Vaksin-vaksin pertama untuk melawan COVID-19 sebagian besar telah dikirim, umumnya ke negara-negara maju. Kini saatnya, beberapa negara berpenghasilan menengah mulai berupaya mendapatkan vaksin tersebut. Banyak vaksin berasal dari perusahaan farmasi China dan Rusia.
Akan tetapi para kritikus mencatat sejumlah pengembang vaksin itu belum memberikan data mengenai keamanan dan tingkat keberhasilan vaksin yang mereka produksi.
Seorang perawat pribumi menjadi orang pertama yang divaksinasi di negara bagian Amazonas, Brazil.
Vaksin itu, Sinovac, buatan perusahaan China. Hasil sejumlah uji coba di Brazil menunjukkan, vaksin itu 78 persen efektif untuk mencegah infeksi COVID-19 yang mengancam jiwa dan sekitar 50 persen efektif secara keseluruhan.
Tidak buruk, kata ahli mikrobiologi Universitas Sao Paulo Natalia Pasternak. “Kita punya vaksin yang bagus. Ini bukan vaksin terbaik di dunia, bukan vaksin yang sempurna, tapi vaksin ini bagus.”
Akan tetapi tes di tempat lain menunjukkan hasil berbeda. Data awal di Turki menunjukkan tingkat efektivitas 91 persen. Di Indonesia, angkanya, 65 persen.
Tingkat keberhasilan vaksin itu yang sebenarnya masih misteri karena Sinovac belum merilis hasil uji secara klinis secara terbuka. Itu mengkhawatirkan, kata profesor penyakit menular pada Universitas Vanderbilt, William Schaffner.
“Pepatah lama dalam penelitian klinis menyebutkan: 'Kepada Tuhan kita berserah. Yang lainnya harus berdasarkan data. 'Tentunya kami ingin melihat data tersebut,” jelas William Schaffner.
Perusahaan China lainnya, Sinopharm, menyatakan vaksinnya 79 persen efektif, namun belum juga merilis data.
Beberapa negara tetap menyambut baik vaksin China, karena sebagian besar vaksin lain telah dipesan negara-negara maju.
Butantan Institute di Brazil telah menguji vaksin Sinovac. Direktur Dimas Covas menyatakan bekerja sama dengan perusahaan China tersebut merupakan langkah yang tepat. “Karena jika (kami) tidak melakukannya, kami tidak akan memiliki jutaan dosis vaksin yang siap digunakan,” kata Dimas.
Kedua vaksin China itu diproduksi dengan teknik yang sudah dilakukan selama beberapa dekade. Cara pembuatan vaksin flu dan rabies juga sama. Tapi itu tidak menjamin vaksin-vaksin itu aman dan efektif untuk semua orang, kata Schaffner lebih lanjut.
Vaksin-vaksin buatan perusahaan farmasi Moderna dan Pfizer-BioNTech tampaknya lebih efektif daripada vaksin buatan China. Namun, vaksin-vaksin itu harus disimpan dalam suhu yang sangat dingin. Itu membuat vaksin-vaksin itu sulit dikirim di banyak bagian dunia, papar pakar vaksin Universitas Johns Hopkins, William Moss.
“Mereka bukan vaksin yang ideal, terutama untuk banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah,” jelasnya.
Vaksin-vaksin China stabil pada suhu lemari es. Begitu juga Sputnik V, vaksin buatan Rusia. Seperti perusahaan farmasi China, pengembang vaksin Rusia itu dikritik karena mendistribusi vaksin tanpa mempublikasikan hasil uji coba.
Tetapi pada Selasa (2/2), mereka menerbitkan hasil penelitian di jurnal medis The Lancet yang menunjukkan efektivitas vaksin itu lebih dari 91 persen. Hasil uji coba itu menempatkan vaksin tersebut pada tingkat atas, Moss menambahkan.
Kabar baik itu disambut gembira di Argentina, Hungaria, dan tempat-tempat lain, di mana vaksinasi Sputnik V sudah dilakukan. [mg/ka]