Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia menyuarakan perlunya investigasi lebih jauh tentang pandemi virus corona hingga ke titik asalnya. Berbagai spekulasi muncul misalnya tentang virus yang diduga berasal dari laboratorium di Wuhan. Meski belum dapat dibuktikan, spekulasi semacam itu menegangkan hubungan berbagai negara dengan China.
Namun, tidak mudah meminta China bertanggung jawab secara hukum atas pandemi ini. Sejumlah pakar hukum internasional Indonesia, membincangkan hal itu dalam forum diskusi daring, Kamis (7/5). Diskusi ini digelar oleh Indonesian Society of International Law Lectures (ISILL).
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional, Universitas Indonesia menegaskan, sebagai negara, China akan sulit diminta pertanggungjawabannya. Namun, dunia dapat mempertanyakan transparansi para pejabatnya terkait pandemi ini.
“Tentu kita mengatakan bahwa, tidak ada perjanjian internasional yang dilanggar oleh China. Tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa China harus melakukan ini dan itu. Tetapi China bisa dipersalahkan karena para pejabatnya tidak transparan kepada masyarakat internasional, terutama kepada WHO, bahwa ada pandemi yang bisa membahayakan dunia,” kata Hikmahanto.
Empat Kesulitan Besar
Hikmahanto mengidentifikasi empat masalah besar yang akan mengganjal proses ini. Keempat masalah itu adalah sulitnya mendapatkan bukti, lembaga peradilan yang akan menyidangkan, jika ada putusan apakah bisa dieksekusi, dan terakhir jika ada eksekusi atas aset pemerintah China yang mana.
Secara rinci, Hikmahanto melanjutkan perihal bukti yang tentu akan sulit diperoleh karena semua ada di China. Negara itu tentu tidak akan mengizinkan siapapun masuk kesana, jika keperluannya untuk melakukan investigasi kasus ini. masyarakat internasional dapat mempercayakan kepada PBB proses ini, tetapi harus diingat bahwa China ada di Dewan Keamanan yang bisa saja mem-veto upaya ini. Jika dibawa ke Majelis Umum PBB, masih harus ditanyakan juga siapa yang akan mau melawan China.
Dalam soal kedua, bila gugatan diajukan ke pengadilan suatu negara, China akan menggunakan hak imunitasnya. Jika perkara dibawa ke International Court of Justice atau Permanent Court of Arbitration, dibutuhkan persetujuan China sendiri untuk prosesnya. Sedangkan jika ke International Criminal Court (ICC), masih ada pertanyaan apakah pandemi ini merupakan kejahatan internasional.
Kalaupun ada pengadilan kepada China dan muncul putusan, lanjut Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani ini, masih muncul masalah soal pelaksanaannya. Dalam konteks hukum internasional, tidak ada lembaga yang lebih tinggi dari negara dan tidak ada lembaga yang bisa memaksa negara.
“Putusan hanya bisa dilaksanakan negara yang dirugikan atau self help. Permasalahannya, self help akan efektif jika negara besar yang menjadi korban, berhadapan dengan negara lebih kecil sebagai pelaku,” papar Hikmahanto.
Karena itu, salah satu yang bisa dituntut dari China adalah pertanggungjawaban moral. Hikmahanto menyebut, salah satu caranya adalah bahwa China bertekad tidak akan mengambil keuntungan finansial dari pandemi virus corona. Misalnya, perusahaan China tidak boleh membeli saham perusahaan di negara lain yang harganya anjlok saat ini.
Selain itu, tanggung jawab moral juga bisa diwujudkan dalam bentuk bantuan mengatasi pandemi bagi negara-negara terdampak.
“Yang kedua, China sedapat mungkin memberi bantuan kepada negara-negara yang terdampak, dalam bentuk apapun, untuk meringankan kerugian yang diderita oleh banyak negara. China harus memperbaiki citranya di mata dunia,” tambah Hikmahanto.
Indonesia Wajar Mempertanyakan
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjajaran, Atip Latipulhayat menyarankan, Indonesia bersikap kepada China. Saat ini, fokus pemerintah memang harus menyelesaikan terlebih dahulu pandemi yang melanda. Setelah usai, kata Atip, bukan sebuah masalah jika pemerintah mempertanyakan pandemi ini dalam kerangka restorative justice. Upaya ini akan mampu mengembalikan rasa saling percaya dalam skala internasional.
“Pandemi ini kan luar biasa sekali. Maka kecurigaan seperti itu harus ditindaklanjuti. China harus membuktikan bahwa kenyataannya ini tidak seperti tuduhan Amerika, tujuannya untuk membangun kepercayaan, bukan mencari siapa yang salah,” kata Atip.
Atip menggarisbawahi, dalam kondisi saat ini sama-sama sulit untuk berprasangka baik maupun berprasangka buruk, kepada China maupun Amerika Serikat.
Di dalam organisasi kesehatan dunia (WHO) lanjut Atip, ada dua instrumen. Satu instrumen adalah konstitusi yang mengatur organisasi itu sendiri, seperti keanggotaan serta hak dan kewajiban anggota. Selain itu ada pula International Health Regulation, yang telah mengalami revisi pada 2005 sebagai tindak lanjut wabah SARS ketika itu.
Yang dilakukan saat ini, bukanlah mempermasalahkan instrumen yang ada di dalam WHO itu. Lanjut Atip, lebih penting adalah mempertanyakan pelaksanaannya oleh masing-masing anggota, termasuk China.
“Menurut WHO, justru China jauh lebih bagus laporannya sewaktu SARS. Mengapa sekarang tidak lebih cepat dari pada waktu SARS itu,” lanjut Atip.
Kerjasama dengan China Bagus
Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Acep Somantri turut menjadi pembicara dalam diskusi ini. selain menjabarkan apa yang menjadi langkah pemerintah terkait pandemi, Acep juga mengabarkan rencana pembahasan penanganan virus corona oleh WHO pada 18 Mei nanti. Salah satunya mengenai distribusi obat dan vaksin.
“Indonesia dan negara berkembang mendorong akses terbuka bagi semua negara, bukan hanya negara maju, tetapi terutama negara yang terpapar, dan akses yang adil bagi semua negara.
Kita memahami bahwa banyak sekali kekhawatiran kemungkinan distribusi vaksin yang terbatas akan dikuasai negara maju. Kita mengajak negara berkembang, agar akses dan distribusi ini bisa adil bagi semua negara,” ujar Acep.
Acep menambahkan, kerja sama Indonesia dan China dalam penanganan virus corona sampai saat ini sangat baik. Indonesia, kata Acep, termasuk negara pertama yang diberi tahu oleh China pada tanggal 1 Januari 2020, terkait adanya wabah ini. Sejak saat itu pula, ada peningkatan kesiapsiagaan di dalam negeri, khususnya di pintu masuk, dan layanan kesehatan. Indonesia juga bekerja sama dengan China, dalam evakuasi WNI dari negara itu.
“China banyak membantu kita untuk memenuhi kebutuhan logistik seperti APD, masker, ventilator bahkan juga reagen kit, sampai saat ini masih dapat bantuan dari China. Juga joint production, beberapa APD yang kita hasilkan, bahan bakunya dipasok dari China. Saat ini yang kita kembangkan riset penemuan vaksin, dan nanti kita harapkan upscalling-nya kalau sudah ditemukan. Kerja sama ini penting, karena China punya pengalaman penanganan COVID-19. Kita memerlukan pengalaman China,” ujar Acep. [ns/ab]