Komisi Nasional HAM Perwakilan Papua menyimpulkan ada tindakan kekerasan berlebihan dalam kasus kematian Marius Betera, seorang petani di kawasan perkebunan sawit milik Korindo Group di Kabupaten Boven Digul, Provinsi Papua.
Marius meninggal pada 16 Mei lalu, setelah bertikai dengan seorang anggota polisi, yang bertugas di kawasan perusahaan itu.
Frits Ramandey dari Komnas HAM Papua menjelaskan kepada VOA bahwa hasil penyelidikan komisi menunjukkan ada tindakan kekerasan berlebihan dari oknum anggota polisi.
"Walaupun dia (Marius Betera.red) ada memegang busur, dia tidak memberi ancaman kepada anggota kepolisian yang ada di dalam areal wilayah perusahaan itu,” papar Frits Ramandey.
Membawa busur atau parang adalah kebiasaan bagi warga Papua, terutama petani, ketika mereka pergi ke ladang. Konteks adat seperti ini, kata Frits, harus dipahami oleh aparat keamanan, terutama yang berasal dari luar Papua.
Kekerasan Bukan Sebab Kematian
Meski memastikan adanya kekerasan oleh oknum kepolisian, Komnas HAM Papua dalam rekomendasi menyebut tidak ditemukan bukti yang menunjukkan atau menguatkan kematian Marius Betera disebabkan kekerasan yang dialaminya.
Kesimpulan kedua ini didasarkan pada surat keterangan hasil visum yang dikeluarkan Klinik POP A Camp 19. Dokter klinik tidak menyimpulkan bahwa kematian Marius karena kekerasan. Belum ada rincian lebih jauh tentang penyebab kematian Marius.
VOA menanyakan kepada Frits, apakah klinik tersebut milik Korindo Group, dan dia membenarkan. Frits juga mengatakan, telah meminta Kapolda Papua menindak oknum polisi yang telah melakukan kekerasan.
Selain itu, dalam butir kedua rekomendasi, Komnas HAM Papua meminta Kapolda untuk meninjau ulang keberadaan pos polisi di wilayah perusahaan. Menurut Frits, pos itu tidak memadai dari aspek infrastruktur dan penempatan personel.
Komnas HAM Papua meminta Kapolres Boven Digul melakukan kontrol dan pembinaan secara periodik bagi anggota polisi yang ditempatkan di areal perusahaan. Aparat harus melakukan tindakan sesuai prosedur kepolisian, menjunjung tinggi profesionalisme serta sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip HAM.
“Dalam pandangan kami, aparat itu cenderung menempatkan dari sebagai bagian dari manajemen perusahaan. Ini yang salah. Dia seharusnya menempatkan diri sebagai aparat negara yang melaksanakan fungsi sebagai fasilitator dan mediator untuk para pihak,” ujar Frits.
Selain itu, butir keempat rekomendasi menyebut, perlunya pertemuan seluruh pihak terkait dalam persoalan ini, tidak hanya dalam kasus Marius Betera. Pertemuan harus digelar melibatkan Pemda Boven Digul, Pemda Merauke, korporasi di kedua kabupaten itu, pemangku hak ulayat, tokoh agama dan tokoh adat. Komnas HAM akan mengambil bagian dalam pertemuan itu untuk memastikan seluruh perusahaan yang berinvestasi, berkontribusi bagi pemilik hak ulayat dan masyarakat.
Komnas HAM dalam rekomendasinya juga meminta Korindo Group menerapkan mekanisme dan prinsip HAM dalam pengelolaan usaha. Perusahaan ini didorong melakukan pendidikan dan pelatihan bagi petugas keamanan di lingkungan perusahaan.
Komnas HAM dapat memfasilitasi pelatihan itu, seperti yang dilakukan kepada sejumlah perusahaan lain di Papua. Diklat serupa juga penting diberikan kepada aparat keamanan yang ditugaskan di Papua, terutama yang baru saja datang dari luar pulau itu, agar memahami kondisi sosial dan adat istiadat masyarakat setempat.
Korindo Pastikan Tak Terkait
Dihubungi terpisah oleh VOA, General Manager Palm Oil Division and ESG Department, Luwy Leunufna, menyambut usulan Komnas HAM untuk melakukan pertemuan para pihak. Dia ingin memastikan kejadian ini tidak terulang lagi.
“Kami segera melakukan pelatihan kepada seluruh karyawan, agar mereka bisa memahami secara pengetahuan, kemudian mereka dapat melakukan implementasi, bagaimana bekerja dengan prinsip-prinsip HAM dalam bisnis, agar hal ini tidak terulang lagi,” kata Luwy.
Sebagai tindak lanjut, Luwy juga mengatakan Korindo tengah menjalin komunikasi dengan sejumlah pihak yang memiliki kemampuan pemetaan potensi konflik. Korindo ingin memetakan potensi konflik yang ada secara menyeluruh. Dengan demikian, perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal Korea Selatan ini berharap, aksi kekerasan seperti yang terjadi terhadap Marius tidak terjadi lagi.
Korindo Group telah beroperasi di Papua sejak 1997. Ada lima anak perusahaan di bawah grup ini, dengan luas Hak Guna Usaha (HGU) 50 ribu hektar. PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo Group di Boven Digul, tempat insiden terjadi, memiliki luas lahan 14 ribu hektar. Ada sekitar 5 ribu jiwa beraktivitas di kawasan perkebunan ini, dengan setidaknya 3 ribu di antaranya adalah pekerja dewasa
Luas lahan dan jumlah warga yang ada di dalamnya ini, menjadi alasan adanya aparat keamanan negara yang ditugaskan di area perkebunan. Menurut Luwy, aparat keamanan yang ada disana merupakan bentuk kehadiran negara.
Ada banyak persoalan, terutama antarindividu masyarakat yang membutuhkan kehadiran polisi untuk menyelesaikannya. Perkebunan sawit di Papua juga dilabeli sebagai objek vital, sehingga kepolisian menempatkan tenaga pengamanan.
Apa yang disampaikan Luwy dibenarkan Frits Ramandey. Karena pemerintah menetapkan berbagai perusahaan yang berinvestasi di Papua sebagai obyek vital, da petugas yang dikirim untuk menjaga keamanan. Pola tersebut tidak hanya untuk Korindo Group, tetapi juga berbagai perusahaan lain di Papua.
Terkait Marius Betera, Luwy menegaskan bahwa yang bersangkutan sebelumnya adalah petugas keamanan di Korindo Group. Sembilan bulan lalu, Marius mengundurkan diri dari pekerjaan, tetapi tetap menempati rumah di area perkebunan. Untuk berkegiatan, Marius yang merupakan warga Tanah Merah, menanam pohon pisang di tepi kebun sawit blok 717-718. Rusaknya tanaman inilah yang menjadi pangkal perselisihan dengan oknum polisi.
“Blok 717-718 itu kebun sawit tahun tanam 1998, sampai sekarang berarti sudah usia tanam 22 tahun. Karena itu, tuduhan bahwa Korindo Group melakukan okupansi atau pengambilan lahan masyarakat untuk melakukan pengembangan lahan baru, itu sama sekali tidak ada. Yang kita lakukan adalah pembersihan untuk akses panen saja,” kata Luwy.
Luwy menambahkan, Komnas HAM telah menyelidiki kasus ini, dan bertemu seluruh pihak terkait. Korindo Group sendiri mengapresiasi langkah itu. Akses sepenuhnya telah diberikan, untuk mengimbangi pernyataan sejumlah LSM yang, menurut Luwy, membangun opini seolah-olah Korindo melakukan pelanggaran HAM.
“Kami ingin mengklarifikasinya, tetapi kami tidak ingin melakukan self-declare. Kami ingin ada badan yang independen, supaya semua pihak bisa menerima hal itu,” tambah Luwy. [ns/em]