Keputusan Gubernur tentang Protokol Kesehatan untuk Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Lingkungan Pondok Pesantren itu baru disahkan pada 11 Juni dan langsung direvisi pada 15 Juni.
Sekretaris Gugus Tugas Covid-19 Jabar, Daud Achmad, mengatakan Gubernur Jabar Ridwan Kamil telah mendengar masukan dari berbagai pihak.
“Pak Gubernur tentunya mendengarkan aspirasi-aspirasi, suara-suara ini. Dan sesuai juga dengan teorinya, kebijakan publik itu dinamis, dikeluarkan pasti ada yang pro ada yang kontra. Kemudian dia berjalan dievaluasi, kalau ada yang memang lebih baik, ini berubah,” terangnya kepada wartawan.
Daud menegaskan protokol kesehatan itu diterbitkan semata-mata untuk melindungi lingkungan pesantren. Dia mengatakan, Pemprov berharap pesantren tidak menjadi klaster baru dalam penyebaran Covid-19.
“Dan juga melindungi para pihak yang ada di pesantren. Para kyai, santri, ustadz, ustadzah, para tamu juga yang banyak berunjung ke banyak pesantren yang tersebar di Jabar ini,” tandasnya.
Data Kementerian Agama menunjukkan, ada 8.300-an pesantren di Jawa Barat, terbanyak di Indonesia, disusul Banten dan Jawa Timur.
Dua Poin Dihapus, Satu Berubah
Asisten Pemerintahan, Hukum dan Kesejahteraan Sosial Setda Jabar, Dewi Sartika, menyatakan sejumlah poin terkait protokol kesehatan telah dihapus dan diubah.
Poin pertama yang dihilangkan adalah soal surat kesehatan bagi para penghuni dan pengurus santri. “Poin 'Kyai, santri, asatidz, dan pihak lain harus menunjukkan surat keterangan sehat dari dinas kesehatan/puskesmas kabupaten/kota asal, itu dihilangkan,” ungkap Dewi dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, surat pernyataan kesanggupan ponpes telah menghilangkan poin soal 'kesediaan menerima sanksi'. “Poin ‘Bersedia dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan dalam hal terbukti melanggar protokol kesehatan penanganan Covid-19' itu dihilangkan,” jelasnya.
Dalam pernyataan resminya, Pemprov Jabar menyatakan bahwa format surat pernyataan bukan norma yang bersifat mengikat. Namun, apabila 'terjadi pelanggaran’ sanksi tetap diberlakukan dalam koridor administratif, berupa teguran lisan atau tertulis.
Surat pernyataan kesanggupan diajukan kepada Gugus Tugas Covid-19 kabupaten/kota masing-masing pesantren sebelum pengurus ponpes membuka kembali fasilitas pendidikan tersebut.
Di samping poin yang dihapus, satu poin penting diubah. Dalam surat pernyataan, pesantren diminta bersedia menyediakan sarana dan prasarana yang wajib terkait Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di ponpes. Status sarana itu kini berubah dari ‘wajib' menjadi ‘perlu’.
Dalam versi terbaru, Protokol Kesehatan di Ponpes ini berisi 15 protokol kesehatan umum, lima protokol kedatangan kiai, santri, asatidz, dan pihak lain, tujuh protokol di masjid, sembilan protokol di tempat belajar, 14 protokol di penginapan santri, sembilan protokol di tempat makan, delapan protokol di kantin, dan tiga protokol jika ada indikasi Covid-19 di pesantren.
Ponpes Keluhkan Sumber Daya
Rancangan Protokol Kesehatan Ponpes ini telah disosialisasikan pada 6 Juni kepada kalangan pesantren. Saat itu, Wakil Gubernur Jabar UU Ruzhanul Ulum meminta masukan dari kalangan 59 perwakilan pengurus ponpes se-Jabar. Dalam pertemuan virtual itu, beberapa perwakilan pesantren menyampaikan bahwa tidak semua ponpes mampu memenuhi protokol, terutama terkait biaya.
Usai menerbitkan protokol kesehatan yang baru, Uu mengatakan pemprov akan berupaya membantu pengadaan alat-alat kesehatan. Sementara untuk bantuan tunai, dirinya mengatakan hal itu masih dalam tahap pembahasan. "Antara lain kami menyediakan masker, hand sanitizer, vitamin, tenaga kesehatan, bahkan rapid test. Pesantren bisa mengajukan permintaan bantuan ketika sudah siap melakukan SOP. Untuk bantuan uang, kami masih bahas," kata Uu dalam pernyataan tertulis.
UU sebelumnya juga sudah meminta pemerintah kabupaten/kota juga ikut membantu pesantren di wilayah masing-masing. [rt/em]