ini, yaitu terfokus pada masalah ekonomi. Padahal masih banyak lagi. Misalnya, imbuh Zaenal, peraturan terkait partai politik.
“Satu problem kita, misalnya problem partai politik. Itu tersebar di Undang-Undang Parpol, Undang-Undang Pemilu, banyak banget. Kenapa kita tidak memakainya untuk itu. Kenapa kita harus menunggu untuk menyelesaikan satu persatu,” kata Zaenal dalam acara Diskusi Akhir Tahun di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (30/12).
Yang kemudian sering terjadi, ujarnya, penyelesaian-penyelsaian itu tidak berkesinambungan satu dengan lainnya.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula sebagai pembicara, Ketua PP Muhammadiyah sekaligus mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwo Santoso, dosen Fakultas Ekonomi UGM Akhmad Akbar Soesamto, dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ridho Al-hamdi.
Wacana soal omnibus law hanya satu dari sejumlah isu bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum sepanjang 2019 yang dibahas dalam diskusi. Zaenal Arifin mengaku, sebagai ahli hukum dirinya beberapa kali mengusulkan agar pembahasan undang-undang dilakukan secara paket. Dengan demikian, beberapa undang-undang dalam satu sektor akan memiliki kesinambungan.
Sayangnya, DPR tidak mendengarkan usulan itu. Bahkan UU biasa dibahas di komisi yang berbeda-beda. Padahal, kesinambungan antar UU memungkinkan pemerintah tidak perlu membuat omnibus law.
“Taruh misalnya soal industri jasa keuangan, ada UU Perbankan, UU OJK, UU LPS, UU PPKS atau Penanggulangan Keadaan Krisis. Itu tidak pernah dibahas bareng-bareng. Kalau dikumpulkan Anda akan tertawa. Karena satu ke utara, satu arahnya ke selatan,” tambah Zaenal Arifin.
Dosen di Fakultas Hukum UGM ini mengaku bisa menerima rencana pembuatan omnibus law. Namuan, dia meminta langkah itu jangan hanya dilakukan dalam upaya meningkatkan iklim investasi. Omnibus law terkait Pemilu, misalnya, kata Zaenal, sama pentingnya untuk dibuat.
UU Lintas Isu
Omnibus adalah bahasa Latin yang bermakna segalanya. Karena itu, omnibus law adalah UU yang mencakup berbagai isu. Pada laman Sekretariat Kabinet, Jokowi mengatakan setidaknya akan ada 82 UU terdampak omnibus law. Sekian UU itu akan disederhanakan untuk memudahkan investasi, meskipun dampaknya perlu dibicarakan lebih serius sebelum disahkan.
Dosen Fakultas Ekonomi UGM, Akhmad Akbar Soesamto memaparkan omnibus law adalah istilah hukum. Namun menurut sejarah, ide omnibus law berasal dari para ekonom.
“Itu adalah bagian dari frustasi kita. Frustasi para pejabat-pejabat yang tiap hari memikirkan ekonomi itu. Kok tidak maju-maju ekonomi kita. Dan itu sebagian orangnya sama dengan orang-orang yang dulu menetaskan 14 paket kebijakan ekonomi. Itulah kenapa kok hanya ekonomi saja,” kata Akhmad.
Kehadiran omnibus law, tambah Akhmad, menandakan ada situasi ekonomi yang kurang bagus. Karena itu, ada upaya perbaikan dan omnibus law dinilai menjadi jalan keluarnya.
Dia juga meminta masyarakat tidak sekadar berdebat soal penting tidaknya kehadiran omnibus law. Lebih penting dari itu, adalah apa yang menjadi substansi isinya nanti. Akhmad khawatir, omnibus law yang disusun mengejar waktu justru akan menjadi masalah baru kelak.
Pemerintah sendiri sedianya akan mengajukan rancangan omnibus law pada Desember 2019, tetapi mundur hingga Januari tahun depan. Sebuah Satuan Tugas (Satgas) khusus beranggotakan 127 orang telah dibentuk untuk menyusun rancangan itu. Sejumlah pengusaha besar dan kepala daerah terlibat dalam Satgas tersebut.
Ketua PP Muhamamdiyah, Busyro Muqoddas yang menjadi pembicara kunci dalam diskusi ini mengatakan, apa yang terjadi tahun ini dapat dicari rangkaian awalnya sejak 2004. Dalam jangka 15 tahun itu, pengaruh korporasi dalam pemerintahan terasa sekali. Dunia usaha berperan dalam mengawetkan kekuasaan. Di sisi lain, birokrasi akhirnya menyesuaikan dirinya agar mampu mengamankan oligarki politik.
Khusus dalam periode lima tahun terakhir, Busyro mengatakan pengaruh sektor usaha sangat terasa dalam pengelolaan negara. Hal itu, ujarnya, ditandai dengan banyaknya kebijakan-kebijakan negara yang sarat dengan kepentingan sektor swasta.
“Dan itu konsekuensi logis, dari dominannya oligarki politik dan oligarki bisnis. Tidak mungkin, private sector ini tidak masuk ke eksekutif, tidak mungkin tidak masuk ke legislatif, bahkan dalam proses-proses penegakan hukum,” ujar Busyro.
Rektor UNU Purwo Santoso meminta masyarakat untuk tidak terlalu bergantung kepada perangkat keras bernegara, misalnya produk hukum berupa undang-undang. Rakyat, kata Purwo harus mengembangkan perangkat lunak dalam berbangsa yang berasal dari kearifan lokal.
“Paket liberalisme itu tidak hanya ada di Indonesia,” kata Purwo mengingatkan. [ns/ft]