Bank sampah banyak dipuji karena dinilai mampu mengurangi sampah di tingkat komunitas. Namun di lapangan, banyak bank sampah butuh perhatian serius pemerintah. Ketua Forum Bank Sampah Jawa Barat, Mohamad Satori, mengatakan dari 2.000-an bank sampah di provinsi ini, ada 400-an yang tidak aktif.
Menurutnya, bank sampah sulit berkembang karena bergantung pada sukarelawan.
“Bank sampah itu umumnya mereka sukarela. Kalau sukarela, maka ujung-ujungnya bisa suka-suka. Akhirnya kan nggak fokus,” ujarnya kepada wartawan dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional di Bandung, Selasa (25/2) siang.
Satori mengatakan, masih banyak bank sampah yang bergerak swadaya. Mereka bahkan menggunakan sarana dan prasarana milik masyarakat.
“Hampir semua bank sampah itu tidak punya tempat. Mereka mendanai sendiri. Tempat itu masih numpang di fasilitas umum dan bahkan menyewa sendiri,” ujarnya lagi.
Bank sampah berperan vital dalam pengelolaan sampah. Bank sampah dapat mengolah sampah organik sebagai kompos untuk masyarakat.
Sementara sampah plastik bisa didaur ulang dan dimanfaatkan. Sisanya, berupa sampah residu serta bahan berbahaya dan beracun (B3), barulah dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Dari catatan Forum Bank Sampah Jawa Barat, komposisi sampah paling banyak berupa sampah organik (lebih dari 50 persen), disusul bahan yang bisa didaur ulang (20 persen), dan sisanya B3. Artinya, bila model bank sampah berjalan optimal, masalah sampah bisa berkurang sampai 70 persen.
Pemda Belum Serius Dukung Bank Sampah
Namun sayangnya, ujar Satori, belum semua kabupaten/kota serius mendukung bank sampah. Masih ada pemda yang menganggapnya sebagai persyaratan Penghargaan Adipura.
“Semua kota/kabupaten sudah ada bank sampah. Hanya penekanannya yang berbeda. Ada yang hanya untuk Adipura, ada juga yang terus menerus diperhatikan,” jelasnya yang juga dosen Teknik Industri Universitas Islam Bandung (Unisba) ini.
Dia menyebut Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Sukabumi adalah tiga di antara sedikit pemda yang memberi dukungan berarti.
Dalam catatan Kementerian Lingkungan Hidup, pemda rata-rata mengeluarkan 0.07 persen APBD untuk pengolahan sampah. Padahal idealnya mencapai 3-4 persen.
Namun di samping dukungan anggaran, ujar Satori, pemerintah juga perlu memastikan stabilitas harga sampah daur ulang.
“Memastikan harganya standar. Karena selama ini banyak kejadian, harga yang ada mengikuti harga sektor informal yang sangat menjatuhkan bank sampah sendiri,” terangnya.
Alternatif Anggaran
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat mendorong alternatif anggaran untuk bank sampah.
Kepala Bidang Konservasi dan Lingkungan dan Perubahan Iklim Dinas LH Jabar Asep R Lengkawa mengatakan bank sampah bisa dibiayai oleh dana desa.
“Kalau misalkan masyarakat atau pemerintahan desa merasa terbantu dengan bank sampah, ya harusnya bisa membantu bank-bank sampah yang ada di daerahnya,” jelasnya.
Di samping itu, dia meminta pabrik daur ulang membeli langsung material ke bank sampah. Hal ini untuk menghindari pengumpulan keuntungan di pengepul.
“Kan pengepul juga harus punya untung. Dari pengepul nanti ke distributor, distributor lalu ke pabrikan. Itu biasa naiknya seribu-seribu-seribu,” imbuhnya dalam kesempatan yang sama. [rt/ab]