Gambaran tentang sebuah keluarga, secara umum terdiri dari orangtua dan anak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, ada sebagian kecil keluarga yang menerima kehadiran sosok anak berbeda di tengah mereka. Sosok yang di tengah masyarakat Indonesia dikenal sebagai waria.
Dosen Fakultas Psikologi, Unika Soegijapranata Semarang, Lita Widyo Hastuti menyebut, sebuah keluarga yang peka, akan mampu melihat sosok yang dalam proses tumbuh kembangnya berbeda sejak kanak-kanak. Meski begitu, dalam mayoritas kasus, apa yang terlihat itu terabaikan. Apalagi anak-anak yang masih kecil belum mampu menjadi dirinya sendiri. Barulah, pada usia cukup mereka berubah dan respon keluarga mulai nampak.
“Karena perasaan makin kuat, sementara di sisi lain orang tua melihat bahwa, iya ada bagian dari keluarga yang ternyata tidak sama seperti harapan masyarakat pada umumnya. Kemudian muncullah penolakan, kemudian dibarengi dengan konflik kecil-kecilan sampai dengan konflik yang lebih besar,” kata Lita.
Lita menyampaikan itu dalam acara "Ngobrol Asik: Keberagaman dalam Keluarga", Rabu (29/7). Acara ini merupakan bagian dari "Gelar Budaya: Gerakan Kebudayaan Untuk Reduksi Stigma Dan Diskriminasi Pada Waria". Acara selama tiga hari sejak Senin (27/7) ini diselenggarakan oleh PKBI DIY dan Aliansi Waria Peduli Yogyakarta (AWPY), Program Peduli dan The Asia Fondation. Setiap sore selama tiga hari, sejumlah waria Yogyakarta menggelar berbagai aksi seni yang disiarkan secara daring, sementara diskusi diselenggarakan disela-sela pementasan itu.
Lita berbicara dalam sesi diskusi hari ketiga, yang membahas mengenai kehadiran waria di tengah keluarga. Menurut Lita, ada dua sumber dukungan sosial bagi waria. Dukungan pertama adalah keluarga sebagai wilayah asal waria tumbuh kembang sejak kecil. Dukungan sosial kedua diperoleh dari lingkungan sekitar, yang pada umumnya datang dari kawan-kawan sesama waria karena dinilai paling memahami kondisi diri mereka.
Sayangnya, keluarga sebagai sumber dukungan pertama, mayoritas justru memberikan penolakan paling awal. Tata nilai masyarakat, kata Lita, yang memegang norma dan nilai, membuat keluarga memberikan reaksi negatif ketika menyadari salah satu anak berbeda.
“Tidak jarang, kawan-kawan waria mendapati kekerasan awalnya dari keluarganya sendiri. Kalau diskriminasi dan stigma dari lingkungan sosial, kita sudah paham. Tapi, tidak jarang muncul dari keluarga sendiri karena orang tua tidak cukup kuat hati untuk menerima anaknya,” kata Lita.
Kekerasan verbal, emosional bahkan fisik muncul ketika anak mulai menunjukkan identitas sebagai waria. Misalnya, orang tua mulai mempertanyakan pilihan pakaian anak. Komentar mengenai perilaku kemudian juga akan muncul. Tidak jarang, waria anak ini akan dijauhkan dari aktivitas keluarga besar. Pada titik tertentu, lanjut Lita, ada juga yang dipaksa untuk menikah.
Jika tindakan ini dilakukan terus menerus, maka waria akan merasa kehilangan cinta di tengah keluarga. Dia akan kehilangan sumber dukungan, merasa ditolak dan ditinggalkan. Padahal, lanjut Lita, penerimaan dan respon positif dari keluarga akan menumbuhkan harga diri anggota keluarga tersebut. Penerimaan keluarga dapat membuat waria memiliki kesehatan fisik dan mental lebih baik dan terhindari dari depresi serta resiko percobaan bunuh diri. Lita menyebut, penelitian mengungkap bunuh diri banyak terjadi pada waria dan kelompok LGBT secara umum.
Waria Bukan Pilihan
Arif Nur Safri, ustadz di Pondok Pesantren waria Al-Fatah, Yogyakarta menyebut, menjadi waria bukanlah sebuah pilihan. Guru agama ini sangat dekat dengan komunitas waria dan mendampingi mereka dalam aktivitas keagamaan. Waria, kata Arif, telah mengalami kekerasan sejak kecil, ketika mereka mulai menyadari identitas dirinya.
Waria biasanya kemudian terusir dari rumah. Karena itu, mereka tidak memiliki kartu identitas dan menjadi warga ilegal di negeri sendiri. Konflik adalah sesuatu yang sangat biasa mereka hadapi. Mereka tidak menerima hak sebagai warga negara dan warga masyarakat pada umumnya, sulit mencari pekerjaan, dan disingkirkan masyarakat. Karena itu, menurut Arif, menjadi waria bukan pilihan. Tidak ada yang akan mampu berada dalam tumpukan konflik semacam itu hingga berusia tua, jika memang ada pilihan lain.
“Saya pikir, enggak ada yang mau konflik sekian puluh tahun. Ada yang diusir dari rumah, ada yang dikucilkan dengan atas nama agama tadi, kemudian tetap dan kuat mengatakan bahwa dia adalah waria. Ada hal-hal yang harus kita pahami dari teman-teman waria ini, yang memang harus kita komunikasikan dalam dialog secara arif dan bijaksana,” kata Arif dalam diskusi yang sama.
Pengalaman Arif mendampingi aktivitas keagamaan waria selama ini membuatnya lebih memahami waria. Banyak pemahaman keliru di masyarakat mengenai sebab seseorang menjadi waria. Ada yang meyakini, waria muncul karena anak laki-laki tumbuh di tengah keluarga yang mayoritas perempuan. Arif mengatakan, waria juga muncul di tengah keluarga mayoritas laki-laki yang penuh kedisiplinan. Waria juga bisa tumbuh di tengah keluarga harmonis, tokoh masyarakat, bahkan anak dari tokoh agama.
“Jadi justru PR kita adalah bagaimana memahamkan. Iya, memang kenapa kalau ada waria dalam keluarga kita. Apa yang salah?,” kata Arif.
Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), Kusuma Ayu mengajak seluruh waria untuk terus berupaya menjadi setara dan bermartabat sama dengan masyarakat. Tidak hanya tampil cantik dan pintar, kata Ayu, waria juga harus menyatu dan berguna bagi masyarakat.
“Kita juga membutuhkan masyarakat, kita membutuhkan dukungan keluarga dan orangtua. Dukungan itu dibutuhkan untuk kita menjadi setara dan semartabat, dan dukungan itu akan mendukung perjuangan kita ke pemerintah,” kata Kusuma.
Sementara Direktur PKBI DIY, Mashoeroel Noor Poedjanadi mengatakan, pendekatan kebudayaan untuk menghapus stigma bagi waria diambil, karena sebenarnya waria telah ada di tengah masyarakat Indonesia. Banyak produk budaya tradisional yang mengakui keberadaan mereka. Mashoeroel memberi contoh, di Banyumas, Jawa Tengah ada kesenian Lengger Lanan dan di Jawa Timur terdapat Ludruk. Karya sastra lama, Serat Centhini juga memunculkan tokoh-tokoh waria di dalam ceritanya.
“Melalui gelar budaya ini, selain menunjukkan kreatifitas teman waria, juga menunjukkan bahwa mereka ada dalam kebudayaan Nusantara, ada dalam sejarah Nusantara, dan mereka dulu diterima. Tetapi, kok sekarang menjadi cenderung ditolak,” papar Mashoeroel.
Sedangkan Abdi Suryaningati dari The Asia Foundation yang mendukung acara ini menggarisbawahi peran waria di masyarakat. Bahkan di tengah pandemi ini, waria di Yogyakarta tetap aktif dalam gerakan sosial membantu sesama. Kepedulian sosial kelompok waria di tengah diskriminasi, kekerasan dan stigma yang menimpa mereka, kata perempuan yang akrab dipanggil Yeni ini, patut memperoleh penghargaan.
“Acara ini bisa menjadi tonggak untuk memulai langkah bersama yang lebih solid, untuk menghentikan diskriminasi dan stigma, serta memberi dukungan kepada waria, sebagai bagian dari warga negara Indonesia, yang memiliki hak berkehidupan, hak berkarya, hak berkreasi, dan hak membangun relasi setara, dengan masyarakat Indonesia lainya,” kata Yeni. [ns/ab]