Komnas HAM telah merekomendasikan presiden dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Alasannya materi RUU ini berpotensi mengancam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Menurut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, sejumlah anggota DPR dan pemerintah telah berkomunikasi secara informal dengan lembaganya terkait desakan penghentian pembahasan RUU Cipta Kerja. "Khusus untuk sektor tenaga kerja, kita melihat memang ada beberapa pasal yang sangat mengkhawatirkan. Misalnya kemudahan tenaga kerja asing yang masuk, kita bukan anti-asing ya," jelas Ahmad Taufan kepada VOA, Rabu (19/8/2020).
Taufan Damanik menambahkan pihaknya akan menanyakan secara langsung kepada DPR soal keberadaan pasal-pasal bermasalah di omnibus law RUU Cipta Kerja. Sebab, kata dia, pembahasan RUU Cipta Kerja ini dilakukan tidak transparan.
Komnas HAM juga melihat prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Di samping itu, RUU ini akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Hal ini dapat memicu terjadinya penyalahgunaan
wewenang dan tidak sesuai dengan prinsip akuntabel. "Tidak transparan, jadi sebenarnya kita tidak tahu sudah sampai tahap mana. Pasal yang dalam draf pemerintah katanya ada yang diubah, tapi yang mana? Di sisi lain buru-buru diketok palu," tambahnya.
Amnesty International Indonesia Desak Pemerintah & DPR Revisi RUU Cipta Kerja
Senada Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak pemerintah dan DPR merevisi sejumlah poin bermasalah dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Antara lain penghapusan upah minimum, batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak, dan ketiadaan kewajiban perusahaan untuk mengangkat pekerja tetap. "Sebelum ada perubahan yang signifikan di dalam perumusan ketentuan RUU Cipta kerja. Maka itu sebaiknya dibatalkan atau ditunda pengesahannya," jelas Usman kepada VOA.
Usman menilai secara substansi RUU Cipta Kerja juga tidak sesuai dengan standar HAM internasional. RUU tersebut dapat merampas hak pekerja atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan yang dijamin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR). Kondisi tersebut termasuk upah yang adil, lingkungan kerja yang aman dan sehat, pembatasan jam kerja yang wajar, perlindungan bagi pekerja yang hamil, dan persamaan perlakuan dalam lingkungan kerja.
KASBI: Pembuatan RUU Cipta Kerja Tak Libatkan Serikat Buruh
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos menyoroti proses pembuatan RUU Cipta Kerja yang tidak melibatkan serikat buruh. Menurutnya, KASBI tidak pernah diajak berdiskusi sejak awal proses penyusunan. Kata Nining, pembahasan RUU ini juga semestinya dihentikan karena mendapat penolakan dari masyarakat yang semakin meluas di berbagai daerah. "Kalau pemerintah ingin melakukan perbaikan nasib rakyat dan meningkatkan kesejahteraan. Maka seharusnya tidak menciptakan tim perumus seolah untuk memberikan angin segar, tapi DPR punya wewenang untuk membahas atau tidak," jelas Nining Elitos.
Pembahasan RUU Cipta Kerja Sudah 70%
Pekan lalu (14/8) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartato mengatakan pembahasan RUU Cipta Kerja telah mencapai sekitar 70 persen dan ditargetkan selesai dalam masa sidang ini. Kata Airlangga, sudah ada kesepakatan antara pengusaha, pekerja dan pemerintah terkait sejumlah isu yang krusial dalam RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja akan merevisi 79 undang-undang yang dianggap dapat menghambat investasi, termasuk tiga undang-undang terkait ketenagakerjaan yakni UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional. Dalam RUU Ciptaker, undang-undang tersebut akan disusun ulang menjadi 11 klaster yang terdiri dari 1.244 pasal. [sm/em]