Adriany Badrah, Direktur Celebes Institute, menyatakan operasi keamanan di Poso untuk memburu dan menangkap para teroris kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), telah berlangsung tujuh tahun dengan anggaran yang besar. Namun, operasi itu tidak mampu menghentikan teror dan kekerasan, serta memberi rasa aman bagi warga.
Celebes Institute adalah organisasi yang sejak 2011 fokus pada program rehabilitasi dan reintegrasi atau penyatuan kembali mantan narapidana teroris kembali ke tengah masyarakat.
Menurut Adriany, saat Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibentuk pada 2018, Tito Karnavian sebagai Kapolri saat itu, mengatakan bahwa operasi teroris di Indonesia 75 persen adalah intelijen, penindakan lima persen, dan pemberkasan untuk ke proses pengadilan, 20 persen. Melihat persentase tersebut, artinya intelijen tidak bekerja dengan baik atau tidak berfungsi.
Adriany mengatakan ada pembiaran dalam operasi keamanan yang berlangsung panjang dan berganti-ganti pemimpin. Yang paling baru adalah teror yang terjadi di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi.
“Kata sandi berubah dan anggaran dalam jumlah banyak yang digunakan, tapi tidak mampu menyelesaikan teror dan kekerasan yang semakin masif,” kata Adriany Badra dalam sebuah diskusi daring, Minggu (30/11/2020).
Kelemahan dari operasi itu, menurutnya, adalah aparat keamanan yang tergabung dalam operasi tidak menguasai medan. Hal dikarenakan anggota tim berganti setiap tiga hingga enam bulan dalam Bawah Kendali Operasi (BKO). Bandingkan dengan kelompok MIT pimpinan Ali Kalora, yang sudah sekitar delapan tahun bergerilya di hutan. Ali Kalora adalah warga asal Bima, Nusa Tenggara Barat.
“Seharusnya mereka (aparat) memahami ini adalah perang gerilya, tetapi masih juga menempatkan BKO-BKO. BKO tiga bulan paling sebentar, paling lama enam bulan, apa yang dikuasai?,” kata Adriani Badra.
Adriani menegaskan aparat keamanan TNI POLRI bersama Pemerintah Daerah harus menunjukkan komitmen untuk melindungi masyarakat dari kelompok teroris. Organisasi masyarakat sipil dan organisasi keagamaan harus bersatu melawan aksi terorisme serta teror dan kekerasan kelompok itu.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Irjen Abdul Rakhman Baso dalam Konferensi Pers, Minggu (30/11/2020), mengatakan pihaknya sudah mengerahkan pasukan dalam jumlah besar untuk mengejar kelompok teroris MIT. Namun, diakuinya upaya pengejaran itu terkendala kondisi medan hutan pegunungan dan akses komunikasi yang terbatas.
Dia menyebut kelompok itu sudah makin terdesak dengan kehadiran pasukan dalam operasi Tinombala. Namun, Abdul mengatakan dia tidak bisa memaparkan teknis operasi.
Korban warga Sipil
Menurut Institut Mosintuwu, yang meneliti kekerasan di Poso dan di Sulawesi Tengah, kelompok MIT setidaknya sudah menewaskan 22 orang warga sipil di Kabupaten Poso, Parigi Moutong dan Sigi sejak organisasi itu berdiri pada 2012.
Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, Senin (1/12/2020), mengatakan MIT didirikan oleh Santoso dengan tujuan mendirikan khilafah Islam di Poso. MIT berbaiat atau menyatakan janji setia kepada Negara Islam Irak dan Syam atau ISIS pada 2014.
“Gerombolan ini sering menyerang warga sipil maupun polisi,” ujar Lian. Para korban yang dibunuh oleh MIT, imbuh Lian, adalah petani dari latar belakang agama dan suku yang berbeda-beda.
Setelah Santoso terbunuh pada 18 Juli 2016, Ali Kalora, mengambil alih kepemimpinan MIT. Mereka melanjutkan pembunuhan di pinggiran hutan pegunungan sebelah barat Kabupaten Poso, yang membentang hingga Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi.
Gunung Biru adalah bagian dari pegunungan Pompangeo yang membentang di Kecamatan Poso Pesisir Selatan hingga Poso Pesisir Utara. Wilayah pegunungan itu telah menjadi daerah pergerakan kelompok yang kini tersisa 11 orang.
Saat operasi keamanan digelar, ujar Lian, kelompok itu bersembunyi di kawasan pegunungan selatan Kabupaten Parigi Moutong, yang berbatasan dengan kabupaten Poso.
“Ketika terdesak, gerombolan ini berpindah lagi ke hutan barat, yakni wilayah Lore di Kabupaten Poso hingga kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, yang berbatas dengan kota Palu, ibukota Sulawesi Tengah,” papar Lian Gogali.
Sejak 2013, tercatat ada 10 operasi keamanan yang digelar di Poso, termasuk Operasi Tinombala yang dimulai 2016 hingga kini. Ribuan polisi dan militer dikerahkan untuk mengejar kelompok itu, tetapi warga terus menjadi korban.
Lian Gogali menilai respons pemerintah, yang proporsional dan tepat, tanpa toleransi terhadap pelanggaran hak asasi manusia, adalah alat ukur dalam menguji efektivitas dari kebijakan kontra-terorisme di Sulawesi Tengah. [yl/ft]