Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada Minggu (28/3) mengecam pertumpahan darah dalam protes-protes antikudeta di Myanmar dan menyebutnya "sangat keterlaluan."
Kantor berita AFP melaporkan pernyataan itu disampaikan sehari setelah pasukan keamanan menewaskan lebih dari 100 orang, termasuk tujuh anak.
Myanmar mengalami pergolakan sejak militer menggulingkan dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, memicu protes-protes massal yang menuntut agar demokrasi dipulihkan.
Pada Sabtu (27/3), sedikitnya 107 orang tewas di seluruh Myanmar ketika pasukan keamanan menembaki para demonstran.
"Mengerikan," kata Biden kepada para wartawan dalam sambutan singkat yang disampaikannya di negara bagian Delaware. "Sangat keterlaluan dan berdasarkan laporan yang saya terima, banyak orang tewas dan itu seharusnya tidak perlu terjadi."
Pembunuhan pada Sabtu (27/3) itu terjadi setelah junta memamerkan kekuatan untuk Hari Angkatan Bersenjata tahunan.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan perayaan angkatan bersenjata oleh junta dirusak oleh "hari yang mengerikan dan memalukan".
Korban tewas akibat tindakan keras sejak kudeta 1 Februari telah naik menjadi setidaknya 459, menurut organisasi pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Sabtu sejauh ini menjadi hari yang paling mematikan sejak kudeta. AAPP mengatakan 13 lagi tewas pada Minggu.
Walaupun terjadi kekerasan pada akhir pekan, demonstran kembali turun ke jalan-jalan mulai fajar di negara bagian Kachin, sementara siswa turun ke jalan-jalan di Monywa dan kota Mawlamyin di negara bagian Mon, menurut media lokal.
Ratusan orang juga berpawai melalui kota Plate, di wilayah Mandalay. Mereka membawa spanduk bertuliskan: "Rakyat tidak akan pernah bisa dikalahkan". Sebagian dari mereka yang terbunuh selama akhir pekan dimakamkan Senin.
Di wilayah Sagaing, ratusan pelayat berbaris di tepi jalan untuk memberi penghormatan kepada siswa perawat, Thinzar Hein, usia 20 tahun, yang ditembak tewas saat membantu petugas penyelamat memberi pertolongan pertama kepada pengunjuk rasa yang terluka.
Sementara korban anak-anak meningkat, 60 anak di sebuah kota di negara bagian Karen menggelar parade protes. Mereka didampingi ibu mereka, media lokal melaporkan.
Di Yangon, seorang anak, usia satu tahun, dalam proses pemulihan setelah operasi matanya yang tertembak peluru karet saat bermain di dekat rumahnya pada Sabtu, hari ulang tahunnya. [vm/jm], [ka/ab]