Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan sejumlah indikator menunjukkan kinerja ekonomi pada triwulan II 2021 tumbuh positif. Antara lain konsumsi rumah tangga saat Lebaran, konsumsi pemerintah, investasi, ekspor dan impor yang terus tumbuh.
Dengan indikator tersebut, pemerintah memperkirakan ekonomi pada triwulan II 2021 akan tumbuh pada kisaran 7,1 persen hingga 8,3 persen secara tahunan. Namun Sri Mulyani menjelaskan prediksi pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tidak akan sama dengan triwulan tiga dan empat.
"Kalau kita lihat untuk 2021 proyeksi keseluruhan tahun adalah di 4,5 persen hingga 5,3 persen. Konsumsi rumah tangga di 3,7 persen hingga 4,3 persen," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers daring, Selasa (25/5/2021).
Sri Mulyani menjelaskan ekonomi dan perdagangan global juga menunjukkan perkembangan positif. Beberapa negara yang mengalami pertumbuhan positif pada kuartal I 2021 antara lain Amerika Serikat, China, Singapura, dan Korea Selatan. Namun, Sri Mulyani mengingatkan beberapa faktor risiko masih perlu diwaspadai seperti munculnya gelombang dan varian baru COVID-19, belum meratanya vaksinasi, dan proteksionisme perdagangan global.
Menurutnya, pemerintah terus menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya belanja negara untuk mendorong pemulihan ekonomi. Realisasi belanja negara sampai dengan April 2021 mencapai Rp723 triliun atau 26,3 persen APBN 2021. Realisasi belanja tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp489,8 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp233,2 triliun.
"Belanja kementerian dan lembaga yang melonjak sangat tinggi, sampai April mencapai Rp 98,7 triliun melonjak dari Rp52,8 triliun tahun lalu. Jadi ada kenaikan 87,1 persen," tambah Sri Mulyani.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, meragukan pertumbuhan ekonomi pada triwulan II akan mencapai kisaran 7,1 persen hingga 8,3 persen. Menurutnya, ekonomi hanya akan tumbuh di kisaran 3 hingga 4 persen. Ia beralasan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang ekonomi hanya terjadi di wilayah sekitar Jakarta, tidak merata di semua daerah. Hal ini dikarenakan pemerintah melarang mudik Lebaran pada tahun dengan alasan mencegah COVID-19.
"Tentunya pertumbuhan ekonomi tergantung juga dari mobilitas masyarakat. Nah, mobilitas masyarakat sudah baik, tetapi ada tantangan juga setelah Lebaran misalnya kenaikan kasus positif COVID-19," jelas Bhima kepada VOA, Selasa (25/5/2021).
Bhima juga menyoroti serapan belanja pemerintah daerah yang kurang karena perencanaan anggaran yang tidak maksimal. Akibatnya transfer anggaran dari pemerintah pusat hanya tertumpuk di daerah.
Ia mengingatkan pemerintah agar tidak melakukan kebijakan-kebijakan yang dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan pemotongan gaji 13.
"Bantuan sosial masih dibutuhkan jangan terburu-buru untuk memangkas perlindungan sosialnya karena konsumsi menengah ke bawah belum sepenuhnya pulih." [sm/ft]