Butuh lebih dari sebulan bagi Andari Danthi, ibu dua anak yang tinggal di Jakarta Barat, untuk akhirnya menerima vaksin COVID-19. Ia mendaftarkan diri sejak akhir Mei lalu setelah dinyatakan memenuhi syarat untuk vaksinasi. Namun, upayanya tak mulus.
“Pokoknya saya tuh coba hari ini, nggak bisa. Ya coba deh besok, masih nggak bisa. Oh ya udah mungkin terlalu mepet waktunya, coba deh minggu depan, mungkin orang-orang udah pada divaksin, terus (mungkin) udah agak kosong nih, kuotanya udah mulai terpenuhi lagi. Coba lagi, masih nggak bisa juga,” ungkap Danthi saat diwawancarai VOA (21/7).
“Sampai akhirnya tuh setiap ada info di media sosial soal instansi A atau kampus A bikin vaksinasi, itu sampai saya cobain semua, dan setiap dibuka ya udah full duluan kuotanya.”
Pada akhirnya, 9 Juli lalu, ia memutuskan untuk mengikuti program vaksinasi on-the-spot, alias tanpa janji, di salah satu universitas di dekat rumahnya. Bersama peserta vaksinasi lain, ia mengisi formulir secara manual dan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum diberi dosis vaksin. Tiga jam ia habiskan di lokasi, dari antre hingga rampung masa observasi pascavaksinasi. Kedua anaknya yang masih balita ia titipkan di rumah orang tuanya.
Sejatinya, Danthi berharap lebih pada program vaksinasi nasional.
“Kalau kayak sekarang kurang praktis, yang udah daftar online pun masih harus isi formulir lagi di situ. Kita sebenernya cukup memanfaatkan platform yang ada. Kita kan punya Peduli Lindungi, kita punya JAKI, nah kalau menurut saya tuh harusnya sistemnya jadi satu aja, tapi udah terintegrasi seluruh Indonesia,” ujarnya, “jadi masyarakat tuh daftar lewat situ. Misalnya memang sudah waktunya dia divaksin, nanti akan diinfoin langsung jamnya, tempatnya, tapi udah jadi satu lah, udah terintegrasi, jadi nggak ada yang beda-beda.”
Dua Jam Menumpang Sepeda Motor Demi Vaksin
Pengalaman Ninuk Kristiani serupa tapi tak sama. Perempuan asal Blora, Jawa Tengah yang bekerja sebagai asisten rumah tangga itu mencoba mencari slot vaksinasi COVID-19 di kampung halamannya hingga empat kali. Kala itu, ia mendatangi langsung sentra-sentra vaksinasi di Kecamatan Cepu, Blora tanpa hasil. Jalur pendaftaran daring tak ia jajaki, karena metode itu asing baginya.
Ninuk mengaku perlu divaksinasi agar memenuhi syarat menumpang kereta api untuk kembali ke rumah majikannya di Tangerang Selatan pada masa PPKM Darurat.
“Saya sampai bingung juga, saya bilang ke (majikan saya) Bu Erna, ‘ini gimana Bu? Saya nggak bisa balik kalau nggak ada vaksin,’ sampai udah pasrah lah, nyari-nyari vaksin itu susah banget kalau buat di daerah, soalnya masih terbatas banget,” kata Ninuk saat berbincang dengan VOA (21/7).
Ninuk kemudian melihat info program vaksinasi di stasiun-stasiun tertentu pada situs PT. Kereta Api Indonesia. Yang terdekat buatnya adalah Stasiun Madiun, Jawa Timur. Pada 15 Juli lalu, ia menuju Madiun dengan menumpang sepeda motor selama dua jam demi vaksinasi. Prosesnya tak sesederhana yang ia bayangkan.
“Sebenarnya saya awalnya nggak dapat vaksin di Stasiun Madiun itu. Tapi saya nanya ke petugasnya itu, ternyata yang diutamain itu yang kereta jalur yang memang lewat Madiun, saya akhirnya reschedule tiket itu, akhirnya berangkat dari Stasiun Madiun mau nggak mau, soalnya juga saya tanggung jawab sama kerja kan," ungkapnya.
Kuota Vaksin di Daerah Terbatas
Cerita Danthi dan Ninuk hanya sebagian kecil dari rupa-rupa upaya masyarakat memperoleh vaksin COVID-19. Meski jumlah sentra dan petugas vaksinasi ditambah, ketersediaan pasokan vaksin belum bisa mengimbangi permintaan masyarakat seiring lonjakan varian Delta.
Meily Anggraini, kepala hubungan masyarakat Mall @ Alam Sutera, salah satu pihak swasta yang membantu penyelenggaraan vaksinasi COVID-19 di Tangerang, Banten, menyebut antusiasme masyarakat sangat tinggi. Pusat perbelanjaan itu bekerja sama dengan Kodim 0506/Tangerang untuk mendistribusikan ribuan dosis Sinovac. Pihaknya memberlakukan dua cara pendaftaran, melalui sistem undangan serta secara terbatas bagi masyarakat umum. Ia menuturkan, sebagian peserta mendatangi lokasi vaksinasi jauh lebih awal dari jadwal seharusnya.
“Mungkin ada persepsi takut kehabisan atau mungkin keramaian, jadi banyak yang datang pagi-pagi. Jadi datangnya di luar jam yang sudah tertera di undangan. Jadi biasanya pagi-pagi tuh terjadi penumpukan orang. Tapi tim kita sih sudah coba untuk mengusahakan yang terbaik biar mereka tidak berdekatan, saling berjaga jarak, dan jangan sampai menimbulkan kluster vaksinasi malah,” kata Meily kepada VOA (21/7).
Pemerintah menyadari keterbatasan stok vaksin di lapangan. Beberapa kota dan kabupaten juga mengeluh kehabisan pasokan. Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa baru 30 persen dosis vaksin COVID-19 yang sudah diberikan ke masyarakat, dari target 426 juta dosis. Hingga pertengahan Juli, pemerintah baru menerima 130 juta dosis vaksin dari berbagai sumber. Separuhnya didistribusikan di Jawa dan Bali.
“Jadi otomatis di luar Jawa-Bali akan kurang jumlah vaksinnya. Nah, dengan kondisi seperti itu kan memilah 30 persen masyarakat itu tidak mudah, gitu, sehingga pasti akan terjadi antrean,” ungkap Nadia saat dihubungi VOA (22/7).
Menanggapi keluhan tentang mekanisme pendaftaran vaksinasi yang tidak satu pintu, Nadia beralasan hal itu sebagai upaya perluasan akses vaksin ke masyarakat. “Semakin banyak pos vaksinasi, semakin banyak platform untuk pendaftaran – pilihan mau registrasi secara elektronik ataupun walk-in itu semua ada plus-minusnya, itu sebenarnya untuk mempercepat dan mempermudah,” sambungnya. Di samping itu, ia menilai kesiapan infrastruktur teknologi menjadi hambatan untuk sistem satu pintu.
“Kalau satu (pintu), beban tuh pasti akan besar, tidak mungkin ya untuk bisa, dalam arti banyak kendala-kendala akhirnya tidak berjalan dengan baik, seperti di awal kita menggunakan satu sistem aplikasi Peduli Lindungi kan kemudian banyak sekali terjadi masalah, bahkan kemudian kita tidak bisa mempercepat vaksinasi sesuai dengan waktu yang kita harapkan,” bebernya.
Target yang Sulit Terealisasi
Sulit menjadikan program vaksinasi COVID-19 sebagai solusi andalan untuk keluar dari pandemi, kata epidemiolog dari Universitas Indonesia yang juga anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra. Tanpa kemampuan memproduksi vaksin COVID-19 secara mandiri, pemerintah seharusnya fokus memutus mata rantai penularan dengan memberlakukan lockdown sekaligus mempercepat dan menambah jumlah testing atau uji COVID-19 juga pelacakan kontak (contact tracing). Program vaksinasi sendiri sebaiknya bersifat sebagai pelengkap strategi.
Namun yang terjadi, sambung Hermawan, pemerintah kini justru menciptakan target vaksinasi yang sulit terpenuhi secara kuantitas maupun kualitas.
“Akhirnya mekanisme pendaftaran, kemudian ada yang mengusulkan berdasarkan NIK atau data kependudukan, ada yang harus mendaftar terutama anak muda, membuat pola ini memang menjadi lebih rumit, karena banyaknya pintu (sebagai) imbas dari target yang begitu besar: vaksinasi 1-2 juta (dosis) per hari. Target ini memunculkan persoalan quality dalam perekaman, pendataan dan pemberian vaksin,” jelas Hermawan dalam wawancara dengan VOA (23/7).
Sejak program vaksinasi COVID-19 di Indonesia dimulai lebih dari setengah tahun lalu, per 26 Juli 2021, baru 8,7 persen target populasi yang sudah menerima vaksinasi penuh, dengan tambahan 258.346 dosis pertama dan 223.374 dosis kedua diberikan ke masyarakat hari itu, separuh dari target vaksinasi satu juta dosis per hari pada bulan Juli. [rd/em]