Tautan-tautan Akses

Pers di Indonesia Mengalami Kemajuan Luar Biasa dari Sebelumnya


Sejumlah jurnalis saat mengikuti aksi May Day 2019. (Courtesy: Twitter AJI Indonesia)
Sejumlah jurnalis saat mengikuti aksi May Day 2019. (Courtesy: Twitter AJI Indonesia)

Menjelang Hari Kebebasan Pers Dunia pada tanggal 3 Mei lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkapkan kondisi kebebasan pers di Indonesia yang dinilainya belum membaik.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan dalam acara diskusi daring “Ethics and Freedom of the Press” belum lama ini mengatakan bahwa kebebasan pers di Indonesia belum tumbuh seperti diharapkan karena masih adanya sistem yang korup yang membuat lembaga negara tak berfungsi dengan baik, kemiskinan yang masih menjerat kalangan wartawan, dan masih adanya iklim ketakutan akan terjadinya kekerasan atau ancaman fisik maupun non-fisik.

Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan, Kamis 30 April 2020. (Foto: screengshot)
Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan, Kamis 30 April 2020. (Foto: screengshot)

Mengenai kekerasan, AJI mencatat bahwa setidaknya ada 53 kasus kekerasan jurnalis yang terjadi sepanjang Mei 2019 hingga Mei 2020. Jenis kekerasan terbanyak berupa kekerasan fisik sebanyak 18 kasus, disusul perusakan alat atau data hasil liputan 14 kasus dan ancaman kekerasan atau teror delapan kasus.

Sementara itu, menurut lembaga pemantau Reporters Without Borders atau Wartawan Tanpa Tapal Batas (RSF), Indeks Kebebasan Pers Indonesia masih berada pada peringkat 119 pada 2020, sehingga jauh di bawah Timor Leste yang menempati posisi 78 dan Malaysia 101.

Kebebasan pers atau kebebasan berekspresi di Indonesia belum sepenuhnya berkembang. Namun, menurut seorang guru besar media Amerika, yang telah mengamati perkembangan pers di Indonesia selama hampir seperempat abad, Indonesia telah mengalami kemajuan pesat dalam kebebasan pers dibandingkan dengan masa sebelum era reformasi.

Dr. Janet Steele, Profesor Jurnalistik, George Washington University.
Dr. Janet Steele, Profesor Jurnalistik, George Washington University.

Janet Steele, Ph.D. adalah guru besar media dan hubungan publik dan hubungan internasional sekaligus direktur Institute for Public Diplomacy and Global Communication di George Washington University di Washington, D.C. Profesor Steele mengenang masa sebelum reformasi ketika kebebasan pers dan kebebasan berekspresi sangat dikontrol oleh penguasa.

“Seperti semua orang tahu, di bawah Suharto, media, jurnalisme, pers di Indonesia sangat dikontrol oleh pemerintah. Ada banyak peraturan, undang-undang pers yang sangat kaku dan keras. Para wartawan kurang bebas untuk menulis dengan baik tentang banyak hal dan ini tidak baik untuk masyarakat Indonesia karena masyarakat perlu informasi yang benar dari jurnalisme supaya mereka tahu apa yang sedang terjadi,” jelasnya.

Pers di Indonesia Mengalami Kemajuan Luar Biasa dari Sebelumnya
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:30 0:00

Profesor Steele menambahkan, sesudah Presiden Suharto lengser, semuanya berubah dengan cepat, termasuk adanya upaya membuat undang-undang pers baru yang katanya “luar biasa karena dengan itu sekarang pemerintah tidak bisa campur tangan dengan media massa, terutama media massa cetak, dan ini merupakan perubahan yang sangat penting dan sangat mendasar dalam sistem yang demokratis.”

Mengenai kebebasan pers di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN, Profesor Steele menyatakan bahwa Indonesia bisa menjadi panutan dalam kebebasan pers, terutama dengan diloloskannya Undang-Undang Pers Tahun 1999.

Sejumlah jurnalis mengenakan masker di lingkungan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, meski dipastikan tidak ada kasus virus corona. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Sejumlah jurnalis mengenakan masker di lingkungan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, meski dipastikan tidak ada kasus virus corona. (Foto:VOA/ Nurhadi)

“Saya sangat terkesan dengan Undang-Undang Pers Tahun 1999 karena saya kira banyak negara di Asia Tenggara sangat tertarik dengan undang-undang pers itu juga. Misalnya, ketika saya di Malaysia sesudah Pakatan Harapan menang pemilu, cukup banyak diskusi tentang bagaimana undang-undang pers Malaysia bisa diubah supaya lebih seperti Indonesia,” imbuhnya.

Selain itu, Profesor Steel mengatakan bahwa Dewan Pers sangat penting di Indonesia, dan sudah dijadikan model atau ditiru oleh cukup banyak negara di Asia Tenggara. Dia memberikan contoh bagaimana insan pers di Timor Leste, dan demikian pula dengan kalangan pers Malaysia, sangat tertarik dengan Dewan Pers Indonesia.

Sekelompok wartawan di Posko Liputan Covid-19 Sulawesi Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, 29 Maret 2020. (Foto: Sugi Efendy)
Sekelompok wartawan di Posko Liputan Covid-19 Sulawesi Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, 29 Maret 2020. (Foto: Sugi Efendy)

“Ada orang-orang dari Dewan Pers Indonesia sudah pergi ke Dili dan membantu mendirikan dewan pers di sana, dan sama dengan Malaysia. Teman-teman wartawan di Malaysia diberi nasihat dari anggota Dewan Pers Indonesia. Saya kira peran Indonesia penting sekali di Asia Tenggara…Pers di Malaysia masih sangat diatur oleh pemerintah, masih ada licensing (perizinan), masih ada sedation (pemberangusan), masih ada defamation law (undang-undang tentang pencemaran nama baik) yang kurang baik, hal-hal yang sudah dihapus di Indonesia. Jadi seperti saya selalu katakan, ‘sampai undang-undang diubah, pers belum berubah, dan saya merasa sangat sedih dengan situasi di Malaysia," jelasnya.

Dr. Steele menambahkan bahwa di Indonesia ada sementara pihak yang prihatin dengan fake news (berita bohong) karena ada orang yang dengan sengaja menciptakan hoaks. Namun, dia mengatakan terkesan dengan beberapa lembaga di Indonesia yang berusaha memaparkan berita yang tidak benar atau bohong. [lt/jm]

Recommended

XS
SM
MD
LG