Pemerintah memutuskan Kartu Prakerja hanya dapat dibuat secara daring. Masalahnya, banyak pencari kerja dari pedesaan tidak bisa melakukannya, karena ketidakmampuan dan, atau, karena ketiadaan akses ke internet. Tidak perlu membayangkan wilayah pedalaman NTT, Kalimantan, Maluku atau Papua. Kondisi itu bahkan juga terjadi di Yogyakarta.
Dani Eko Wiyono, Ketua Konwil Yogyakarta Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) menceritakan, kondisi itulah yang mendorong mereka membuka posko Kartu Prakerja. Tujuannya, membantu pencari kerja dari pedesaan mengakses kartu itu. Sayang, banyak pendaftar yang gagal tanpa diketahui alasannya. Dinas Tenaga Kerja setempat juga tidak bisa menjelaskan kondisi ini.
“Sampai saat ini advokasinya baru sampai disitu. Kalau kita mau menggugat, kita juga belum tahu bagaimana caranya menggugat pemerintah,” kata Dani.
Dani menyampaikan itu dalam diskusi daring "Problematika Kartu Prakerja: Menuju Kebijakan Kartu Prakerja yang Inklusif". Diskusi diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada, Selasa 9 Juni 2020. Diskusi ini sekaligus menjadi ajang pemaparan hasil penelitian mengenai Kartu Prakerja oleh tim dari fakultas tersebut.
Cegah PHK Lebih Penting
Iswan Abdullah dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut, organisasi pekerja ini sebenarnya setuju dengan program Kartu Prakerja. Yang mereka tolak, adalah penyelenggaraan pelatihan daring di dalam program tersebut, karena dinilai tidak tepat dan membuat Kartu Prakerja sendiri menjadi tidak efektif. Jika ada pelatihan daring, KSPI meminta sifatnya gratis.
Indonesia perlu menjaga pertumbuhan ekonomi di era pandemi saat ini. Karena itulah, KSPI menurut Iswan, merekomendasikan upaya maksimal pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Untuk menjaga konsumsi dan membuat ekonomi terus bergerak, mencegah PHK lebih penting dibanding program Prakerja.
“Cegah PHK dulu, Kartu Prakerja setelahnya. Begitu seharusnya. Harus ada langkah maksimal dan optimal dari pemerintah, agar cegah terjainya PHK, dimana saat ini PHK sudah terjadi dimana-mana,” kata Iswan.
KSPI sendiri mencatat sektor pariwisata dan turunannya seperti perhotelan menjadi yang pertama melakukan PHK selama pandemi ini. Di sektor manufaktur, PHK memang belum terjadi besar-besaran, tetapi banyak perusahaan tidak memperpanjang skema kontrak bagi pekerja. Ada pula langkah mempercepat penyelesaian kontrak yang sebenarnya masih tersisa. Bagi pekerja tetap, sejauh ini masih aman. Tantangan sektor ini, kata Iswan adalah karena 80 persen bahan bakunya impor, dan terjadi kesulitan mendatangkannya.
Selain itu, untuk menjaga daya beli masyarakat yang merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi, KSPI juga memandang bantuan tunai lebih penting dari Kartu Prakerja. Para pekerja yang di PHK dan membutuhkan biaya konsumsi bulanan, dapat mengakses dana ini.
Lebih jauh, jika kondisi lebih baik, alokasi dana Kartu Prakerja juga bisa dialihkan ke program lain yang nyata dan lebih bermanfaat. Iswan memberi contoh, pemerintah bisa menyuntikkan dana ke sektor pendidikan agar lulusan sekolah lebih siap memenuhi tuntutan industri. Selain itu, Indonesia juga sudah memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) di setiap daerah yang dapat direvitalisasi perannya untuk meningkatkan kemampuan pencari kerja.
“Perusahaan sendiri selalu memberi pelatihan. Tidak mungkin lulusan langsung kerja. Industri ada pelatihan sendiri dan belum tentu online training ini dibutuhkan oleh industri,” tegas Iswan.
Desain Butuh Banyak Perbaikan
Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (DPSK) Fisipol UGM telah melakukan penelitian mendalam terkait kebijakan Kartu Prakerja melalui sebuah tim. Hempri Suyatna, salah satu anggota tim peneliti, menguraikan hasil kajian mereka dalam diskusi daring tersebut.
Secara ide, kata Hempri, Kartu Prakerja sebenarnya cukup baik dan pernah diterapkan di negara-negara Eropa pada era 90-an. Program ini menjadikan pekerja relatif aman dan fleksibel, karena ketika dia kehilangan pekerjaan, dia dapat belajar keahlian lain dan masuk ke pasar kerja yang berbeda.
Dalam konteks penerapannya di Indonesia, tim peneliti di UGM mencatat setidaknya ada sembilan kelemahan Kartu Prakerja. Pertama, kata Hempri, adalah banyaknya materi pelatihan yang tidak sesuai kebutuhan, misalnya memancing, pengelolaan masjid sampai memasak. Masalah kedua adalah ketimpangan akses digital. Seluruh proses pelatihan dalam kartu Prakerja dilakukan secara daring. Di Jakarta, menurut data Kemenkominfo, kecepatan akses internet bisa mencapai 10 Mbps. Sementara banyak wilayah di Maluku dan Papua yang hanya mencatat angka 300 Kbps.
Masalah ketiga yang ditemukan tim peneliti, adalah kenyataan bahwa materi pelatihan Prakerja sebenarnya tersedia secara gratis di internet.
“Bagaimana mungkin, pelatihan yang bisa kita unduh di Youtube dan sebagainya, yang bisa dilatih secara otodidak atau belajar dari teman, tetapi ditawarkan di Kartu Prakerja, ini yang jelas tidak efektif,” kata Hempri.
Masalah keempat, adalah karena program di era pandemi yang kurang sinkron untuk ikut mengatasi dampak pandemi itu sendiri. Dana Prakerja semestinya bisa direalokasi untuk bantuan sosial atau kegiatan pemulihan ekonomi. Kelima, desain program ini juga dinilai bias kelas menengah karena sepenuhnya berbasis daring. Sedang problem keenam adalah faktor ekonomi politik yang menyertainya. Kartu Prakerja dikhawatirkan menjadi arena pertarungan aktor ekonomi politik yang dekat dengan kekuasaan.
Sedangkan masalah ke delapan dalam catatan tim peneliti, adalah evaluasi kompetensi. Tidak ada upaya untuk mengevaluasi apakah peserta akan memiliki keahlian seperti yang dipelajarinya. Dampak lanjutannya, perusahana diperkirakan ragu merekrut lulusan program ini karena kemampuannya tidak teruji. Semua bermuara ke masalah kesembilan, yaitu penyerapan tenaga kerja. Tidak hanya soal kemampuan peserta pelatihan, pandemi juga mengakibatkan PHK, dan bukannya rekrutmen pekerja.
Beberapa rekomendasi yang diberikan tim peneliti adalah menghapus bias program, sehingga tidak menyulitkan mereka yang miskin dan berada di luar Jawa. Perbaikan materi juga perlu dilakukan, disamping metode evaluasi kemampuan peserta pelatihan. Sasaran Kartu Prakerja juga harus diperjelas, apakah mereka angkatan kerja baru ataukah pekerja yang terkena PHK karena pandemi ini.
“Jangan sampai alumni program ini menganggur. Harus dipikirkan bagaimana kemampuan industri melakukan penyerapan tenaga kerja dari alumni Kartu Prakerja,” tambah Hempri.
Kartu Prakerja sendiri adalah janji politik Jokowi dalam kampanye pemilihan presiden 2019. Dalam program ini, pemerintah memberikan bantuan tunai Rp 3,55 juta kepada setiap peserta. Dari jumlah itu, Rp 1 juta harus dibelanjakan dlam pelatihan daring. Penyedianya adalah 8 perusahaan yang ditunjuk sepihak pemerintah tanpa tender. Sedangkan Rp 2,55 juta diberikan sebagai bantuan kepada peserta. Pemerintah menarget 5,6 juta peserta dengan total anggaran Rp 20 triliun hingga akhir 2020. [ns/ab]