Perintah tinggal di rumah mungkin telah memperlambat penyebaran Covid-19, tapi mungkin juga meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Herat.
Marzai Akbari, seorang psikolog mengatakan sebagian pasien yang ditanganinya sebelum pandemi, tak pernah kembali lagi.
"Dulu kami mengadakan pertemuan tatap muka di rumah sakit dengan para perempuan yang mengalami kekerasan, tapi karena virus corona, kami kehilangan kontak. Sejumlah perempuan melakukan konsultasi lewat telepon, tapi kami kehilangan kontak dengan sebagian perempuan lainnya," kata Marzai Akbari.
Menurut catatan di Provinsi Herat, jumlah laporan kasus KDRT berkurang. Namun, pejabat isu-isu perempuan mengatakan ada keterlambatan dalam pelaporan kasus. Seperti dijelaskan Lida Shareq, Direktur Isu-isu Hukum Perempuan di Provinsi Herat.
"Kami mencatat jumlah kasus yang rendah di kalangan perempuan. Kami dulu menerima 10 pengaduan dan kini hanya dua atau tiga kasus. Alasannya karena laki-laki tinggal di rumah dan mereka tidak mengijinkan perempuan untuk melaporkan kekerasan," kata Lida Shareq.
Dr. Arif Jalali, kepala rumah sakit di Herat mengatakan selama karantina wilayah sebulan akibat virus corona, terdapat sekitar 100 usaha bunuh diri dan pelaporan kekerasan, yang sebagian besar terjadi di kota Herat.
"Orang-orang takut datang ke rumah sakit. Kita dulu punya banyak pasien. Kita dulunya punya 700 tempat tidur, tapi sekarang hanya 300. Kami menerima 20 kasus perempuan dianiaya, dan ada sekitar 75 perempuan yang melakukan upaya bunuh diri, baik secara sengaja atau karena diracun," kata Arif Jalali.
Banyak pakar yakin bahwa perintah tinggal di rumah telah meningkatkan ketegangan. Selain itu, kerugian ekonomi yang dialami banyak bisnis juga menjadi alasan utama di balik meningkatnya KDRT terhadap perempuan selama karantina. [vm/ii]