Keterwakilan perempuan dalam profesi teknik digital masih rendah dibandingkan kaum laki-laki termasuk di Indonesia, menurut sejumlah studi dan penelitian. Kesenjangan gender itu dipengaruhi akses pada teknologi, termasuk internet, dan kesempatan perempuan mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang IT. Generation Girl, Yayasan yang berfokus pada pelatihan bagi perempuan, hendak mengubah situasi tersebut.
Perempuan bisa menjadi pemimpin, demikian ungkap Nadine Siregar, pendiri yayasan Generation Girl kepada VOA. Ia berupaya membangun lebih banyak pemimpin muda, khususnya menambah kepercayaan diri perempuan, selain kemampuan mereka dalam bidang teknologi.
Sejumlah peserta program pelatihan teknologi informasi itu adalah pelajar sekolah menengah (SMP-SMA). Para mentor, bahkan sukarelawan, termasuk kaum perempuan yang sudah bekerja dalam industri teknologi digital.
“Kita memperkenalkan mereka pada female leaders, female role models (perempuan tokoh panutan) dalam industri yang mungkin bisa memotivasi mereka untuk menjadi pemimpin juga,” jelasnya.
Laporan World Economic Forum tahun 2018 menemukan bahwa rata-rata perempuan kurang terwakili di sebagian besar profesi baru, termasuk industri teknologi digital. Kesenjangan gender paling menonjol dalam seluruh bidang pekerjaan cloud computing di mana hanya terdapat 12 persen perempuan professional, sedangkan 26 persen mempunyai kemampuan mengolah data dan kecerdasan buatan.
Nadine menilai pihak perusahaan bertanggung jawab untuk meningkatkan perempuan yang sudah siap dengan keterampilan dan kemampuan menjadi pemimpin dalam industri teknologi digital.
“Kita perlu lihat kebijakan perusahaan tentang maternity leave, working from home, lebih banyak mendukung tenaga kerja perempuan, mereka yang mempunyai anak tapi masih berkeinginan mengembangkan karirnya sendiri. Bimbingan perusahaan bagi pegawai perempuan yang ingin jadi manajer atau pemimpin menjadi hal penting,” jelas Nadine Siregar.
Sementara itu Andi Pratiwi dari Jurnal Perempuan Universitas Indonesia berpandangan bahwa persoalan rendahnya representasi perempuan dalam bidang sains dan teknologi sebetulnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Dengan mengutip tulisan Miranda Marcus yang terbit dalam majalah Forbes pada tahun 2017, peneliti isu gender dan teknologi itu memaparkan salah satu faktor utama rendahnya representasi perempuan pada bidang tersebut.
“Cara pandang masyarakat yang menganggap bahwa bidang teknik bukanlah pilihan karir yang cocok untuk perempuan. Jadi, ketika kita bicara representasi perempuan di pendidikan STEM ini sangat rendah, itu akan berlanjut ke pekerjaan-pekerjaan di bidang STEM,” kata Andi Pratiwi.
Laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengenai profil perempuan Indonesia tahun 2019 menyebutkan bahwa hanya 37,4 persen perempuan usia lima tahun ke atas yang dapat mengakses internet. Sementara akses internet bagi laki-laki di atas 40 persen.
Sejumlah penelitian menjelaskan ketertarikan perempuan dalam bidang sains dan teknologi banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
“Jadi, ada kecenderungan perempuan merasa tidak percaya diri untuk masuk bidang ini dibandingkan laki-laki karena ada stereotip bias gender yang telah tertanam dalam pendidikan,” imbuhnya.
Studi Girl in Tech tahun 2015 yang dilakukan Mastercard di enam negara Asia Pasifik termasuk Indonesia, dengan mewawancarai 1.560 anak perempuan usia 12-19 tahun, menunjukkan keputusan anak-anak untuk belajar atau mengejar karir dalam bidang STEM sebanyak 68 persen dipengaruhi oleh orang tua, 9 persen dukungan teman atau ingin mengikuti teman kemudian terinspirasi, dan 8 persen dari guru.
“Jadi, orang tua berpengaruh besar bahkan sebagai role model utama yang dapat memperkenalkan bidang STEM kepada anak-anak, khususnya anak perempuan, sedini mungkin dan diharapkan bisa memperkenalkannya dengan cara yang atraktif dan menyenangkan,” kata Andi
Nadine dengan optimis menyatakan kini 51 persen peminat jurusan Informasi dan Teknologi adalah mahasiswi yang menjadi partisipan Generation Girl. Akses generasi milenial atau yang lebih tua belajar IT terbatas di sekolah atau belajar sendiri. Selain itu, laptop atau telepon pintar mereka peroleh setelah dewasa atau berumur.
“Tapi untuk generation Z ini, mereka sudah punya basic digital literacy skills-nya. Jadi, inovasi mereka dalam teknologi cepat sekali. Menurut saya, pesatnya perkembangan teknologi yang baru dan semua inovasi yang akan datang itu akan lebih cepat lagi,” jelas Nadine Siregar. [mg/ka]