Menurut Transparency International Indonesia (TII) merilis data indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2019 di Jakarta, Kamis (23/1). Pada 2019, IPK Indonesia naik dua poin, dari 38 pada tahun sebelumnya menjadi 40.
Dengan skor 40, peringkat Indonesia juga membaik. Pada 2019, Indonesia berada di urutan ke-85 dari 180 negara, naik dari urutan ke-89 pada 2018. Sedangkan di antara negara-negara Asia Tenggara, posisi Indonesia pada 2019 tidak berubah, yaitu peringkat empat. Peringkat pertama ditempati Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia.
Survei Indeks persepsi korupsi 2019 melibatkan 180 negara. Skor 0 artinya negara itu sangat korup, sebaliknya skor 100 menandakan negara tersebut bersih dari korupsi.
Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan kenaikan skor indeks persepsi korupsi menjadi bukti langkah Indonesia untuk memberantas korupsi cukup berpengaruh.
Hal ini, tambahnya, menjadi penanda bahwa perjuangan bersama melawan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah, Komisi pemberantasan korupsi (KPK), lembaga keuangan dan bisnis serta masyarakat sipil menunjukan upaya positif.
Menurutnya ada beberapa sektor yang perlu diwaspadai dalam indeks persepsi korupsi, yaitu pengendalian pemerintah terhadap korupsi, prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, korupsi politik dan korupsi birokrasi serta penyalahgunaan kekuasaan oleh penjabat eksekutif, yudikatif, legislatif , militer dan kepolisian.
“Hari ini indeks persepsi korupsi Indonesia ada di skor 40 dan ranking 85,”kata Wawan.
Meski IPK Indonesia naik tetapi Transparency International Indonesia juga memberikan catatan soal kemandirian dan keefektifan KPK yang dilemahkan melalui revisi Undang-undang KPK.
Direktur Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Prahesti Pandanwangi bersyukur karena Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2019 naik dua poin menjadi 40 dari 38 poin pada 2018.
Dia menilai kenaikan itu merupakan kontribusi dari kerja semua pihak dalam memberantas korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih.
"Kebijakan ke depan adalah penataan lembaga demokrasi. Di dalamnya ada soal pembenahan undang-undang politik, mendorong demokrasi internal parpol, memperkuat transparansi dan akuntabilitas parpol, memperkuat penyelenggaraan pemilu," ujar Prahseti.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini menjadi anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syamsuddin Haris menjelaskan episentrum dari korupsi di Indonesia adalah partai politik.
"Korupsi di Indonesia episentrumnya di politik. Kalau kita lebih tajam lagi, episentrum korupsi yang di politik itu sesungguhnya di mana? Saya bisa mengatakannya di partai politik," kata Syamsuddin.
Karena itu, lanjutnya, pembenahan ke depan mestinya lebih fokus di bidang politik. Dia menambahkan meski sudah dua dasawarsa meninggalkan sistem otoriter, tetapi sistem politik di Indonesia saat ini masih melembagakan dan memfasilitasi tumbuh suburnya politik yang korup.
Syamsuddin menjelaskan parameter dari sistem politik yang korup tersebut bisa dilihat dalam sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum, baik itu pemilihan legislatif, pemilihan presiden, atau pemilihan kepala daerah. Dia menegaskan negara tidak memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk membangun sistem politik yang bertanggung jawab, bersih, dan tidak korup.
Di instansi-instansi pemerintah pun, menurutnya, yang terlihat hanya slogan berupa "Anda memasuki kawasan bebas korupsi." Artinya pemberantasan korupsi hanya sekadar slogan, jargon.
Poinnya, tegas Syamsuddin, sistem yang terbangun di Indonesia sekarang ini adalah sistem yang masih korup atau setidak-tidaknya yang membuka peluang besar untuk berlangsungnya tindak pidana korupsi.
Selain itu, tambahnya, tidak ada komitmen kepemimpinan untuk meminimalkan peluang terjadinya rasuah. bahkan sebaliknya, pemimpin-pemimpin politik menikmati zona nyaman tersebut.
Syamsuddin mengatakan untuk meningkatkan IPK dan pemerintahan yang bersih, maka tidak sepenuhnya berfokus pada pendekatan dan penyelesaian secara hukum, juga tidak mungkin hanya mengandalkan KPK. [fw/ft]