Komisioner Komnas HAM, Beka Hulung Hapsari mengecam ketidakadilan dan tindakan penggusuran disertai kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum bersama pemerintah setempat terkait konflik hutan adat Pubabu di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT.
"Kekerasan dan penggusuran itu mencederai prinsip-prinsip HAM yang sudah ada dalam konstitusi kita. Kami juga meminta kepada gubernur untuk menangguhkan atau menghentikan sementara aktivitas penggusuran dan pembongkaran hak milik yang dilakukan Pemprov NTT kepada masyarakat adat Pubabu," kata Beka dalam konferensi pers secara daring, Kamis (13/8).
Beka menjelaskan Komnas HAM telah menyurati Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, terkait dengan tindakan kekerasan yang dialami masyarakat adat Pubabu. Dalam surat itu Komnas HAM menyebutkan bahwa pihaknya telah menerima laporan aduan dari masyarakat adat Pubabu pada Jumat 7 Agustus 2020, atas tindakan represif aparat penegak hukum dan pemerintah setempat.
Konflik lahan antara masyarakat adat Pubabu dengan Pemprov NTT ternyata bukan terjadi pada tahun ini saja. Kasus ini bermula dari proyek percontohan intensifikasi peternakan di wilayah hutan adat Pubabu tahun 1982. Kemudian terdapat beberapa peristiwa pelanggaran baru, pada tahun 2012 dan 2017, yaitu penggusuran yang sangat berdampak bagi warga di sana.
"Komnas HAM sudah mengirim surat dan juga disertai rekomendasi, pada pokoknya kami meminta Gubernur NTT mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan NTT," ujar Beka.
Dalam kasus kekerasan yang dialami masyarakat adat Pubabu. Komnas HAM menyatakan memberikan perhatian serius atas kasus yang menimpa masyarakat adat Pubabu. Kata Beka, pihaknya akan meminta keterangan dari Pemprov NTT atas penggunaan kekerasan, dan intimidasi dalam konflik lahan dengan masyarakat adat Pubabu.
"Negara harus bertanggung jawab atas perlindungan, kemajuan, dan pemenuhan HAM sehingga bukan hanya soal kekerasan, serta intimidasi. Masyarakat adat Pubabu juga punya hak yang sama seperti warga negara lain," tutur Beka.
Selain menyurati Pemprov NTT, Komnas HAM juga menyurati Polda NTT. "Selain meminta keterangan. Kami juga meminta ada evaluasi terhadap aparat yang melakukan kekerasan," ungkap Beka.
Salah seorang perempuan adat Pubabu, Marteda Ester mengatakan tindak kekerasan dan intimidasi telah dilakukan oleh Pemprov NTT bersama aparat penegak hukum. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya penggusuran terhadap beberapa keluarga masyarakat adat Pubabu. Bagi masyarakat adat, tentu saja hal tersebut telah menimbulkan ketakutan serta trauma yang mendalam, terutama perempuan dan anak-anak.
"Mereka tetap mengintimidasi kami. Mereka sudah membongkar belasan rumah. Saat ini mereka masih beroperasi (menggusur) tapi masyarakat tetap tinggal di bawah pohon. Mereka (aparat) bawa senjata, menodong ibu-ibu dan menggiring supaya keluar dari lokasi itu termasuk saya," ungkap Ester.
Kendati rumah mereka digusur dan dibongkar, namun Ester serta masyarakat adat Pubabu lainnya tetap bertahan di lokasi hutan adat walaupun tidur tanpa beralaskan apa pun. "Tadi malam kami tidur di tanah tanpa alas, dan lampu hanya dengan api demi mempertahankan hutan adat serta rumah kami," tandasnya.
Sementara itu, VOA mencoba meminta tanggapan langsung dari Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, melalui pesan online terkait penggusuran disertai kekerasan yang menimpa masyarakat adat Pubabu. Namun, sampai berita ini ditayangkan Viktor tak memberikan jawaban dan memilih untuk bungkam. Hutan adat Pubabu merupakan sumber kehidupan bagi warga lokal, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun sebagai ruang yang mengandung nilai-nilai spiritualitas dan diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur masyarakat adat Pubabu.
Saat ini ada delapan kelompok masyarakat di areal hutan Pubabu yang melakukan usaha pertanian dan perkebunan untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Bagi masyarakat adat Pubabu kehilangan hutan bukan hanya sekadar hilangnya penyangga kehidupan. Tapi juga akan berdampak pada hilangnya jati diri, budaya luhur, dan nilai-nilai spiritualitas yang selama ini menghubungkan mereka dengan Tuhan dan leluhurnya. [aa/em]