Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay membenarkan informasi yang beredar bahwa satuan tugas gabungan TNI-Polri diduga telah menembak dua masyarakat sipil, yaitu Ronny Wandik dan Eden Armando Debari, hingga tewas, Senin (13/4) malam. Pada saat itu dua pemuda tersebut diketahui sedang mencari ikan di Mile 34 area PT Freeport Indonesia.
Pemuda yang tewas tersebut pada awalnya sempat disangka sebagai anggota kelompok bersenjata atau simpatisan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
LBH Papua mengecam keras tindakan yang diduga dilakukan satuan tugas gabungan terhadap korban. Menurut Gobay, tindakan yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia tersebut telah melanggar Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat.
“Fakta tindakan yang dilakukan adalah penembakan, maka itu jelas masuk dalam kategori penyalahgunaan senjata api. Kami tahu bahwa dalam penggunaan senjata api itu ada prosedur tetap (protap)," kata Gobay kepada VOA, Rabu (15/4).
"Namun yang terjadi di sana adalah langsung main tembak kemudian mengorbankan dua warga sipil," tambahnya.
LBH Papua menilai penembakan itu juga melanggar Undang-undang Darurat No 12 Tahun 1951 karena bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan senjata api.
VOA menghubungi juru bicara Polda Papua, Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal, untuk meminta konfirmasi dan perkembangan kasus salah tembak itu. Namun, Kamal menyarankan VOA untuk menghubungi pihak Kodam XVII/Cendrawasih.
"Ke Kepala Penerangan Kodam (Kapendam)," ujarnya dengan singkat melalui pesan online.*
Namun, hingga berita ini diturunkan, Rabu (15/4), upaya VOA untuk mendapatkan informasi terbaru terkait penembakan itu belum membuahkan hasil. Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Kolonel Cpl Eko Daryanto, tidak merespons pesan-pesan online dan sejumlah panggilan telepon dari VOA.
Sementara itu, Emon Beanal, abang ipar dari salah satu korban yaitu Ronny Wandik membenarkan bahwa adiknya turut menjadi korban penembakan. Keluarga korban meminta kepada jajaran tertinggi TNI-Polri di Tanah Papua agar segera memberhentikan pelaku penembakan.
"Memecat pelaku penembakan dengan tidak hormat mulai dari pemimpin hingga bawahan yang bertugas pada saat itu," katanya kepada VOA melalui pesan online.
"Kami keluarga korban menerima kejadian ini dengan ikhlas. Namun kami keluarga korban menyampaikan bahwa kejadian ini adalah pelanggaran HAM berat," pungkasnya.
Bukan Hal Baru
Menurut Gobay, penembakan yang diduga dilakukan aparat keamanan di Papua bukan hal baru. Menurut catatan LBH Papua selama 2019 hingga 2020 telah terjadi beberapa kali kasus penembakan yang mengakibatkan warga sipil menjadi korban.
"Pada tahun 2019 itu sekitar ada beberapa kasus (penembakan) baik di Merauke, Deiyai, Nduga, dan Intan Jaya. Kemudian di tahun 2020 itu ada di Mamberamo Tengah, Intan Jaya, dan Timika," ucapnya.
Gobay mengatakan warga sipil Papua kerap dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut, padahal kenyataannya tidak benar.
"Itu stigma yang tertampil kemudian melalui kasus ini setelah klarifikasi bahwa ini adalah masyarakat sipil. Itu kemudian membuktikan bahwa selama ini yang ada di dalam kepala aparat keamanan ada kemungkinan mereka menilai semua orang Papua itu adalah kelompok bersenjata,” tutur Gobay, seraya mempertanyakan dasar penilaian tersebut.
LBH Papua menyarankan agar ada evaluasi di dalam tubuh TNI-Polri soal pandangan terhadap orang Papua.
"Alangkah baiknya stigma-stigma yang selama ini digunakan itu bisa dihilangkan karena kita negara hukum. Dalam negara hukum itu tidak mengenal namanya diskriminasi dengan dasar apa pun," tegasnya. [aa/ft,em]