Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 tembus hingga Rp353 triliun. Hal ini setara dengan 2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Realisasi defisit tersebut, kata Sri Mulyani, meningkat dari posisi 2018 yang hanya sebesar Rp269,4 triliun atau 1,82 persen dari PDB. Realisasi defisit juga lebih besar dari target awal, yaitu Rp 296 triliun atau 1,84 persen dari PDB.
"Dengan defisit ini, pembiayaan anggaran kita tahun 2019 terealisir Rp 399,5 triliun atau ada kenaikan 30 persen dari tahun lalu yang mencapai Rp 305,7 triliun,” ujarnya dalam konferensi pers, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Menurut Sri Mulyani, defisit ini terjadi karena realisasi penerimaan negara masih jauh lebih rendah dibandingkan belanja negara. Menurut mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini, rendahnya penerimaan negara adalah imbas dari perlambatan perekonomian global terhadap perekonomian di Tanah Air. Di sisi lain, pemerintah juga harus tetap merealisasikan anggarannya dalam belanja negara untuk tetap mendorong pembangunan.
Adapun penerimaan negara baru mencapai Rp 1.957 triliun atau hanya 90,4 persen dari target di APBN 2019 yang sebesar Rp 2.165,1 triliun. Sementara itu, untuk belanja negara tercatat sebesar Rp 2.310,2 triliun atau 93,9 persen dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 2.461,1 triliun. Dengan realisasi itu, belanja negara meningkat 4,4 persen.
Dari sisi penerimaan, imbuhnya, penerimaan negara hanya naik 0,7 persen dan penerimaan perpajakan tumbuh 1,7 persen. Artinya, pemerintah tahun lalu mengumpulkan Rp 1.952,2 triliun atau 90,4 persen dibanding target awal.
“Pendapatan negara yang tadi saya sebutkan mengalami tekanan karena mengalami rembesan pelemahan global terlihat dari pendapatan perpajakan kita," papar Sri Mulayani.
Perekonomian Masih Stabil
Meski defisit APBN 2019 membengkak, Sri Mulyani menyebut bahwa defisit APBN 2019 Indonesia masih tetap terarah, terkendali. Juga secara keseluruhan kinerja APBN masih bisa menjaga perekonomian cukup baik di bawah tekanan yang tidak mudah di 2019.
Ia juga mengklaim posisi ini masih lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dipertahankan di level 5 persen.
Sri Mulyani mencontohkan, defisit anggaran di India mencapai 7,5 persen dari PDB, Amerika Serikat (AS) 5,6 persen dari PDB, Brazil 7,5 persen dari PDB, dan China 6,1 persen.
“Jadi kalau kita lihat di sini kombinasi pemerintah menjaga fiskal kita untuk tetap mampu mendorong ekonomi dan oleh karena itu defisitnya melebar dari yang kita rencanakan," katanya.
"Namun itu masih jauh lebih rendah jika dibandingkan peer emerging country yang lain. Dengan hasil pertumbuhan ekonomi yang tetap terjaga di atas lima persen itu relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain,” jelasnya.
Inflasi 2019 Terendah dalam 20 Tahun
Terkait inflasi, Sri Mulyani cukup puas karena inflasi di 2019 terkendali pada 2,72 persen. Angka tersebut jauh di bawah target APBN 2019, yaitu 3,5 persen. Bahkan, menurutnya capaian angka inflasi tersebut merupakan yang terendah dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Hal ini, kata Sri Mulyani, menandakan bahwa tingkat daya beli masyarakat masih cukup terkendali dengan baik, meski angka pertumbuhan ekonomi di 2019 stagnan di kisaran 5 persen.
“Kalau kita lihat tadi konsumsi kita tumbuh di atas 5 persen, banyak yang menyampaikan apakah inflasi rendah adalah karena daya beli. Pasti dari sisi konsumsi ternyata tumbuhnya masih cukup tinggi bertahan di atas 5 persen. Jadi ini justru inflasi yang rendah mendukung daya beli yang masih bisa terjaga di atas 5 persen. Growth dari consumption masih bisa terjaga,” jelasnya.
2020 Ekonomi Diperkirakan Membaik
Sri Mulyani mengakui bahwa 2019 merupakan tahun yang berat bagi semua pelaku ekonomi. Perekonomian global dan situasi geopolitik beberapa negara memberikan dampak cukup signifikan terhadap situasi perekonomian di Tanah Air.
Dia mengatakan pelemahan perekonomian yang terjadi di seluruh negara di dunia diharapkan sudah mencapai titik terbawah (bottom) pada 2019 lalu, sehingga pada tahun ini perekonomian bisa mulai pulih.
“Kalau kita lihat perekonomian global yang menunjukkan pelemahan yang sangat nyata ini, tahun 2020 ada sedikit optimism, yaitu adanya recovery," ujarnya
Meski demikian ada beberapa faktor yang masih perlu diwaspadai pada tahun ini. Antara lain, masih adanya perang dagang, Brexit, pemilu di Amerika Serikat serta perlambatan ekonomi di beberapa negara, seperti China dan India. Selain itu, keadaan geopolitik di beberapa negara cenderung memanas di awal tahun ini.
"Tahun 2020 akan menciptakan peningkatan utang dan adanya tensi politik seperti yang kita lihat. Ini merupakan tantangan kita. Jadi, ada optimisme, tetapi juga ada risiko yang masih diperkirakan mempengaruhi outlook 2020,” ungkap Sri Mulyani.
Tekanan Global
Pengamat ekonomi CORE Indonesia Moh Faisal mengatakan meskipun beberapa institusi global meramalkan keadaan perekonomian dunia akan membaik, tetapi berkaca dari tahun sebelumnya, awal tahun kerap diisi dengan berbagai optimisme.
Namun pada pertengahan tahun institusi global tersebut kerap memangkas perkiraan pertumbuhan perekonomian dunia. Oleh karena itu, sebagai negara yang sudah pasti terkena imbas, Indonesia harus waspada terhadap tekanan global ini, apalagi masalah perekonomian dan kondisi geopolitik di beberapa negara belum juga membaik.
“Kalau sepanjang sumber utama yang menyebabkan dinamika ekonomi global tidak pasti itu belum berakhir, ini masih akan terjadi gejolak-gejolak ekonomi global. Sehingga ketidakpastian pertumbuhan ekonomi, kondisi perdagangan itu masih besar di tahun depan," kata Faisal kepada VOA.
Apalagi, kata Faisal, Trump masih melakukan manuver-manuver politik. Misalnya, perang dagang yang berlarut-larut, Brexit, dan masalah dengan Iran.
"Dampaknya tidak main-main kalau sampai terjadi perang atau eskalasi dan berketerusan dampaknya terhadap harga minyak pasti akan melonjak,” ujarnya kepada VOA.
Untuk merespon dinamika global ini, pemerintah, kata Faisal harus melakukan pelonggaran baik dari sisi fiskal maupun moneter. Meskipun pelonggaran tersebut akan mengakibatkan defisit APBN 2020 melebar, tetapi sepanjang masih di bawah batas kritis, yaitu 3 persen dari PDB, menurutnya hal tersebut tidak masalah.
Dari sisi moneter, Faisal menyarankan untuk menurunkan suku bunga acuan. Sedangkan dari sisi fiskal, imbuhnya, yang dikejar bukan kenaikan pendapatan pajak untuk menekan defisit, melainkan memberi kelonggaran pajak agar pelaku usaha tidak makin tertekan.
“Nanti setelah kondisi mereka membaik, baru bisa kembali normal, jadi dikejar lagi pajaknya,” ungkap Faisal. [gi/em]