Sejumlah kalangan menolak wacana vaksinasi COVID-19 mandiri untuk kalangan bisnis yang diusulkan oleh pemerintah karena akan menimbulkan ketimpangan dalam memperoleh akses vasinasi, terutama bagi kelompok rentan.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda mengungkapkan pemerintah sebaiknya menunda kebijakan vaksinasi mandiri karena ketersediaan vaksin COVID-19, baik secara global maupun domestik, masih sangat terbatas.
Mengutip penjelasan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Olivia mengatakan per 17 Februari 2021, 75 persen suplai vaksin COVID-19 di dunia baru digunakan oleh sepuluh negara. Sementara masih ada 130 negara yang bahkan belum mendapatkan dosis pertama.
Di Tanah Air, ujar Olivia, vaksinasi tahap ketiga pada Mei-Juli dengan target kelompok rentan membutuhkan 146,7 juta dosis, sedangkan jumlah pengadaan baru 102 juta. Jadi, masih ada kekurangan sekitar 40 juta dosis yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah.
“Maka rekomendasi kami, tentunya untuk menunda skema vaksin mandiri ini. Pemerintah dapat fokus untuk upaya untuk pengadaan bagi kelompok rentan dengan merek apapun yang sudah terbukti aman dan efikasinya sesuai dengan standar WHO,” kata Olivia dalam telekonferensi pers di Jakarta, Minggu (21/2).
Pemerintah, ujar Olivia, juga harus memperbaiki sistem pendataan dan strategi lainnya, serta mengutamakan pemeriksaan kesehatan gratis kepada lansia untuk menjangkau kelompok tersebut.
Selain itu, pemerintah ujar Olivia harus tetap fokus mengoptimalkan penanganan pandemi dengan strategi “3T” (testing, tracing, dan treatment), serta “3M” (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan).
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah kemungkinan akan membuka opsi vaksinasi COVID-19 mandiri agar perusahaan-perusahaan bisa memvaksinasi para karyawan. Alasan Jokowi, kebijakan itu bisa mempercepat vaksinasi, sehingga herd immunity atau kekebalan kelompok dapat segera tercapai.
Rekomendasi WHO
Dalam kesempatan yang sama, Senior Advisor on Gender and Youth di WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) Diah Saminarsih menuturkan, bahwa menurut WHO Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE), kelompok masyarakat rentan harus menjadi prioritas dalam program vaksinasi massal COVID-19.
Hal itu sesuai dengan kampanye untuk persamaan hak vaksinasi (campaign for vaccine equity) yang dikeluarkan WHO pada 19 Februari bahwa keadilan dari sudut kesehatan merupakan prinsip yang sangat fundamental dalam pembangunan kesehatan. Jika hal itu tidak terjadi, kelompok masyarakat rentan akan semakin terpinggirkan khususnya dalam program vaksinasi massal COVID-19 ini.
“Jadi tadi prinsip health equity bahwa kelompok populasi rentan kita anggap adalah orang yang mau mengambil buah apel dengan tinggi badan lebih rendah. Jadi, dia yang harus diberikan bantuan tempat berpijak yang lebih tinggi. Jadi prinsip itu yang tidak boleh kita hilangkan,” tuturnya.
Oleh karena itu, WHO, ujarnya telah membuat Covax Facility untuk membantu negara-negara yang tidak mempunyai kapabilitas untuk mendapatkan vaksin COVID-19 dengan cepat.
Peran Swasta
Pendiri KawalCovid19, Elina Ciptadi, mengatakan pihak swasta bisa membantu pemerintah dalam menyukseskan program vaksinasi massal COVID-19, tetapi bukan dalam pengadaan vaksin.
Ia mencontohkan, pihak swasta dapat menyediakan tempat yang luas untuk program vaksinasi massal bagi kelompok prioritas. Pihak swasta juga bisa membantu pemerintah mendata masyarakat yang akan menjalani vaksinasi, misalnya, mendata kelompok lansia.
“Ini contoh saja. Yang namanya gotong-royong itu seperti ini. Jadi, pihak-pihak selain pemerintah bergotong-royong untuk mempercepat vaksinasi ke kelompok-kelompok yang prioritas,” ungkap Elina.
Menurutnya apabila skema vaksin mandiri ini tetap dijalankan dalam waktu dekat, bisa dipastikan pemerintah akan kewalahan dalam pengawasan program tersebut.
"Sementara banyak wacana yang kita dengar di luar itu adalah misalnya Maret vaksin mandiri, sudah bisa dijalankan. Lho, kalau Maret berarti lansia masih disuntik, kemudian bagaimana dengan pelayan publik seperti guru?” kata Olivia.
“Nah, bijak kah itu dilakukan sekarang ketika memonitor satu sistem saja itu masih ada banyak gap untuk perbaikan?” ujarnya.
Anggaran Kesehatan
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira, menduga opsi vaksinasi COVID-19 mandiri itu tercetus karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak cukup untuk menopang krisis di sektor kesehatan.
“Masalahnya pemerintah ini mengalami kesalahan dalam alokasi anggaran. Contoh, anggaran belanja kesehatan itu bukan nomor satu yang paling tinggi padahal kita mengalami krisis kesehatan. Anggaran perlindungan sosial juga bukan nomor satu paling tinggi,” ungkap Bhima.
Ia menjelaskan, sektor infrastruktur mendapat anggaran paling besar dalam APBN 2021. Disusul belanja pegawai, belanja barang, dan pembayaran bunga utang.
Untuk infrastruktur, kata Bhima, anggarannya naik menjadi Rp441 triliun dari Rp281 triliun di 2020. Anggaran untuk Kementerian Pertahanan juga naik menjadi Rp137 triliun, dan anggaran di Kepolisian naik menjadi Rp112 triliun, sedangkan anggaran kesehatan justru turun menjadi Rp170 triliun pada tahun ini.
“Jadi sebenarnya tidak benar alasan bahwa kita tidak punya anggaran untuk melakukan vaksinasi secara lebih cepat, membeli vaksin dengan kualitas lebih baik misalnya tingkat efikasinya," jelasnya.
Menurut, argumen itu tidak berdasarkarena sebenarnya banyak pos anggaran yang masih bisa digeser,”
Pertanyaannya, kata Bhima, apakah pemerintah mau merelakan beberapa pos yang tidak penting dan segera, digeser karena tekanan dari industri.
Lanjutnya, ia pun menyangsikan perusahaan-perusahaan besar akan menggratiskan vaksinasi kepada para karyawannya. Menurutnya, hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri di kalangan karyawan, karena banyak gaji yang dipotong atau bahkan tidak dibayarkan pada masa pandemi ini.
“Mereka khawatir sudah dipotong iuran BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, Tapera juga plus nanti kalau vaksinasi mandiri, yaitu dibebankan kepada karyawan. Berapa banyak sisa dari pendapatan karyawan yang nantinya digunakan untuk keperluan sehari-harinya kalau sudah ditambah pengurangan gaji untuk vaksin?” tanya Bhima. [gi/ft]