Kebiri kimia sudah sah jika diterapkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah No 70 tahun 2020 yang ditandatangani Jokowi akhir tahun lalu. Pro-kontra mengemuka, termasuk soal keberpihakan negara terhadap korban.
Bagi Fathuddin Muchtar, kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual anak tidak memberi banyak makna. Lebih penting dari itu adalah bagaimana negara memihak korban. Sejauh ini, konsentrasi negara justru lebih kepada menghukum pelaku, namun kurang memberi perhatian pada upaya pencegahan dan pemenuhan hak korban.
Fathuddin adalah Direktur Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (Samin) di Yogyakarta.
“Kita harus berpikir keadilan terhadap anak yang sudah menjadi korban. Sejauh mana program pemulihan terhadap anak korban itu sudah dilakukan. Menghukum pelaku oke, tetapi memaksimalkan agar anak korban bisa pulih itu bukan hal yang mudah. Pelaku dikebiri selesai masalah, tidak begitu,” kata Fathuddin ketika dihubungi VOA.
Bersama jaringan lembaga nonpemerintah lain, Yayasan Samin kerap terlibat program pendampingan anak korban kekerasan seksual. Dari kerja lapangan itulah, Fathuddin menegaskan upaya pendampingan korban tidak pernah mudah. Pemulihan kesehatan fisik dan mental serta kehidupan sosial butuh proses panjang dan bisa saja tidak berhasil.
Fathuddin mengingatkan, karena sudah terlanjur disahkan, konsentrasi pemerintah saat ini seharusnya beralih ke upaya pencegahan. Kampanye isu ini hingga ke kelompok masyarakat kecil di pedesaan harus masif dilakukan.
“Upaya pencegahan belum maksimal, sesuai amanat UU 23/2002. Alokasi anggaran untuk Kementerian PPPA, sebagai institusi yang menangani perlindungan anak sangat kecil dibanding kementerian lain,” urai Fathuddin.
Perhatian lain yang juga sangat penting, adalah pendampingan anak korban. Umumnya, anak korban kekerasan seksual memiliki beban sosial, mengalami masalah mental dan juga kesehatan. Semua sudah terasa sejak kasus itu dibawa ke ranah hukum, di mana perspektif aparat hukum belum sepenuhnya berpihak pada korban. Pemeriksaan dan visum bukan akhir segalanya, Fathuddin menyebut dalam sejumlah kasus, kehidupan anak korban jauh lebih sulit setelah itu. Bahkan, hingga proses hukum selesai dan pelaku dipenjara.
Setuju dan Menentang
Kebiri kimia sendiri dimungkinkan setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (PP Kebiri Kimia).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) termasuk yang paling depan mendorong penerapan kebiri kimia.
“Kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia karena para pelakunya telah merusak masa depan bangsa Indonesia,” kata Nahar, Deputi Perlindungan Anak, Kemen PPPA dalam pernyataan resminya.
Nahar berharap, keluarnya aturan ini memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan. Kementerian ini mencatat data, pada periode 1 Januari 2020 hingga 11 Desember 2020, kekerasan seksual terhadap anak mencapai 5.640 kasus.
Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengaku cenderung bisa memahami keputusan pemerintah. Dalam pernyataan resminya, Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati mengingatkan bahwa hukuman ini tidak berlaku untuk pelaku anak. KPAI juga akan mengawasi implementasinya dan berharap pemangku kepentingan, meminimalkan dampak dan resiko yang mungkin terjadi. KPAI juga mendorong proses perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual, yang menurut data tahun 2019, baru mencapai 48,3 persen.
“KPAI mengingatkan bahwa solusi terbaik dari suatu sistem penegakan hukum adalah memaksimalkan upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak,” kata Rita.
Sementara Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman. Lembaga ini juga berpendapat, efektivitas kebiri kimia pada turunnya angka kekerasan seksual belum terbukti.
Dalam pernyataannya, ICJR menilai PP 70/2020 akan memberikan beban anggaran baru untuk menghukum pelaku. Di sisi lain, korban dibiarkan menjerit dan harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri. Politik anggaran pemerintah yang memangkas kebutuhan anggaran pemulihan dan perlindungan korban seperti LPSK, menurut ICJR menunjukkan langkah ini belum menjadi prioritas negara.
Memungkinkan Tetapi Beresiko
Ika Puspitasari, PhD, Ketua Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada menegaskan, kebiri kimia harus dilakukan dengan hati-hati. Apalagi, tindakan ini akan menimbulkan efek samping. Namun, secara medis kebiri kimia bisa dilakukan.
“Kita ini saintis, jari harus bicara apa adanya dari sisi sains. Nah, kalau dari sisi sains tindakan itu memungkinkan, dan kalau dikelola dengan baik, harapannya jangan sampai muncul efek samping itu, dan karena itu sebelumnya harus ada observasi dan lainnya,” papar Ika kepada VOA.
Efek samping ini, dijelaskan Ika, akan berbeda di setiap orang yang menerima tindakan. Karena itulah, sebelum dilakukan, dokter harus melakukan pemeriksaan mendalam. Pada prinsipnya, bahan kimia yang digunakan akan menekan jumlah testosteron.
“Begitu tidak ada testosteron, enggak ada yang menjaga metabolisme kolesterol, maka akan terjadi peningkatan kadar kolesterol. Ketika kolesterol meningkat akhirnya kemana? Ke jantung. Karena penumpukan kolesterol di pembuluh darah,” kata Ika.
Selain resiko jantung koroner akibat kolesterol ini, kebiri kimia juga beresiko menimbulkan osteoporosis. Ika menyebut, proses ini terkait dengan pembentukan massa tulang, karena begitu testosteron ditekan, tidak ada yang menyangga tulang sehingga mudah patah. Sedangkan dampak ringan yang bisa terlihat langsung adalah kerontokan rambut.
Karena proses itulah, terhukum yang dikebiri kimia tidak hanya menjalani observasi sebelum tindakan, tetapi juga pasca hukuman. Misalnya, setiap tiga bulan sekali harus dilakukan pengukuran massa tulang, kadar kolesterol, hingga pemeriksaan EKG untuk jantung. Menurut Ika, semua proses penghukuman bagi pelaku kekerasan seksual anak ini akan menelan biaya besar.
Ika menyebut sejumlah obat yang bisa digunakan dalam kebiri kimia. Di antaranya adalah medroksiprogesteron asetat dan siproteron asetat. Ada juga obat lain yang digunakan untuk menekan produksi testosteron, yang bekerja secara langsung pada produksi gonadotropin-releasing hormone (GnRH) seperti histrelin asetat. Pemerintah juga bisa menggunakan GnRH agonis seperti goserelin, leuprolid, dan triptorelin. Obat lain yang juga masuk kategori penghambat sintesis testosteron adalah ketokonazol.
Namun, Ika mengingatkan tindakan medis hanya satu bagian dari upaya terpadu terkait kebiri medis. Harus ada juga rehabilitasi psikiatris dan sosial di samping medis. Perilaku adalah persoalan pikiran, dalam hal ini faktor dorongan yang terkait rangsang. Setiap orang memiliki kecenderungan yang berbeda, mengenai apa yang bisa merangsang tindakannya.
Karena itu, selain tindakan melalui obat, edukasi dan konseling oleh psikiatri juga sangat penting dilakukan. Apalagi, dari aturan yang ada kebiri kimia akan dilakukan selama dua tahun saja. Setelah penghentian pemberian obat sesuai aturan itu, tentu saja pelaku bisa kembali memiliki hasrat seksual.
Padahal jika kadar testosteron mereka tinggi, dorongan untuk melakukan kejahatan seksual itu bisa kembali datang. Konseling psikiatrik akan membantu pelaku untuk bisa kembali ke tengah masyarakat, setelah memahami apa yang membuatnya melakukan kejahatan itu dan berupaya menghindarinya. [ns/ab]