Minggu pagi, 23 Agustus 2020, warga desa Lompio, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah bergotong royong menanam seribu bibit bakau (Rhizophora sp) di pesisir pantai desa mereka. Penanaman bakau (mangrove) itu merupakan upaya warga untuk meminimalisir dampak ombak laut yang menerpa pemukiman penduduk saat terjadinya banjir rob, banjir yang disebabkan laut yang pasang, yang kerap terjadi di desa itu.
Zahir (26) warga desa Lampio mengatakan gempa bumi kuat pada 2018 silam menyebabkan penurunan permukaan tanah sehingga pada saat pasang, air laut masuk ke perkampungan dan merendam rumah-rumah warga hingga ketinggian satu meter.
“Selain gempa 2018 merusak rumah-rumah warga, kemudian mendatangkan bencana baru. Bencana baru itu banjir rob, di pesisir pantai, pecahan ombak sampai sudah di rumah-rumah warga,” kata Zahir.
Sarwati (47), ibu rumah tangga, mengatakan dia dan warga lainnya masih menantikan realisasi janji pemerintah untuk membangun rumah hunian tetap bagi warga terdampak gempa bumi 2018. “Ada tapi masih dijanji-janjikan sampai sekarang belum terealisasi, rumah belum ada, jadi kita tetap bertahan di tempat ini,” ungkap Sarwati.
David Lamanyuki dari Yayasan Penabulu Palu menjelaskan inisiatif penanaman bakau itu berasal dari keinginan warga yang ingin mendapatkan solusi alternatif ketimbang menunggu pembangunan tanggul. Warga juga belajar bahwa di tempat yang terdapat tanaman nipah di ekosistem hutan mangrove cenderung terlindungi dari hantaman ombak pada saat air laut pasang, ketimbang tempat lain yang terbuka.
“Dari situ juga kemudian gagasan teman-teman disini untuk kira-kira kalau menanam mangrove itu mungkin akan mengurangi resiko dari banjir rob. Airnya tetap masuk tapi gelombangnya bisa diminimalisir,” jelas David.
Seribu bibit pohon bakau yang ditanam hari itu di pesisir pantai desa Lompio disediakan secara cuma-cuma dari lokasi penyemaian yang dikelola oleh Yayasan Penapulu Palu. Organisasi itu sudah terlibat dalam berbagai kegiatan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove di Palu dan Donggala.
Insinyur Abdullah MT, pengamat kebencanaan dari Universitas Tadulako menjelaskan Rabu (26/8), desa Lompio merupakan salah satu dari sejumlah wilayah lainnya di Kabupaten Donggala dan Kota Palu yang mengalami penurunan permukaan tanah atau downlift akibat gempa bumi berkekuatan 7,4 skala Richter pada 28 September 2018 silam.
“Wilayah-wilayah tersebut diketahui mengalami downlift nanti, dua minggu setelah gempa. Hal ini diketahui ketika air laut pasang wilayah-wilayah tersebut tergenang air laut, padahal sebelumnya tidak demikian. Hal ini menyebabkan bencana downlift terlambat terekspos sebagai salah satu jenis bencana PADAGIMO (Palu, Donggala, Sigi, Parigi Moutong) Sulteng, selain gempa, tsunami dan liquefaksi. Bahkan bencana downlift ini masih berlangsung sampai sekarang” kata Abdullah.
Dia menambahkan setiap air laut pasang, yang periodenya dua kali sebulan dengan lama periode lima sampai enam hari, menyebabkan warga tidak bisa tinggal di rumah karena tergenang air laut. Bahkan ada beberapa rumah yang tidak rusak diguncang gempa, tapi rusak karena selalu digenangi air laut.
Dampak lainnya warga mengalami kesulitan mendapatkan air bersih karena air terasa asin. Kesehatan warga juga terancam oleh rusaknya sanitasi lingkungan karena saat laut pasang maka limbah dari septic tank dan selokan terangkat dan bercampur air.
Sejumlah solusi yang dapat dilakukan adalah relokasi, penimbunan dan pembuatan tanggul, termasuk penanaman mangrove untuk meredam pukulan ombak seperti yang dilakukan oleh warga di desa Lampio.
Menurut Abdullah meskipun e tidak dapat mengangkat wilayah yang mengalami penurunan permukaan tanah, mangrove bisa melindungi pantai dari abrasi karena dapat meredam pukulan ombak, mengurangi kemungkinan terjadinya tsunami, menahan aliran sedimen dari arah darat, dan menjadi tempat biota laut memijah (bermain dan mencari makan). [yl/ab]